Hari-hari setelah pertemuannya dengan para arwah kultivator legenda di Void Sanctum berlalu dengan sangat cepat. Edwin merasa seperti dibawa oleh arus tak terlihat menuju suatu titik tak terduga. Meskipun ia telah mengasingkan diri di gunung Angket untuk mencari kedamaian, sebuah perasaan berat terus mengikutinya. Keputusan yang harus ia ambil—antara menjaga keseimbangan Arkos atau menghancurkannya—terus berputar-putar dalam benaknya.
Gunung Angket adalah tempat yang jauh dari hiruk-pikuk dunia luar. Di sinilah Edwin menemukan kedamaian yang dia cari, jauh dari intrik kekuasaan dan konflik politik yang tak pernah berkesudahan di Kekaisaran Aurathar. Udara segar, pepohonan yang tinggi menjulang, dan sungai yang mengalir tenang menjadi saksi bisu dari kegelisahannya. Namun, meskipun alam di sekitar terasa begitu murni, hatinya tetap terjerat dalam kekhawatiran yang tak bisa ia lepaskan.
Setiap pagi, Edwin berjalan ke puncak gunung untuk merenung, memikirkan pilihannya. Jalan yang terbuka di hadapannya terasa seperti dua jurang yang saling berhadapan. Pilihan untuk menjaga keseimbangan dunia, yang berarti harus menanggung beban berat dan menjalani hidup penuh pengorbanan, atau menghancurkan dunia yang sudah rapuh ini untuk menciptakan dunia baru yang sesuai dengan keinginannya—sebuah dunia yang lebih kuat dan lebih stabil menurut pandangannya.
Hari itu, Edwin duduk di puncak sebuah tebing yang menghadap ke lembah, mengamati matahari terbenam yang memancarkan warna keemasan ke langit. Bayangan-bayangan masa lalu melintas di matanya—kenangan tentang ayahnya yang bijaksana, tentang adik dan kakaknya yang selalu berusaha menjaga kekaisaran dengan segala cara, dan tentang ibu yang selalu mengkhawatirkan keputusannya. Semua wajah itu berkelip-kelip dalam pikirannya, menuntut perhatian, menuntut pilihan.
Edwin menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan seluruh kekuatan dalam dirinya. Sebagai seorang pangeran, dia sudah terbiasa membuat keputusan besar, tetapi keputusan ini jauh lebih berat. Tidak hanya menyangkut nasibnya sendiri, tetapi juga nasib seluruh Arkos, sebuah dunia yang telah berjalan selama ribuan tahun dengan segala dinamikanya yang rumit.
"Apakah aku benar-benar siap untuk memikul beban sebesar ini?" pikirnya, dalam hati.
Tiba-tiba, suara lembut seorang wanita memecah keheningan itu. "Edwin…"
Edwin menoleh dan melihat sosok Lina, pelayan sekaligus teman dekatnya yang sudah lama menemaninya di pengasingan ini. Lina adalah seorang wanita muda yang memiliki kemampuan luar biasa dalam bertarung, tetapi juga dikenal sebagai seseorang yang sangat bijaksana. Dia telah mendampingi Edwin melalui masa-masa sulit, dan Edwin tahu bahwa dia bisa mempercayakan banyak hal padanya.
"Lina… apa yang membawamu ke sini?" tanya Edwin, suaranya datar, namun ada kesan kelelahan di dalamnya. Meskipun telah memilih untuk mengasingkan diri, kadang-kadang ia merasa sepi, dan kedatangan Lina memberi sedikit kenyamanan di tengah kesendiriannya.
Lina mendekat, duduk di samping Edwin tanpa mengatakan sepatah kata pun. Mereka berdua memandang matahari terbenam dalam diam, menikmati kesunyian alam di sekitar mereka.
"Apa yang terjadi, Edwin? Kamu terlihat begitu tertekan akhir-akhir ini. Aku tahu betapa berat keputusan yang harus kamu buat, tetapi jangan biarkan dirimu tenggelam dalam keraguan," kata Lina akhirnya, suaranya lembut namun penuh perhatian. "Kadang, pilihan yang sulit memang membutuhkan waktu untuk dipahami, tapi kamu tidak sendirian. Kami semua ada di sini untukmu."
Edwin hanya mengangguk. Dia tahu bahwa Lina berbicara dari hati, bahwa dia selalu mendukung apapun yang dia pilih. Namun, meskipun kata-kata Lina memberikan kenyamanan, mereka tidak menghilangkan beban yang ada di pundaknya.
"Aku merasa terjebak," Edwin berkata pelan. "Mungkin aku bisa menjaga keseimbangan, tapi ada begitu banyak yang harus dikorbankan. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang bisa aku lakukan untuk memastikan bahwa dunia ini tetap utuh?"
Lina memandangnya dengan tatapan lembut. "Dunia ini memang penuh dengan kekacauan, Edwin. Tetapi kamu adalah pangeran, dan sebagai pangeran, kamu memiliki kemampuan untuk memimpin dan membuat perubahan. Tidak ada yang bisa memilih jalan hidup kita selain diri kita sendiri. Dunia ini memang membutuhkan perubahan, tetapi perubahan itu tidak selalu datang dengan menghancurkan segala sesuatu yang ada."
Edwin memejamkan mata, mencoba menyerap kata-kata itu. Dia tahu bahwa Lina benar. Namun, bagian dari dirinya masih tergoda dengan kemungkinan kekuatan yang bisa ia raih dengan memilih untuk menghancurkan dunia dan membangunnya kembali sesuai dengan visinya.
"Tapi bagaimana jika aku memilih jalan yang salah? Bagaimana jika dengan menghancurkan dunia ini, aku malah memperburuk segalanya?" Edwin bertanya, keresahan jelas terlihat di matanya.
Lina menarik napas, lalu berkata, "Mungkin tidak ada jawaban yang pasti, Edwin. Tetapi satu hal yang aku tahu pasti—kamu harus memilih dengan hati, bukan dengan rasa takut. Jangan biarkan ketakutan atau ambisi menguasaimu. Dengarkan apa yang ada di dalam hatimu, dan pilihlah dengan bijak."
Edwin menatap langit yang semakin gelap, bintang-bintang mulai muncul satu per satu. Dia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang mulai menemukan ketenangan. Keputusan ini memang sulit, dan mungkin tidak ada jawaban yang sempurna, tetapi apa yang Lina katakan membuatnya sadar bahwa dia harus memilih dengan hati. Tidak ada gunanya berlarut-larut dalam keraguan, karena setiap pilihan pasti memiliki konsekuensinya.
"Terima kasih, Lina," Edwin akhirnya berkata, suaranya sedikit lebih ringan. "Aku akan mencoba memilih dengan hati."
Lina tersenyum. "Aku tahu kamu akan menemukan jalanmu, Edwin."
Malam itu, setelah berbicara panjang lebar dengan Lina, Edwin merasa sedikit lebih ringan. Mungkin jalan yang dia pilih tidak akan mudah, dan mungkin dunia ini memang penuh dengan ketidakpastian, tetapi dia tahu satu hal yang pasti—apapun yang terjadi, dia harus membuat keputusan ini dengan sepenuh hati.