LightReader

Chapter 3 - Bab 2 — Hari yang Sama, Dunia Berbeda

Koridor utama Tracen Academy terasa jauh lebih ramai daripada yang Aira bayangkan.

Langkah kaki saling bersahutan, tas bergesek, suara tawa bercampur dengan sapaan singkat. Dunia bergerak cepat, seolah semua orang sudah tahu ke mana harus pergi—kecuali dirinya. Aira berjalan mengikuti arus, tidak terburu-buru, membiarkan ritme kampus membawanya.

Bau rumput segar dari lapangan latihan bercampur dengan aroma minuman manis dari mesin penjual otomatis. Papan pengumuman dipenuhi jadwal, nama kelas, dan daftar kegiatan. Semuanya tertata rapi, terlalu rapi untuk dunia yang baru saja ia masuki.

Aira berhenti sejenak di depan papan itu, membaca tanpa ekspresi berlebihan.

Kelas. Jam pelajaran. Waktu latihan.

Terstruktur. Jelas. Tidak ada ruang untuk kebetulan.

Ia melangkah lagi.

Di sepanjang koridor, percakapan kecil melintas begitu saja di telinganya.

"…katanya larinya cepat."

"…belum pernah lihat langsung sih."

"…kamu masuk tim mana nanti?"

Nama-nama disebutkan sambil lalu, dengan nada antusias atau penasaran. Bukan prestasi. Bukan hasil lomba. Hanya reputasi yang lahir dari cerita dan dugaan. Aira mendengarnya tanpa benar-benar menanggapi. Ia lebih tertarik pada cara orang-orang berjalan—ada yang penuh percaya diri, ada yang gugup, ada yang terlalu bersemangat.

Ia mencatatnya, seperti membaca lintasan sebelum berlari.

Bel pertama hari itu berbunyi.

Suara nyaringnya memotong percakapan dan menggerakkan arus siswa serempak. Aira ikut bergerak, membiarkan dirinya terseret ke dalam ritme yang sama. Tidak memimpin. Belum.

Di dalam kelas, suasananya sedikit lebih tenang. Meja-meja tersusun rapi, cahaya matahari masuk dari jendela besar. Aira memilih tempat duduk yang tidak mencolok, meletakkan tasnya, lalu duduk dengan punggung tegak.

Perkenalan berlangsung singkat. Nama. Asal. Beberapa kata tentang diri masing-masing. Saat gilirannya tiba, Aira berdiri, menyebutkan namanya dengan suara datar, lalu duduk kembali. Tidak ada tambahan. Tidak perlu.

Ia merasakan beberapa pasang mata menoleh, lalu kembali ke urusan masing-masing.

Pengumuman terakhir datang menjelang akhir jam pertama.

"Latihan perdana akan dimulai sore ini," kata pengajar dengan nada biasa. "Pastikan kalian datang tepat waktu."

Sore.

Lintasan.

Kata itu beresonansi pelan di benaknya.

Saat bel kembali berbunyi dan kelas mulai bubar, Aira berdiri bersama yang lain. Hari pertama belum menuntut apa pun darinya. Belum meminta bukti. Belum memaksa langkah.

Namun Aira tahu—

itu hanya soal waktu.

More Chapters