LightReader

Chapter 1 - BAB 1 : KEMBALI DARI BAYANG-BAYANG

Langit Jakarta masih diselimuti kabut pagi saat mobil hitam berlogo perusahaan melaju mulus ke arah pusat kota. Di dalamnya, seorang wanita duduk dengan tenang meskipun kedua tangannya saling menggenggam erat. Wajahnya tak menunjukkan gelisah, tapi sorot matanya berkata lain. Ada kecemasan, ada keraguan, dan ada luka yang belum selesai.

Nayla Ardiani.

Dua puluh delapan tahun. Lulusan terbaik jurusan ekonomi. Mantan analis keuangan yang mengabdi di cabang Surabaya selama empat tahun terakhir. Kini, dia dipanggil ke kantor pusat—tanpa alasan yang jelas, hanya surat transfer internal yang datang tiba-tiba, ditandatangani langsung oleh CEO: Adrian Wiratama.

Nama itu masih menusuk perasaannya.

Pintu masuk Wira Tower menyambutnya dengan sensor kaca otomatis. Resepsionis memberi kartu tamu dengan sopan, namun Nayla tidak bisa mengabaikan tatapan penasaran dari beberapa pegawai yang berlalu-lalang. Ia mengenakan blazer krem sederhana, rok pensil hitam, dan tas kerja berwarna cokelat tua. Tidak ada yang mencolok. Tapi tetap saja... ia merasa dilihat, dinilai, ditimbang.

"Silakan naik ke lantai 56. Bapak Adrian sudah menunggu," ucap salah satu staf.

Bapak Adrian... gumam Nayla dalam hati. Bukan 'mas', bukan 'Adrian', bukan 'teman masa kecil'.

Lift naik begitu cepat, seolah tak memberi kesempatan untuk menarik napas panjang. Setiap lantai yang dilewati terasa seperti membuka kembali satu bab masa lalu. Ingatan tentang seorang remaja laki-laki yang duduk diam di halte hujan-hujanan, tubuhnya kurus, wajahnya dingin, tapi matanya menyimpan duka yang dalam. Nayla kecil pernah duduk di sebelahnya, meminjamkan payung dan sepotong roti.

Dan hari itu mengubah segalanya.

Denting lift berhenti di lantai 56. Pintu terbuka. Seorang asisten menyambutnya.

"Silakan, Ibu Nayla. Pak Adrian sudah menunggu di ruangannya."

Ruang itu luas. Langit-langit tinggi, jendela besar dari lantai ke langit-langit memperlihatkan panorama Jakarta yang sibuk. Namun yang paling mencolok adalah sosok pria berdiri membelakangi jendela, mengenakan jas hitam sempurna, tangan di saku celana. Posturnya tegap, berwibawa, nyaris menyerupai patung pahlawan di tengah museum modern.

"Nayla Ardiani," ucapnya tanpa menoleh. Suaranya berat, berkarisma, seperti tak memberi ruang untuk membantah. "Selamat datang di pusat."

Jantung Nayla berdetak lebih kencang.

"Iya, Pak. Terima kasih atas kesempatannya."

Adrian berbalik perlahan. Wajahnya masih sama: rahang tegas, mata tajam, alis tebal yang selalu menambah kesan dingin. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Dulu, mata itu memancarkan luka. Kini, hanya kehampaan.

"Kau berubah," katanya, setengah gumaman. "Lebih tenang dari yang kukira."

Nayla membalas dengan senyum tipis. "Empat tahun di Surabaya membuat saya banyak belajar."

"Bagus," katanya singkat, lalu duduk. "Aku yang memintamu pindah ke pusat. Kita butuh seseorang yang bisa dipercaya untuk proyek merger yang sedang berjalan. Dan dari semua laporan, kamu termasuk yang paling bersih."

Paling bersih? Kalimat itu terdengar seperti pujian, tapi juga seperti jebakan.

"Kalau saya boleh tahu, mengapa saya? Banyak analis senior di pusat."

Adrian menyilangkan tangan di depan dada. "Karena aku tahu kamu tidak akan menikamku dari belakang."

Diam. Sunyi. Kalimat itu seperti pisau bermata dua. Apakah dia sedang mengingat masa lalu? Atau sedang menguji?

"Kalau begitu, saya akan berusaha sebaik mungkin," jawab Nayla hati-hati.

Adrian menatapnya dalam-dalam, lalu berkata, "Kau akan jadi tangan kanan Rio. Dia kepala tim merger. Semua laporan langsung ke dia. Tapi... sekali sebulan, kau lapor langsung padaku."

"Baik, Pak."

Ia mengangguk, lalu kembali menatap jendela. Percakapan seolah selesai.

Tapi Nayla belum bisa pergi. Ada satu pertanyaan yang menggantung di bibirnya sejak ia tahu nama siapa yang menandatangani surat pemindahannya.

"Pak Adrian…"

"Hm?"

"Kenapa… kenapa baru sekarang?" tanyanya lirih. "Setelah bertahun-tahun?"

Adrian terdiam sejenak. Lalu menjawab pelan, "Karena dulu, aku belum cukup kuat untuk menghadapi bayang-bayang."

---

Hari pertama Nayla di kantor pusat dipenuhi dengan tatapan, bisikan, dan asumsi. Banyak yang bertanya-tanya: siapa wanita ini yang bisa langsung masuk ke tim merger elite tanpa proses panjang? Beberapa senior diam-diam kesal, beberapa yang muda kagum. Tapi Nayla hanya fokus pada satu hal: pekerjaannya.

Ruang kerja barunya berada di lantai 49, dekat dengan tim merger dan akuisisi. Di sanalah dia bertemu dengan Rio Mahendra, pria muda karismatik berusia 35 tahun, dikenal cerdas namun ambisius.

"Selamat datang di kubu penuh tekanan," kata Rio sambil menyodorkan tangan. "Kalau kamu bertahan di sini tiga bulan, berarti kamu lebih tangguh dari 90% orang."

Nayla tersenyum. "Saya tidak berniat menyerah."

Rio tertawa kecil. "Kita lihat nanti."

Hari-hari pertama Nayla dipenuhi dokumen, analisis laporan keuangan, hingga pengamatan alur saham. Tapi di balik semua itu, pikirannya tetap saja melayang ke satu sosok—Adrian.

Apakah pria itu masih menyimpan kenangan tentang hari di mana dia menangis di halte? Hari di mana Nayla memberinya payung dan menyebutnya "anak langit"—karena selalu menatap langit tanpa berkata-kata?

Malam itu, Nayla pulang ke apartemen kecil yang baru ia sewa dekat Sudirman. Ia membuka koper, mencari satu benda yang sejak dulu tak pernah ia buang: sebuah payung biru kecil yang sudah berkarat di ujungnya. Payung yang ia pinjamkan pada Adrian belasan tahun lalu.

Ia menggenggamnya erat.

"Kalau aku datang lagi ke hidupmu... bukan untuk membalas, Adrian," bisiknya. "Tapi untuk tahu... kenapa kamu berubah."

Nayla menutup koper perlahan. Matanya masih tertuju pada payung kecil yang kini tergolek di atas meja. Ia menghela napas panjang, seolah mencoba membuang semua beban yang selama ini tak pernah benar-benar hilang.

Dari balik jendela apartemen lantai 12, lampu kota menyala gemerlap. Jakarta di malam hari begitu kontras dengan hatinya yang gelap dan dipenuhi tanda tanya. Kenapa Adrian memanggilnya kembali? Apa hanya karena urusan kerja? Atau ada sesuatu yang belum ia pahami?

Ponsel Nayla bergetar.

Rio Mahendra.

Ia sedikit terkejut, tapi langsung mengangkat. "Halo?"

"Sorry ganggu malam-malam. Cuma mau ingetin, besok kita ada meeting sama investor jam sembilan pagi. Adrian minta kamu ikut, katanya kamu perlu tahu dari awal," ujar Rio.

"Baik, Mas. Saya catat."

"Ada yang kamu butuh bantu untuk briefing?"

Nayla ragu sejenak. Tapi akhirnya berkata, "Boleh kirimkan draft laporan keuangan yang terakhir?"

"Sudah kukirim via email jam delapan tadi. Tapi satu hal, Nayla…"

"Hm?"

"Jangan terlalu kaget sama gaya kerja Pak Adrian. Dia dingin, perfeksionis, dan... tidak suka alasan," kata Rio, suaranya terdengar setengah bercanda.

Nayla hanya tersenyum kecil. "Saya sudah tahu itu, Mas."

Rio tertawa. "Oke, kalau gitu. Sampai besok. Jangan telat ya, karena satu detik telat bisa bikin Adrian mencoret kamu dari proyek ini."

Panggilan ditutup. Nayla duduk lagi di sofa. Kepalanya berdenyut pelan. Bukan karena pekerjaan, tapi karena kenangan.

Ia membuka laptopnya, mulai membaca laporan-laporan yang dikirim Rio. Di antara lembar-lembar angka, ia membaca hal lain: kecurigaan.

Beberapa transaksi tidak masuk akal. Ada perpindahan dana ke anak perusahaan yang terdaftar di luar negeri, namun laporan pendukung tidak lengkap. Ia mencatat semuanya dalam buku kecil. Pengalamannya selama ini membuatnya peka akan "uang panas". Dan di Wira Group, uang semacam itu tampaknya mengalir lebih deras dari yang ia kira.

Namun belum sempat ia menggali lebih dalam, jam sudah menunjukkan pukul 01.15. Ia memutuskan tidur.

---

Pukul 08.50 WIB – Wira Tower, Lantai 56

Nayla sudah duduk di ruang tunggu luar ruang rapat. Penampilannya rapi, rambut dikuncir rendah, riasan tipis. Beberapa staf lain sudah berdatangan. Salah satu di antaranya adalah Anya—seorang manajer senior yang terlihat dari gaya bicaranya merasa punya "kuasa tak resmi".

"Eh, kamu anak baru dari Surabaya, ya?" tanya Anya dengan senyum tipis.

"Iya, Mbak. Saya Nayla."

"Oh... kamu ya yang katanya langsung dipanggil Pak Adrian? Hebat juga, ya. Biasanya orang daerah butuh waktu bertahun-tahun buat masuk tim merger," sindirnya halus.

Nayla menanggapinya dengan sopan. "Saya hanya menjalankan tugas, Mbak. Semoga bisa berkontribusi."

Anya tersenyum sinis, lalu masuk lebih dulu ke ruang rapat.

Beberapa menit kemudian, pintu terbuka. Adrian masuk dengan langkah mantap. Jas hitam pekat membalut tubuhnya. Semua langsung berdiri. Ia tak bicara sepatah kata pun, hanya mengangguk, lalu duduk di ujung meja.

"Lanjutkan," katanya singkat.

Rio berdiri, mempresentasikan data. Nayla mendengarkan dengan seksama, mencatat dengan cepat, sesekali menatap Adrian yang hampir tak bereaksi selama presentasi.

Sampai akhirnya, Rio menyerahkan floor kepada Nayla.

"Nayla, bisa sampaikan evaluasi hasil laporan kuartal kedua?"

Nayla berdiri. Jantungnya sedikit berdebar. Tapi ia tahu, ia tak boleh ragu.

"Dari hasil evaluasi saya, ada anomali pada laporan pendapatan anak perusahaan PT Branta Lintas. Dalam laporan disebutkan surplus 18%, tapi transaksi keluar justru meningkat hampir dua kali lipat dibanding tahun lalu, tanpa penjelasan sah yang tercatat."

Ruangan menjadi hening.

Rio melirik Nayla. Anya mengernyit.

Adrian menatap langsung padanya. Sorot mata pria itu tajam, namun tak menunjukkan ekspresi apa-apa.

"Lanjutkan," ucapnya.

"Dari transaksi yang ada, saya mencurigai adanya pengalihan dana yang tidak masuk dalam dokumentasi resmi. Saya sudah siapkan bukti pendukung jika diperlukan."

Adrian mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Siapa yang memverifikasi laporan dari Branta?"

Semua menoleh pada seorang manajer keuangan senior. Lelaki itu terlihat pucat. "I-itu... saya, Pak. Tapi saya hanya meneruskan data dari direktur cabang…"

"Saya minta Nayla bentuk tim kecil untuk audit ulang," kata Adrian tegas. "Semua laporan dari Branta dibekukan sampai evaluasi selesai. Nayla, kamu pimpin."

"Siap, Pak."

Usai rapat, beberapa orang melirik Nayla dengan campur aduk antara kagum dan benci. Ia baru satu hari di kantor pusat, tapi sudah "menyerang" salah satu anak perusahaan besar. Itu jelas membuatnya menjadi sorotan.

Namun Nayla tak peduli. Ia tahu apa yang dilihatnya. Dan ia tidak datang ke sini untuk mencari teman.

---

Sore hari – Ruang CEO

Adrian berdiri membelakangi jendela lagi, memandangi Jakarta yang kini diguyur hujan deras.

"Kau tahu kenapa aku biarkan kamu bicara di rapat tadi?" tanyanya saat Nayla datang membawa dokumen tambahan.

Nayla diam, lalu menjawab jujur, "Karena saya tidak salah."

Adrian menoleh. Kali ini ada sedikit lengkungan di bibirnya—senyum tipis yang jarang terlihat.

"Dan karena aku tahu kamu tidak takut jadi dibenci."

Nayla menyodorkan map laporan. "Saya hanya melakukan yang benar."

Adrian mengambil map itu, lalu berkata pelan, "Berhati-hatilah, Nayla. Di gedung ini, yang benar belum tentu menang."

Dan untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu kembali, Nayla melihat secercah luka lama di mata pria itu.

Luka yang belum sembuh. Luka yang mungkin... ada kaitannya dengannya.

More Chapters