LightReader

Echo of Others

Rico_3890
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
344
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - CHAPTER 1 - Terus Hidup

2018

"Kenapa bawa aku kesini?" tanya seorang anak kecil.

Ia bertanya pada seorang pria dewasa di sampingnya. Mereka sedang berada di sebuah perpustakaan yang sangat sepi.

"Sudah… ikut saja" ucap pria itu.

Anak kecil itu masih bingung, tapi ia tetap mengikuti kemana perginya pria itu. Mereka berhenti di salah satu rak buku, pria itu menaiki tangga rak untuk mengambil buku.

"Serius, mau apa kita disini" bocah itu mulai tegas. Matanya teralihkan ke sebuah koran yang tergeletak,

(Pembunuhan misterius terus bermunculan, Sebuah alat speed gun menangkap kecepatan yang melebihi kecepatan kendaraan, dinding gedung pemerintah di temukan sebuah retakan, diukur dari bentuknya retakan tersebut berasal dari pukulan.)

Berita yang aneh isi hati anak itu saat membacanya.

"Baca ini." pria itu melempar sebuah buku cerita anak.

Buku itu hampir menghantam wajah anak itu, untung dia berhasil menangkapnya. "Dongeng sang kancil'? Kamu tau aku gak suka cerita fabel" seru bocah itu.

"Di umurmu saat ini, seharusnya kamu baca itu" ucap pria dewasa.

"Tch… oke…" anak itu menyerah, dia berjalan ke kursi untuk membaca.

Beberapa menit berlalu, anak itu membaca buku yang pria itu berikan. Sedangkan pria dewasa hanya berkeliling perpustakaan. Perpustakaan itu memang sepi, karena perpustakaannya milik pribadi pria tersebut. Seiring berjalannya waktu, bocah itu mulai bosan dengan ceritanya yang klasik. Ia mencoba mencari buku yang lain, dan menemukan sebuah buku filsuf. Bocah itu membukanya, di balik covernya ada nama Hugo—nama pria dewasa itu. Dia membacanya sedikit, baru saja sebentar Hugo menarik buku itu.

"Anak kecil dilarang baca ini, ya…" ucap Hugo sambil mengangkat buku itu.

"Tak kusangka hidupmu dangkal sekali" ucap anak itu, menyeringai

"Kamu… sudah baca?" wajah Hugo panik

"Sedikit."

Hugo terlihat murung. "Kamu gak bakal paham"

"Iya… bye~" anak itu cuek, pergi dari sana.

Hugo membuka kembali buku itu, disana tertulis kata filosofi tentang tujuan hidup:

(TERUS HIDUP SAMPAI MATI)

"Rico…, kamu baik baik saja?" tanya guru konseling.

2025

bocah tadi kini berusia 16 tahun, ia bernama Rico. Kini ia berada di ruang bimbingan konseling karena di formulir masa depannya, ia menuliskan tujuan hidupnya "Terus hidup sampai mati". Itu membawa kontroversial.

"Aku gak kenapa-kenapa" ucap Rico dengan lembut.

"Lalu kenapa tujuan hidupmu seperti ini?" tanya guru itu khawatir.

"Itu karena…."

Brukk!!

Suara pintu ditutup, Rico keluar dari ruang konseling. Di lorong, semua anak beraktivitas layaknya anak sekolah seperti biasa. Rico berjalan menuju kelasnya dengan raut wajah seperti tak semangat. Ia berjalan, menaiki tangga, dan terus berjalan sampai ia datang ke kelasnya. Baru saja datang di depan pintu, teman sekelasnya menatap dengan tatapan sinis, beberapa membicarakannya.

Rico duduk di kursinya, tepat 3 dari depan dan barisan ke 3. Bahkan saat Rico ada disana pun, anak-anak lain masih membisikannya. Suara teriakan datang perlahan ke kelas Rico.

"Yo…. Rico!!" teriak Vias, teman Rico. "Ayo, pergi makan"

"Kamu saja" jawab Rico lemas.

"Oke… come on" Vias membangunkan Rico dari duduknya.

"Aku sudah bilang aku tidak ikut" kata Rico dengan polos

"Sudahlah… ayo..!!" Vias mendorong Rico keluar.

Di lorong Vias mendorong paksa Rico seperti gerobak sampe ke kantin. Di kantin seperti biasanya, ramai saat jam istirahat.

"Ayo beli itu!" ucap Vias antusias, menunjuk ke stand bakpao.

Rico melihat wajah Vias dengan tatapan lelah. "Oke…" pasrahnya.

Sesampainya di stand bakpao, Vias memesan 4 bakpao 1 untuk

Rico dan 3 untuknya. Sesudah mendapatkan pesanan mereka, seseorang memanggil nama Vias.

"Vias!!" panggil orang tersebut.

Vias dan Rico menoleh ke sumber suara tersebut, Rico membeku sejenak saat melihat bahwa orang yang memanggil Vias tak hanya 1 orang.

"Ah…, aku kesana!" Jawabnya dengan teriak. "Ayo" mengajak Rico.

"Nggak kau sa—" belum sempat menyelesaikannya, Vias menarik

Rico tanpa persetujuan.

"Naahh…!! ini Rico, temanku~" Vias memperkenalkan Rico kepada teman-temannya.

Rico hanya diam, menumpuk kedua tangannya di depan, sesekali

dia melirik cepat ke arah orang-orang di depannya

"Rico!!? Duduklah… duduk" ucap salah satu laki-laki.

Vias duduk di kursinya, dia menarik Rico yang tak kunjung duduk. Di meja tersebut ada 5 murid—teman Vias. Mereka semua

bercanda dan berbincang, kecuali Rico yang dari tadi hanya diam, canggung. Ia hanya mendengarkan mereka ber enam berbicara dengan topik yang ia tak paham.

"Kamu tinggal dimana?" tanya antusias seorang perempuan yang duduk di depan Rico.

"Everline," jawab Rico.

"Everline? Sama kayak kamu dong, Gyuri. Kebetulan macam apa ini" ucap perempuan di samping Gyuri—perempuan yang bertanya pada Rico.

"Iyah…" ucap Gyuri tersenyum.

"Pas banget!" Vias mengepalkan tangan kanannya, dan menepukkannya ke telapak kirinya. "Kalian bisa pulang bareng, aku ada urusan" ucapnya ke Rico.

"Aku gak pernah minta kamu mengantarku" ucap Rico sinis.

"Eh?!" gumam Vias malu.

"Hahahaha!!" tawa terbahak Ken orang yang memanggil diawal. "Aku Ken" ia menjulurkan tangannya ke Rico.

Satu persatu dari teman Vias memperkenalkan dirinya, diantaranya Gyuri, Ken, Leon, Cynthia, dan Lilia. First impression mereka cukup baik bagi Rico. Ia mulai terbiasa dengan alur mereka.

Kriingg!!

Bel istirahat selesai berbunyi, mereka berenam bergegas kembali ke kelas mereka. Rico dan Vias seperti biasanya, menuju kelas yang sama. Pelajaran demi pelajaran berlalu, kini waktunya mereka pulang. Di loker barang, Vias dan Rico pisah, seperti yang ia katakan di kantin. Baru keluar dari pintu lobi sekolah, Rico sudah bertemu lagi dengan Gyuri, ia berdiri di samping pintu yang terbuka. Rico menengok ke arahnya, Gyuri sadar keberadaan itu.

"Ah… akhirnya kau keluar" ucapnya dengan girang.

"Kau menungguku?" tanya Rico.

"Iya… kenapa? Kita satu arah" ucap Gyuri, dengan polosnya.

Rico tidak menjawab dan melanjutkan langkah pulang. Benar saja, Gyuri berjalan di sampingnya. Rico hanya heran sudah lama ia tidak merasakan kecanggungan seperti ini. Tidak ada satu pun percakapan di antara mereka sampai melewati gerbang.

Di perjalanan, mereka melewati taman. Gyuri tiba-tiba berhenti, tetapi Rico mengabaikannya dan terus berjalan. Baru beberapa langkah menjauh, ia mendengar suara geraman pelan—seperti seseorang yang sedang berusaha meraih sesuatu. Rico menoleh.

"Ugh… ugh—" Gyuri melompat-lompat mencoba mengambil balon pink milik seorang anak kecil yang tersangkut di dahan pohon. "Sebentar ya…" ucap nya meyakinkan anak pemilik balon.

Tali balon yang tak bisa Gyuri gapai itu ditarik oleh seseorang dari belakang. Rico mengambilkannya dan menyerahkan balon itu pada anak kecil itu.

"Terima kasih…!" seru si anak dengan senyum lebar. Ia melambaikan tangan sebelum pergi. Gyuri terlihat sangat puas.

"Pfft…" Rico menahan tawa.

"Eh? Kenapa?" tanya Gyuri polos.

"Tidak… hanya saja," Rico terkekeh, "ada seseorang yang tetap melompat-lompat mencoba meraih balon… padahal jelas dia tahu tidak akan mencapainya."

"Setidaknya aku membantu, ya…" Gyuri merajuk.

Rico tersenyum, tapi senyum itu dengan cepatnya menghilang.

Gyuri menyadari perubahan aneh itu. Rico seperti diselimuti rasa bersalah saat dia merasa bahagia

***

Tak terasa, mereka kini berada di jalur yang berbeda. Gyuri harus berbelok ke kanan,sementara Rico terus berjalan lurus.

"Kita berpisah," kata Gyuri.

"Ya," jawab Rico singkat.

"Sampai ketemu besok." lanjut Gyuri

"Ya."

Gyuri berjalan mundur sambil melambaikan tangan. Rico hanya menatapnya dengan mata sayu. Baru ketika Gyuri berbalik dan berjalan normal, Rico mulai melangkah lagi—menyusuri jalan lurus di depannya. Dalam hening itu, langkahnya terasa seperti tujuan yang selalu ia pegang, 'terus hidup'…

Tak jauh dari komplek tersebut, suara sirine ambulan dan polisi terdengar nyaring. Jalur taman yang tadi mereka lewati kini dipenuhi kerumunan. Garis polisi membentang mengelilingi area itu.

Seorang pria berkaos polos dengan janggut tipis, mendorong kerumunan disana untuk melihat lebih dekat.

"Pembunuhan lagi," jawab salah satu petugas. "Korban kali ini…

seorang anak."

Pria lusuh itu terdiam melihat keadaan anak tersebut. Matanya lalu mengikuti sebuah balon pink yang terbang tinggi, terbebas dari genggaman anak tersebut. Raut sedih muncul di wajahnya, seolah ini sudah biasa terjadi.

***