LightReader

Chapter 19 - Bab 19 – Bayangan yang Tertinggal di Hati

Bab 19 – Bayangan yang Tertinggal di Hati (Revisi)

Awal Juni 2013. BitWhale tengah dalam puncak euforianya—BitMusic mencatatkan pertumbuhan masif setelah kolaborasi dengan sejumlah artis ternama, termasuk Taylor Swift. Di balik pencapaian luar biasa itu, Wiliam James berjuang menyembunyikan gelombang perasaan yang terus tumbuh liar di dalam dirinya: rasa cinta yang tak pantas kepada Milim, adik angkatnya sendiri.

Untuk menenangkan pikirannya, ia mencoba membuka hati kepada seseorang yang mungkin bisa membantunya melupakan Milim. Sosok itu adalah Lyla Cresswell, analis data cerdas di BitWhale. Tapi yang membuat Wiliam terkejut, justru Lyla terasa... terlalu mirip dengan Milim.

Bukan hanya dari cara Lyla tertawa atau gaya bicaranya yang spontan, tapi juga dari beberapa ciri fisik: tinggi badan mereka nyaris sama, rambut sebahu, dan ekspresi saat tersipu pun mirip. Kulit Lyla sedikit lebih gelap dibanding Milim yang pucat cerah, tapi keduanya punya kesamaan yang cukup kentara: warna favorit mereka adalah kuning, dan mereka kerap mengenakan baju berwarna serupa di kantor.

Wiliam sempat terdiam lama saat pertama kali melihat Lyla tertawa sambil mengenakan hoodie kuning. Rasanya seperti melihat Milim dari sudut mata yang lain—seolah perasaannya masih tidak bisa melepaskan bayangan itu, bahkan ketika ia mencoba mencari pelarian.

Namun justru karena kemiripan itu, Lyla dengan mudah masuk ke hati Wiliam. Ia tidak tahu apakah yang ia rasakan cinta sungguhan atau hanya pantulan perasaan lamanya terhadap Milim. Tapi Lyla membuatnya merasa nyaman, dan itu sudah lebih dari cukup bagi Wiliam untuk mencoba hubungan ini.

---

Sementara itu, Milim memperhatikan perubahan kecil itu. Ia tidak menunjukkan rasa cemburu secara langsung, tapi dari cara ia bertanya di sela makan siang mereka yang canggung, ada perasaan tak terucapkan.

"Kamu mulai suka warna kuning sekarang?" tanya Milim sambil menatap jaket kuning yang dikenakan Wiliam.

Wiliam tersenyum kecil. "Mungkin... aku lagi terinspirasi dari orang-orang di sekitarku."

Milim tertawa, lalu menunduk. Hatinya terasa sedikit aneh. Ia tidak tahu kenapa. Mungkin karena Wiliam berubah. Atau mungkin karena Lyla terlalu mirip dirinya.

---

Milim duduk sendirian di ruang santai lantai tujuh gedung BitWhale, memandangi langit sore yang mulai kemerahan dari balik kaca besar. Di tangannya, secangkir kopi sudah dingin. Di luar, tawa Lyla terdengar jelas—bersama Wiliam.

Hatinya terasa aneh. Ia ingin menyebutnya rasa kesal. Tapi tidak cukup. Ingin menyebutnya iri, tapi terlalu menyakitkan untuk diakui. Ia bahkan mencoba berkata pada dirinya sendiri: "Itu kakakku. Tidak seharusnya aku merasa seperti ini."

Namun, setiap kali melihat senyum Wiliam saat berbicara dengan Lyla… hatinya seolah ditusuk perlahan.

Lyla terlalu mirip dengannya.

Itulah yang membuat Milim semakin terusik.

"Apa yang kamu lihat dari dia, Wiliam?" gumamnya pelan. "Dia mirip aku? Atau justru kamu mulai benar-benar menyukai dia?"

Malam itu, Milim tak bisa tidur. Ia menatap layar ponselnya, menatap profil Lyla yang kini mulai sering muncul di sosial media internal perusahaan. Wiliam dan Lyla bahkan terlihat berdua di sebuah acara gala kecil.

Kenapa harus Lyla? pikir Milim, merasa dadanya sesak.

Ia mencoba mengingat: semua momen yang pernah ia lalui bersama Wiliam. Dari tawa mereka, kerja keras di kantor, hingga obrolan santai tengah malam saat dunia hanya milik mereka berdua. Kini semua terasa jauh.

Namun, bagian yang paling menyakitkan—ia tak tahu, apakah ia sakit hati karena kehilangan perhatian Wiliam, atau karena cinta yang selama ini ia pendam dalam diam… mulai tergantikan.

---

Keesokan harinya, di kantor, Milim memasang wajah ceria seperti biasa. Namun saat Lyla menyapa dan Wiliam ikut tersenyum di sampingnya, Milim hanya membalas dengan senyum tipis.

"Pagi, Milim," kata Lyla.

"Pagi juga," jawab Milim singkat.

Wiliam memperhatikan raut wajah Milim. Ia tahu ada yang berbeda. Milim menghindari tatapan mata, dan tidak seceria biasanya.

Setelah Lyla pergi, Wiliam mendekat. "Kamu nggak apa-apa?"

Milim tersenyum, tapi nadanya dingin. "Kenapa aku nggak boleh baik-baik saja? Kamu kelihatan senang belakangan ini. Baguslah."

Wiliam menatap Milim cukup lama. Tapi tak bisa berkata apa-apa. Ia tahu, ada hal yang tidak bisa lagi mereka pura-purakan.

Beberapa hari berlalu, dan Wiliam merasa ada yang berubah dengan Milim. Tatapan matanya tidak lagi ceria seperti biasanya, dan senyum yang selalu ia berikan kini terasa hambar. Wiliam yang sudah mengenal adiknya begitu lama, merasa ada yang mengganjal di hati Milim.

Suatu pagi, setelah Lyla mengucapkan selamat pagi dengan ceria, Wiliam kembali memperhatikan Milim yang tampak lebih pendiam. Tanpa diduga, ia mendapatkan sebuah pemikiran yang cukup menyentuh hatinya.

Apakah Milim cemburu?

Wiliam mengernyitkan dahi. Selama ini, ia tidak menyadari bahwa kedekatannya dengan Lyla mungkin sudah membuat Milim merasa tersisih. Ia selalu berusaha menjaga hubungan baik dengan adiknya, tetapi tidak pernah benar-benar melihat bagaimana Milim merasakannya.

"Mungkin aku terlalu asyik dengan Lyla... dan melupakan Milim," gumam Wiliam dalam hati.

Itulah alasan kenapa Milim berubah. Wiliam merasa seolah sebuah beban berat terangkat dari pundaknya. Ia tahu apa yang harus dilakukan.

Hari itu, Wiliam mengajak Milim dan Lyla untuk makan siang bersama. Ketiganya duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota, suasana sedikit canggung di awal, tapi Wiliam bertekad untuk membuat keduanya lebih mengenal satu sama lain, dan lebih penting lagi, memberi Milim kesempatan untuk merasa dihargai seperti dulu.

"Milim, Lyla... aku tahu kalian berdua sudah sering bertemu, tapi aku ingin kita berbicara lebih banyak. Agar semuanya lebih jelas," kata Wiliam, mencoba mencairkan suasana.

Lyla tersenyum dan menatap Milim. "Aku ingin mengenalmu lebih baik, Milim. Kamu pasti orang yang luar biasa. Wiliam sering bercerita tentang kamu."

Milim memaksakan senyum, tetapi tetap terasa ada jarak di antara mereka. "Aku hanya sedikit... bingung," jawab Milim perlahan.

Wiliam menatap Milim dengan penuh perhatian. "Milim, aku tahu aku mungkin terlalu fokus pada diriku sendiri dan Lyla, tapi itu tidak berarti aku mengabaikanmu. Aku masih kakakmu yang peduli."

Milim menarik napas panjang. Ada sedikit keraguan, tapi ia mencoba membuka hati. "Aku hanya... merasa ada yang hilang. Semua perubahan ini, semuanya begitu cepat. Kamu... kamu dekat dengan Lyla, dan aku... merasa terabaikan."

Wiliam merasa hatinya terenyuh. "Aku tidak pernah bermaksud membuatmu merasa seperti itu. Aku ingin kamu tahu, tidak ada yang akan menggantikan tempatmu di hatiku. Kamu tetap yang pertama bagiku, Milim."

Lyla diam, memberi ruang bagi keduanya. Wiliam melanjutkan, "Aku juga ingin kamu tahu, kalau aku tertarik pada Lyla... itu bukan hanya karena dia mirip denganmu. Tapi karena dia juga seseorang yang punya kualitas yang luar biasa. Aku tidak ingin perasaan kita jadi rumit hanya karena masalah ini."

Milim terdiam. Ia melihat dengan lebih jelas bagaimana perasaan Wiliam sebenarnya. Rasa cemburu yang awalnya begitu kuat mulai berkurang sedikit demi sedikit.

Kemudian, setelah hening sejenak, Milim akhirnya bertanya, "Wiliam, apakah kamu mencintai Lyla karena dia mirip dengan aku? Apa itu berarti kamu sangat mencintaiku?"

Pertanyaan itu menggantung di udara, dan Wiliam menatap Milim dengan tatapan yang dalam. "Aku mencintaimu sebagai adikku, Milim. Tidak ada yang bisa menggantikan ikatan kita sebagai keluarga. Dan tentang Lyla, aku ingin memberikan kesempatan padanya karena aku merasa ada kecocokan, tetapi itu tidak berarti aku lebih mencintainya daripada kamu."

Milim terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Wiliam. Dia merasa sedikit lega, karena ternyata ada penjelasan yang selama ini ia cari. Rasa cemburu dan bingung yang menguasainya mulai berkurang.

"Aku... aku tidak tahu kalau perasaanmu begitu," kata Milim, suara lembut.

Wiliam tersenyum, sedikit lega. "Kamu berhak merasa apa pun, Milim. Aku ingin kita semua bisa saling mendukung dan bahagia, tidak ada yang perlu merasa tersisih."

Milim mengangguk, tersenyum kecil. "Aku mendoakan hubungan kalian, Wiliam. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, dan untuk diriku sendiri."

Lyla, yang mendengar itu, tersenyum dengan tulus. "Terima kasih, Milim. Aku berharap kita bisa jadi teman yang baik."

Kedua saudara itu saling bertukar senyum, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu terakhir, Milim merasa sedikit lebih tenang. Mungkin ini adalah langkah pertama untuk mengatasi semua ketidakpastian yang ada dalam hatinya.

Setelah obrolan serius yang memecahkan kebekuan, suasana di meja makan mulai terasa lebih ringan. Milim, yang tadinya terlihat tertutup, kini mulai membuka diri. Senyum kecil tersungging di wajahnya, sementara Wiliam dan Lyla ikut melonggarkan ketegangan yang sempat ada.

Lyla mengangkat gelas airnya, mencoba untuk mengubah suasana menjadi lebih santai. "Jadi... kalian berdua ini sering banget ngomongin soal proyek-proyek perusahaan ya? Aku sudah dengar tentang Bitmusic dan Bitwhale, tapi kadang aku bingung kenapa kamu berdua bisa tahan bekerja keras sampai begitu."

Wiliam tertawa, memiringkan kepala ke arah Milim. "Tahan? Kadang kami merasa itu lebih kayak... berjuang untuk bertahan hidup, sih. Jangan bilang kamu belum pernah merasa gila dengan kerjaan, Milim?"

Milim yang mendengar itu hanya tertawa ringan, menggigit bibir. "Gila, sih, udah sering. Tapi kalau Wiliam ngomong, ya, kayak dia nggak pernah capek. Kadang aku yang bingung, dia itu kayak baterai energizer... nggak pernah habis." Milim bercanda, matanya menyipit, pura-pura mendalami "misteri" Wiliam.

Wiliam menanggapi dengan ekspresi sok serius. "Yah, kamu tahu sendiri, kan? Itu karena aku punya... stamina juara. Kalau kamu terus berpikir 'kerja keras,' kamu akan cepat lelah. Jadi lebih baik berpikir 'kerja cerdas'."

Lyla terkikik. "Itu klise banget, Wiliam. Kamu kayak motivator aja."

Milim menambahkan, "Hahaha! Tapi iya, itu motivasi yang keren. Tapi, serius deh, Wiliam nggak bisa diem. Kalau nggak lagi kerja, pasti dia jadiin tempat tidur kantor buat istirahat."

Wiliam mendelik. "Bukan tempat tidur! Itu... ehm... ruang istirahat berbentuk ergonomis."

"Ah, bener banget! Kalau ada yang mau tidur, tinggal geser meja kerja sedikit, langsung tidur di lantai," Milim berkata dengan nada bercanda, sambil menunjuk ke arah ruang belakang yang jarang dipakai.

Lyla tertawa, kemudian menggoda Wiliam. "Jadi, Wiliam, kalau misalnya aku jadiin tempat tidur di kantor itu... apa aku bisa tidur enak di sana?"

Wiliam pura-pura berpikir keras. "Hmm... harus di cek dulu. Kalau kamu tidur terlalu nyenyak, mungkin aku nggak bisa ngajarin kamu cara kerja cerdas."

Milim menyeringai, menambahkan, "Kalau kamu tidur di kantor, bisa-bisa kamu sampai nggak tahu apa yang terjadi sama Bitwhale! Hahaha!"

Wiliam tertawa, tetapi sedikit mengernyit. "Oke, oke, kalian benar. Tapi serius, aku juga nggak pernah nganggap kerjaan ini cuma soal kerja keras. Ini soal bikin sesuatu yang bener-bener bermanfaat buat orang lain."

Milim dan Lyla mendengarkan dengan serius, meski senyuman masih tersisa di bibir mereka.

Lyla menatap Wiliam dengan rasa kagum. "Kamu memang serius ya, Wiliam. Aku agak terkejut. Aku kira kamu lebih suka bikin lelucon aja."

Wiliam mengangkat bahu dengan santai. "Gimana ya... kadang, hal-hal lucu itu datang secara spontan. Tapi kalau bicara soal Bitwhale, itu bukan cuma main-main. Ada banyak orang yang mengandalkan kita untuk terus berkembang. Kami harus serius dan menjaga kepercayaan mereka."

Milim mengangguk, lalu tersenyum penuh arti. "Wiliam, kamu memang serius dalam hal itu. Tapi terkadang kamu juga butuh waktu untuk nggak terlalu mikirin kerjaan. Biar kita nggak stres."

Wiliam melemparkan pandangan penuh rasa syukur ke arah Milim. "Yah, benar juga. Beneran deh, kadang aku lupa kalau nggak semua harus berputar di sekitar kerjaan. Kalian berdua benar-benar pengingat yang baik."

Lyla melirik Milim dengan senyum nakal. "Tapi, serius deh, Milim. Kalau Wiliam nggak pernah nggak kerja, pasti kamu nggak bisa cuci otak dia juga. Haha!"

Milim tertawa lepas. "Iya, benar. Aku sering ngingetin dia kalau kerja terus nggak bagus buat kesehatan mental. Apalagi kalau dia suka makan mie instan terus, kan, makin lama jadi mikirin bisnis dan enggak mikirin kesehatannya."

"Aduh... kamu mau bunuh aku dengan kata-katamu?" Wiliam bergurau, pura-pura cemas, "Jangan-jangan setelah makan mie instan, aku jadi robot bisnis tanpa rasa."

Semua tertawa bersama. Wiliam akhirnya merasa seolah-olah bebannya sedikit berkurang. Milim, yang selama ini tampak sangat serius dan tertutup, sekarang terlihat lebih santai. Begitu juga dengan Lyla yang bisa membuat suasana menjadi lebih ringan.

Malam itu, di meja makan yang sederhana, mereka bertiga saling berbagi tawa dan cerita. Meskipun pekerjaan mereka cukup berat, kedekatan ini memberikan mereka kekuatan untuk terus melangkah. Tanpa mereka sadari, hubungan mereka semakin erat, lebih dari sekadar rekan kerja atau keluarga.

Kehangatan dari obrolan mereka memberikan rasa nyaman, meskipun masih ada banyak hal yang harus dihadapi di dunia luar.

---

Malam mulai larut, namun tawa masih memenuhi ruangan makan apartemen Wiliam James. Ketiganya, Milim Nava, Wiliam, dan Lyra, tampak menikmati kebersamaan yang sudah lama tak mereka rasakan. Sisa-sisa makanan masih berserakan di atas meja, tapi suasana hangat dan penuh canda menggantikan kepenatan hari.

"Eh, kalian masih ingat nggak waktu kita ngoding tengah malam pas masih nyewa kantor kecil di distrik tua?" ujar Milim sambil menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Matanya menerawang, seperti menyusuri lorong kenangan.

Wiliam tersenyum, sudah bisa menebak arah pembicaraan itu. "Ingat dong. Komputernya panas banget, sampai bisa buat nyalain kompor mie instan."

"Haha! Iya! Tapi yang paling seru tuh waktu 2008... inget nggak, Will?" Milim menoleh ke Wiliam, lalu melihat ke Lyra, tanpa sadar ia melanjutkan, "Yang kita bikin itu loh... project yang katanya 'nanti bikin dunia tercengang'! Waktu pasar finansial dunia ambruk, eh kita malah ngerjain..."

Wiliam langsung duduk tegak. "Mi–Milim..."

Tapi Milim sudah terlanjur nyerocos. "...yang soal desentralisasi itu loh! Yang kita bilang 'kalau sistem ini jalan, bank bisa...'"

"Eh?" Lyra menyipitkan mata. "Desentralisasi? Maksudnya apa?"

Tiba-tiba Milim terdiam. Mulutnya berhenti, seperti baru tersadar. Matanya melebar, lalu menatap Wiliam dengan tatapan panik sesaat.

"Ahahaha!" Milim langsung tertawa canggung, "Ya ampun, aku ngomongin proyek tahun 2008 malah! Nostalgia doang, hahaha... padahal itu cuma ide iseng doang, ya nggak sih, Will?"

Wiliam cepat-cepat ikut tertawa, walau sedikit kaku. "Iya, itu proyek ngawur banget... semacam, apa ya... aplikasi mainan, buat... hewan virtual? Hahaha! Gagal total."

Lyra masih penasaran. "Tapi kalian semangat banget ngomonginnya tadi. Apa itu semacam... eksperimen teknologi?"

Milim langsung mengambil segelas air dan meminumnya, pura-pura tersedak. "Eh, bisa dibilang gitu... tapi ya sudahlah, nggak penting banget kok. Lebih seru ngomongin BitPlay atau BitMusic. Kayaknya kita butuh algoritma baru deh buat video rekomendasi."

Wiliam cepat-cepat menimpali, mengalihkan perhatian Lyra. "Setuju. Kita bahkan lagi mikirin fitur live subtitle realtime, jadi bisa langsung baca percakapan bahkan dalam video asing. Kayaknya bisa jadi pembeda utama."

Lyra akhirnya mengangguk, walau masih sedikit bingung. "Wah, keren juga. Kalian memang pasangan tim yang aneh. Tapi kompak."

Milim pura-pura cemberut. "Eh, aneh gimana? Aku normal kok."

Wiliam menambahkan sambil tertawa, "Kalau Milim normal, aku jadi Sinterklas."

Tawa mereka pecah lagi, dan ketegangan sesaat pun perlahan menghilang. Tapi di dalam kepala Wiliam, sebuah keping kenangan berputar. Tahun 2008. Proyek rahasia. Baris-baris kode yang mereka tulis. Nama samaran yang mereka pakai.

Satoshi Nakamoto.

Dan kini Milim hampir saja keceplosan...

Namun, malam ini masih bisa diselamatkan. Untuk saat ini.

---

More Chapters