LightReader

Chapter 20 - Bab 20 – Ketegangan Darah Kandung

Bab 20 – Ketegangan Darah Kandung

Usai malam hangat bersama Lyra, Wiliam James kembali ke kantor BitWhale. Gedung sudah sepi, hanya satu ruangan yang masih menyala: ruang kerja Milim Nava. Wiliam tahu betul, jika lampu itu menyala, pasti adik kandungnya masih belum tidur.

Ia membuka pintu. Milim tengah duduk di sofa sambil menatap layar hologram data. Begitu melihat kakaknya masuk, ia tersenyum tipis. Tapi senyum itu langsung padam saat melihat ekspresi Wiliam.

"Jangan pernah, Milim," katanya tegas. "Jangan pernah singgung soal 2008 di depan orang lain. Bahkan Lyra."

Milim terdiam, matanya menunduk. "Maaf, Kak… aku kelepasan. Aku cuma bercanda…"

"Ini bukan soal bercanda. Kita bukan siapa-siapa di atas kertas, tapi kita adalah 'seseorang' di balik tirai dunia." Wiliam menatap adiknya dengan ketegasan seorang kakak yang memikul beban besar.

Milim berjalan pelan ke arah Wiliam. "Aku tahu. Aku benar-benar minta maaf." Ia menggigit bibir bawahnya, lalu dengan canggung berkata, "Biar aku nebus kesalahan. Duduk dulu, sini."

Wiliam menghela napas panjang. Ia menuruti, duduk di kursi panjang. Milim berdiri di belakangnya dan mulai memijat pundaknya.

"Masih keras ya otot bahumu," katanya pelan. "Padahal kamu sekarang CEO, bukan lagi buruh di garasi kecil."

Wiliam mendecak pelan. "Kamu masih sama kayak dulu. Ngeyel, ceroboh, tapi... perhatian."

"Dan kamu masih dingin tapi selalu jagain aku." Milim tersenyum kecil, meski ada rasa bersalah di baliknya.

Mereka diam sejenak. Wiliam akhirnya berkata pelan, "Arvid di New York. Kita cuma tinggal berdua di sini, mimpi kita sekarang udah besar. Kamu tahu risikonya. Kita nggak bisa sembarangan ngomong soal masa lalu."

Milim mengangguk pelan. "Aku tahu. Kita bukan cuma keluarga... kita fondasi teknologi masa depan. Tapi kadang aku lupa, kamu nggak cuma kakakku, kamu partner satu-satunya yang ngerti beratnya rahasia kita."

Wiliam menatap ke depan, matanya kosong. "Dan kamu satu-satunya yang bisa bikin aku lengah."

Milim tertawa kecil. "Itu artinya aku spesial."

Wiliam tersenyum sekilas. "Iya. Kamu selalu spesial, Milim."

Di ruangan itu, hanya terdengar dengungan pendingin server dan tarikan napas dua bersaudara yang saling menjaga, saling menyembunyikan, namun tak pernah bisa sepenuhnya menjauh.

---

Beberapa hari setelah pertengkaran kecil mereka, paket istimewa datang dari New York. Lebih tepatnya, tiga paket besar dalam bentuk kendaraan super mewah yang dikirim langsung ke kantor BitWhale.

Milim berdiri dengan mata membelalak ketika penutup mobil pertama dibuka: Porsche GTR Ultima, warna hitam metalik yang tajam dan elegan. "Waaaah!! Ini kayak monster dari masa depan!" serunya sambil melompat-lompat.

Yang kedua: Bugatti Veyron, biru gelap berkilau dengan garis emas di sisi bodi. "INI—INI GILA! KAK ARVID GILA BANGET!!" Milim hampir pingsan karena terlalu bersemangat.

Wiliam hanya mengangkat alis ketika mobil ketiga dibuka. Ferrari Testarossa, klasik, merah menyala, penuh aura retro. Ia hanya tersenyum kecil dan mengangguk. "Ini baru gaya saya."

Sebuah surat kecil dari Arvid terlipat rapi:

> "Untuk adik-adik gila teknologi yang juga gila kerja. Anggap ini pengingat bahwa kalian masih manusia—dan butuh bersenang-senang sesekali. Jangan lupa helm dan sabuk pengaman. - Arvid."

---

Keesokan harinya, Milim tampil dengan Porsche GTR Ultima-nya di kafe langganan. Dengan kacamata hitam besar dan senyum selebar bulan, ia sudah seperti selebritas.

"Mobil siapa itu?"

"Gila, itu Bugatti kan?"

"Eh, itu Milim Nava? CEO muda BitWhale?"

"Cantik, kaya, punya perusahaan, punya mobil supercar… mana mungkin bisa didekati!"

Para tetangga, teman kuliah, bahkan beberapa influencer lokal mulai melirik. Tak lama, Milim mulai dihujani pesan—ada yang ingin kopi darat, ada yang 'kebetulan' minta kerja sama proyek, dan ada juga yang terang-terangan mencoba flirting.

Namun Milim hanya menjawab dengan datar, "Kalau kamu cuma tertarik karena mobilku, bukan karena otakku, minggir aja."

---

Wiliam menyaksikan semua itu dari jendela kantor di lantai dua. Ia menggosok pelipisnya. "Kenapa kamu harus segila ini, Milim…?" gumamnya.

Sorenya, saat Milim masuk ke ruangannya sambil menenteng milkshake dan bercerita soal "teman-teman yang kaget" dan "lima cowok yang ngajak dinner", Wiliam hanya bisa menatap langit-langit.

"Kenapa kamu seperti anak umur 15 padahal kamu pegang teknologi blockchain kelas dunia?"

Milim nyengir. "Karena di umur 15 aku cuma punya komputer rusak dan kamu satu-satunya temanku."

Wiliam mendesah. "Jangan buat aku menyesal kamu punya SIM."

---

Suara raungan mesin Bugatti Veyron menggema di sepanjang Sunset Boulevard. Di balik kemudi, Milim Nava, mengenakan jaket kulit kuning terang yang senada dengan aksen velg mobilnya, menatap ke depan dengan semangat membara. Kaca mata hitam besar menutupi matanya, dan lagu pop tahun 2000-an memekakkan telinga dari dalam speaker mobil yang disetel maksimal.

"YAAMPUN, LIHAT ORANG-ORANG NGELIAT AKU!" teriaknya sendiri sambil melambaikan tangan ke arah kerumunan yang mulai menoleh.

Ia sengaja memelankan mobilnya saat melintas dekat area kafe outdoor yang ramai turis. Beberapa anak muda segera mengeluarkan ponsel dan mulai merekam. Milim membalas dengan kedipan dan gaya peace tanda kemenangan.

---

Sementara itu, di belakangnya sekitar dua blok, Ferrari Testarossa merah menyala meluncur mulus, dikemudikan Wiliam James. Di sebelahnya duduk Lyra, mengenakan dress putih kasual dan ikat rambut kuning yang sama mencoloknya dengan gaya Milim.

"Uwaaah! Kita jadi pusat perhatian! Ini kayak dunia GTA V versi nyata!" teriak Lyra sambil membuka jendela dan melambai ke arah mobil-mobil di sekitar.

Wiliam hanya bisa menahan napas dan menahan perasaan campur aduk. "Tolong… jangan tambah satu Milim lagi di hidupku…"

"Hey! Aku denger itu!" kata Lyra sambil tertawa. "Tapi kamu suka, kan? Cewek energik, berjiwa bebas, stylish…"

Wiliam meliriknya. "Aku suka yang nggak bikin aku sakit kepala setiap 5 menit."

---

Beberapa saat kemudian, Milim menunggu di perempatan. Ketika Ferrari mereka sampai, Milim menoleh dan melambai.

"Hei! Ayo balapan sampe dermaga Santa Monica!" tantang Milim dengan suara keras sambil menyentuh pedal gas sedikit, memprovokasi suara mesin Bugatti yang menggeram ganas.

Wiliam menepuk dahinya. "Astaga, dia beneran ngajak balapan di jalan umum…"

Tanpa aba-aba resmi, Milim sudah meluncur duluan. Lyra tertawa dan berkata, "YUK! JANGAN MAU KALAH, KAPTEN!"

Dan… Ferrari ikut melaju.

---

Catatan Wiliam James dalam hati:

"Aku punya dua wanita gila di hidupku sekarang. Satu adik kandung, satu pacar. Dua-duanya tukang pamer. Dua-duanya suka kuning. Dua-duanya bikin jantungku lelah. Tapi... entah kenapa, aku tidak pernah benar-benar ingin jauh dari mereka."

---

Di dermaga Santa Monica, suasana menjadi ramai. Kamera ponsel mengarah ke dua mobil super mahal yang diparkir berjajar: Bugatti Veyron milik Milim, dan Ferrari Testarossa milik Wiliam dan Lyra.

Milim keluar dari mobil dengan gaya seleb Hollywood, melepas kaca mata hitamnya pelan-pelan dan berkata lantang, "Wow, matahari California cocok banget sama aura aku, ya nggak?"

Lyra langsung membalas dengan tawa dan berkata, "Eh, aura kamu? Kamu belum lihat aku buka jaket kuningku. Ini limited edition dari Paris, cuma dua di dunia."

Milim melotot dramatis. "Cuma dua? Aku punya tas tangan dari kulit naga biru, cuma SATU di dunia, dan aku pakai buat nyimpan permen!"

Wiliam yang baru keluar dari mobil memegangi kepalanya. "Dua cewek ini... bisa dijadikan senjata pemusnah massal ego orang normal."

---

Beberapa Menit Kemudian...

Milim dan Lyra berdiri di tengah kerumunan turis. Alih-alih malu, mereka malah:

Berpose di depan mobil sambil menyeletuk keras, "Tag aku di Insta, ya!"

Berlomba siapa yang punya lebih banyak pengikut di media sosial.

Pamer jam tangan, sepatu, dan bahkan jumlah notifikasi di ponsel mereka.

"Lihat nih notifku, Ly! TIGA RIBU MENTION sejak aku turun dari mobil!" seru Milim bangga.

"HAH! Cuma tiga ribu? Nih, liat notif-ku!" Lyra memperlihatkan layar ponselnya yang penuh notifikasi. "Empat ribu dua ratus! Karena aku bilang aku pacar CEO!"

Milim memelototi Lyra. "TAPI AKU ADIK CEO! Itu lebih penting secara legal!"

Wiliam yang dari jauh mendengar, berbisik ke dirinya sendiri, "Aku CEO yang diapit dua wanita dengan kekuatan flexing level dewa... Aku butuh aspirin."

---

Beberapa Turis Terdekat Bicara:

"Eh, itu yang punya Bitwhale kan?"

"Yang cewek kuning itu mirip banget ya sama pacarnya…"

"Dua-duanya mirip... kayak copy-paste!"

"Kasihan cowoknya, pasti tiap hari begini…"

---

Setelah beberapa lama pamer di jalanan California, Milim dan Lyra akhirnya memutuskan untuk makan malam di restoran Michelin berbintang di pusat kota. Restoran yang sangat terkenal dengan suasana elegan dan menu yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu.

Wiliam, yang sudah cukup pusing dengan tingkah laku mereka, menghela napas panjang saat memasuki restoran. "Aku hanya ingin makan, tidak lebih dari itu. Tapi kenapa rasa-rasanya aku akan menyesal?"

Milim, yang mengenakan gaun kuning mencolok, dan Lyra, dengan gaun biru yang hampir sama mencoloknya, melangkah masuk dengan percaya diri, menarik perhatian semua orang di sekitar. Begitu mereka duduk, tanpa ragu mereka langsung memanggil pelayan dan memesan dengan penuh semangat.

"Pelayan! Bawa aku menu spesial hari ini! Oh, dan aku ingin kaviar dengan ikan beluga, serta truffle hitam! Dan pastikan... jangan sampai terlambat menghidangkannya!" ujar Milim dengan suara keras dan sedikit dramatis.

Lyra dengan ceria menyusul, "Aku mau steak wagyu ukuran terbesar, medium-rare, dan jangan lupa tambahkan sebotol anggur Bordeaux yang paling mahal. Ah, dan ambilkan juga es krim vanilla dengan daun emas di atasnya."

Wiliam yang sudah duduk dan mendengarkan pesanan mereka merasa seperti dunia sedang membencinya. "Kenapa selalu aku yang jadi saksi hidup dari ini semua?" pikirnya sambil menatap dua wanita yang duduk di depannya dengan ekspresi polos.

---

Pelayan dengan Teguh Menanyakan Pesanan Wiliam:

Pelayan yang sudah terbiasa dengan pelanggan seperti mereka bertanya pada Wiliam, "Tuan, apa yang bisa saya bantu untuk Anda?"

Wiliam, sedikit tertekan, mencoba memesan sesuatu yang lebih sederhana, "Saya hanya akan makan salad Caesar dan steak biasa. Cukup yang standar saja."

Namun, Milim langsung menoleh dengan ekspresi terkejut. "Salad Caesar? Itu makanan seperti anak kecil, Wiliam! Kamu kan bukan lagi anak-anak, ayo makan yang lebih berat sedikit. Jangan jadi orang yang membosankan!"

Lyra menimpali dengan cepat, "Bener, Wiliam! Cobalah sesuatu yang lebih menggugah selera. Kita makan di tempat mahal, lho. Kamu harus menikmati hidupmu!"

Wiliam yang sudah terlalu sering mengalami hal ini hanya bisa tertawa kecil dan berkata, "Baiklah, baiklah, kalau kalian insist. Saya akan coba satu steak wagyu, tapi yang medium. Saya serahkan semuanya pada keputusan kalian."

Lyra dan Milim langsung memberi isyarat kepada pelayan untuk segera mengambil pesanan mereka dan pergi. Keduanya tersenyum puas, sementara Wiliam hanya bisa menghela napas panjang, menyandarkan punggung ke kursi, merasa seperti satu-satunya orang yang masih punya akal sehat di meja itu.

---

Kehebohan Terjadi Saat Makanan Tiba:

Setelah beberapa saat, makanan mereka akhirnya tiba. Kaviar yang mewah, steak wagyu dengan taburan garam laut Himalaya, dan anggur Bordeaux yang mahal segera disajikan di meja mereka. Sementara Wiliam, yang hanya memesan steak biasa, merasa sedikit canggung. Makanan yang disajikan begitu mewah di depan mereka, dan dia tak bisa tidak merasa sedikit aneh.

Milim yang mulai menyendok kaviar ke dalam mulutnya dengan ekspresi terlalu bahagia langsung berteriak, "Aaaah, ini enak sekali! Aku bisa makan ini setiap hari seumur hidup, kalian nggak tahu kenikmatannya!"

Lyra juga tak kalah antusias, mencicipi anggur Bordeaux dengan sedikit berlebihan, lalu berkata, "Wow, ini enak banget, Wiliam! Kenapa kamu nggak mau mencoba? Ini beneran menggugah!"

Wiliam, yang hanya bisa melihat dan memakan steak biasa dengan sopan, mulai merasa lebih canggung. Tapi yang lebih parah, pelayan yang datang untuk menghidangkan anggur Bordeaux tanpa sengaja menumpahkan sedikit ke gaun Lyra. Lyra langsung melompat berdiri, mencelupkan ujung gaunnya ke dalam meja. "Oh, tidak! Gaun baru ini!"

Milim tertawa terbahak-bahak dan menepuk-nepuk bahu Lyra, "Tenang, tenang! Cuma noda sedikit kok, masih oke kok. Nggak apa-apa, malah itu nambahin kesan mewah!"

Wiliam menatap mereka, benar-benar ingin menghilang dari dunia ini. "Kenapa aku tidak bisa mendapatkan makan malam yang tenang?" pikirnya.

---

Akhirnya, Usaha Wiliam untuk Menenangkan Situasi:

Di tengah kebisingan ini, Wiliam merasa perlu untuk berbicara, mencoba meredakan keadaan. "Dengar, semua, kenapa kita nggak fokus makan dan berbincang tentang hal-hal yang lebih... tenang?"

Namun, Milim yang sedang asyik dengan kaviar dan Lyra yang sibuk memperbaiki gaunnya yang ternoda hanya memberikan senyum nakal dan kembali mengalihkan perhatian Wiliam.

"Ayo dong, Wiliam! Pikirkan ini sebagai bagian dari hidup! Kalau nggak pamer, hidup ini kayak nggak ada rasa!" Milim tertawa dan menggoda.

Wiliam yang sudah hampir kehabisan kesabaran hanya bisa menggelengkan kepala. "Aku mungkin bukan orang yang tepat untuk ini," ujarnya pelan.

Akhirnya, makan malam itu berakhir dengan semua tertawa dan menikmati kehebohan yang tercipta, tapi Wiliam tetap merasa sakit kepala dan ingin segera pulang ke rumah.

Milim dan Lyra? Mereka merasa bahwa malam ini adalah salah satu malam paling seru dalam hidup mereka.

---

More Chapters