LightReader

Chapter 10 - BAB 9: KEHENINGAN YANG TERLUKA

Malam di Silvaris Aeterna tidak pernah benar-benar sunyi, namun bagi Rian, dunia kini terasa seperti ruang hampa yang menekan dari segala arah. Di dalam gubuk kayu yang remang-remang, pemuda berusia tujuh belas tahun itu duduk bersila dengan tubuh yang gemetar hebat. Keringat dingin mengucur deras dari pelipisnya, membasahi lantai kayu di bawahnya. Di dalam perut bawahnya, tiga bintang safir gelap berputar dengan kecepatan yang tidak masuk akal, menciptakan gesekan energi yang memancarkan panas luar biasa ke seluruh jaringan sarafnya.

Ini adalah fase Over-Saturation. Dantian Rian telah mencapai batas kapasitas absolutnya. Bayangkan sebuah wadah kaca yang dipaksa menampung volume air yang jauh melebihi ukurannya; retakan mulai muncul, bukan pada wadahnya, melainkan pada jalur mana yang menghubungkannya. Jalur mana Rian, yang dulu berkarat dan kini telah ditempa menjadi saluran emas, sedang dipaksa melebar secara brutal untuk mempersiapkan kelahiran bintang keempat.

"Ugh..." Rian mengerang pelan, giginya bergeletuk menahan rasa perih yang seolah menyayat pembuluh darahnya dari dalam.

"Jangan dilepaskan, Rian. Jika kau membiarkan mana itu meluap sekarang, kau akan menghancurkan gubuk ini dan seluruh latihanmu selama tujuh tahun akan sia-sia," suara Soran terdengar dari balik kegelapan di sudut ruangan. Pria itu tidak sedang memegang botol arak; ia sedang mengamati Rian dengan tatapan yang sangat tajam, seolah sedang membedah kondisi internal muridnya.

"Sakit... rasanya seperti... besi panas yang mengalir," desis Rian, matanya terpejam rapat.

"Itu adalah harga dari kualitas," sahut Soran dingin. "Bintangmu bukan pasir, tapi permata. Untuk memperlebar jalannya, kau butuh tekanan. Gunakan Aethel’s Veil. Selimuti sarafmu dengan cadar samudra. Jangan biarkan rasa sakit itu menguasai kesadaranmu. Jika kau ingin mencapai Mastery tujuh puluh persen, kau harus bisa tetap tenang bahkan saat tubuhmu terasa seperti akan meledak."

Rian menarik napas dengan ritme yang sangat lambat. Ia memaksakan konsentrasinya untuk masuk ke dalam Samudra Dalam. Perlahan, ia menarik Mana dari pusat pusaran yang membara di perutnya, mengarahkannya ke atas. Namun, kali ini ia tidak hanya menyelimuti matanya. Ia mencoba menyelimuti seluruh jalur energinya dengan lapisan tipis Mana yang sangat tenang. Inilah langkah awal menuju Mastery 70%.

Sepanjang malam itu, Rian tidak tidur. Ia bertarung melawan dirinya sendiri. Setiap kali ia merasa akan pingsan, ia memaksakan Mastery-nya untuk naik satu tingkat lebih tinggi. Ia belajar untuk tidak hanya "menahan" Mana, tapi "menghaluskan" permukaannya agar tidak melukai dinding jalur energinya.

Keesokan paginya, tanpa memberikan waktu bagi Rian untuk beristirahat, Soran membawanya ke wilayah utara yang dipenuhi oleh pohon-pohon raksasa setinggi awan. Di sana, sekelompok Silver-Back Ape sedang berkumpul. Monster primata ini memiliki tinggi tiga meter dengan punggung yang dilapisi oleh deposit logam alami, membuat mereka terlihat seperti ksatria berbaju zirah perak yang berjalan dengan empat kaki.

"Naik ke puncak pohon itu," perintah Soran sambil menunjuk dahan yang sangat tipis di ketinggian lima puluh meter. "Bermeditasilah di sana. Jika kau jatuh atau jika kau menggunakan kekuatan kasar untuk memukul kera-kera itu, kau gagal. Kau harus menghindar hanya dengan gerakan minimal menggunakan Mastery tujuh puluh persenmu."

Rian melompat dari dahan ke dahan dengan gerakan yang berat. Tubuhnya masih terasa panas, namun ia memaksakan diri. Saat ia mencapai puncak pohon, kawanan Silver-Back Ape mulai menyadari keberadaannya. Monster-monster ini sangat teritorial dan tidak menyukai kehadiran manusia.

UOOOAAARRRGH!

Pemimpin kera, seekor jantan dominan dengan taring yang mencuat, mengeluarkan teriakan yang mengguncang udara. Itu bukan sekadar teriakan; itu adalah Mana Vibration. Gelombang suara tersebut dirancang untuk mengacaukan sirkulasi energi lawan, membuat musuh merasa mual dan kehilangan kendali atas teknik mereka.

Rian merasakan getaran itu menghantam dadanya. Seketika, Cadar Samudra-nya bergetar hebat. Rasa sakit di kepalanya kembali menusuk seperti silet.

"Jangan goyah!" teriak Soran dari bawah. "Gunakan getaran itu untuk menyempurnakan cadarmu! Samudra tidak akan hancur hanya karena riak di permukaan!"

Rian memejamkan matanya. Ia berhenti melawan getaran suara itu. Sebaliknya, ia mencoba menyinkronkan frekuensi Mana-nya dengan getaran suara sang kera. Ia menarik Mana-nya lebih dalam, menguncinya lebih rapat di dalam sarafnya. Di momen kritis itulah, Rian merasakan sebuah pintu baru terbuka di dalam kesadarannya.

Mana yang tadinya menguras energinya dengan sangat cepat, tiba-tiba terasa lebih "ringan". Konsumsi energinya menurun secara drastis. Ia tidak lagi merasa seperti sedang memikul beban berat, melainkan seperti sedang mengambang di dalam air.

Mastery 70% Tercapai.

Pengurangan konsumsi Mana sebesar tiga puluh lima persen memberinya napas kedua yang sangat ia butuhkan. Kini, dengan Mastery yang lebih tinggi, persepsi Septem-nya menjadi berkali-kali lipat lebih jernih. Ia melihat dunia bukan lagi sebagai objek padat, melainkan sebagai susunan partikel yang memiliki celah di antaranya.

Kera Punggung Perak itu melompat ke arah dahan tipis tempat Rian berada. Dengan berat badannya yang masif, kera itu seharusnya menghancurkan dahan tersebut. Namun, Rian tidak menunggu serangan itu mendarat.

Ia melihatnya. Di antara lempengan logam pada punggung kera itu, tepat di antara tulang belakang ke-4 dan ke-5, terdapat sebuah celah tulang rawan yang sangat kecil. Itu adalah titik rasionya.

Rian menarik pedang kayu hitamnya. Kali ini, gerakan tangannya begitu halus hingga tidak menciptakan suara gesekan dengan udara sama sekali. Ia menggabungkan prinsip Deviant Strike—mengumpulkan tekanan tiga bintangnya—namun menyalurkannya dengan efisiensi Mastery 70%.

Srak.

Pedang kayu itu tidak menghantam punggung kera tersebut dengan keras. Sebaliknya, pedang itu meluncur masuk ke dalam celah tulang belakang seperti belati panas yang memotong mentega. Rian memutar pergelangan tangannya sedikit, menghancurkan integritas struktural saraf pusat monster tersebut.

Kera raksasa itu membeku di udara. Tidak ada darah yang menyembur, tidak ada teriakan kesakitan yang panjang. Monster itu jatuh ke bawah dengan posisi lumpuh total, sementara Rian tetap berdiri tenang di atas dahan tipis yang bahkan tidak bergoyang.

Rian menatap pedangnya. Ia terengah-engah, namun ada binar kemenangan di matanya. "Tiga puluh lima persen... penghematan Mana. Aku bisa merasakannya. Aku bisa bertarung jauh lebih lama sekarang."

Soran melompat naik ke dahan di samping Rian, membuat dahan itu melengkung namun tidak patah. Ia melihat ke bawah, ke arah kera yang lumpuh, lalu menatap Rian dengan tatapan puas yang jarang diperlihatkan.

"Kau mulai mengerti filosofi 'Pedang Tanpa Berat', Rian," ujar Soran pelan. "Semakin tinggi Mastery-mu, semakin sedikit tenaga fisik yang kau butuhkan untuk membunuh. Seorang ksatria sejati tidak menebas daging; ia menebas eksistensi. Dan kau baru saja menebas eksistensi kera itu dengan efisiensi yang luar biasa."

Soran kemudian memegang pundak Rian. Seketika, Rian merasakan panas di perutnya kembali membara, namun kali ini terasa lebih terkendali. "Dantianmu sudah mencapai titik jenuh absolut. Kau sudah siap untuk bintang keempat. Tapi jangan terburu-buru. Kita masih butuh dua puluh persen Mastery lagi sebelum kau menghadapi Ular Raksasa itu."

Rian menatap ke arah jantung Silvaris Aeterna, ke tempat di mana aura kegelapan yang pekat menyelimuti segalanya. "Ular itu... seberapa kuat dia, Soran?"

Soran menyeringai, sebuah seringai yang terlihat sedikit mengerikan di bawah sinar matahari yang menembus celah daun. "Dia adalah bencana alam yang memiliki bentuk. Dia bukan monster biasa yang bisa kau bunuh hanya dengan teknik Septem dasar. Kau akan membutuhkan setiap persen dari Mastery-mu dan setiap tetes mana dari empat bintangmu hanya untuk tetap hidup di depannya."

Rian terdiam sejenak, memproses kata-kata gurunya. "Aku mengerti. Aku akan mencapai delapan puluh persen dalam waktu dekat."

"Bagus. Tapi untuk sekarang, turunlah. Kau harus belajar cara memasak daging kera itu. Logam di punggungnya bisa kita cairkan untuk memperbaiki pedang kayumu yang sudah mulai retak ini," Soran memukul pedang kayu Rian yang memang sudah memperlihatkan retakan-retakan halus akibat tekanan Mana safir gelap yang terlalu padat.

Malam itu, Rian kembali ke rutinitas penyiksaannya. Namun, ada yang berbeda. Meskipun rasa sakit di jalur mananya masih ada, ia kini bisa menatap rasa sakit itu dengan ketenangan seorang pengamat. Ia membiarkan Mana-nya mengalir secara otomatis, membungkus setiap sarafnya dengan Cadar Samudra yang kini jauh lebih tebal dan kokoh.

Di dalam Dantiannya, tiga bintang safir gelap itu berputar dengan sangat lambat namun memancarkan berat yang luar biasa. Mereka sedang menunggu. Menunggu momen di mana tekanan akan menjadi begitu tak tertahankan sehingga mereka tidak punya pilihan lain selain melahirkan saudara keempat mereka.

Rian memejamkan mata, membiarkan kesadarannya tenggelam ke dasar samudra pikirannya. Ia tidak lagi takut akan rasa sakit. Ia tidak lagi takut akan keterlambatannya. Karena ia tahu, di balik cadar yang kini menyelimuti dirinya, ia sedang berubah menjadi sesuatu yang belum pernah dilihat oleh dunia manusia. Seorang ksatria yang tidak hanya memiliki kekuatan, tapi memiliki presisi mutlak atas kehidupan dan kematian.

"Hanya tinggal sedikit lagi," bisik Rian dalam hati sebelum ia benar-benar terjaga dalam meditasinya sepanjang malam.

Bab ditutup dengan bayangan Rian yang dikelilingi oleh aura biru tua yang sangat tipis, nyaris tidak terlihat oleh mata telanjang, namun sanggup membekukan udara di sekitarnya. Di kegelapan hutan, ia adalah keheningan yang terluka, yang sedang bersiap untuk menjadi badai yang menghancurkan segalanya.

More Chapters