LightReader

Chapter 18 - Bab 18 malam pengakuan

Setelah memastikan tidak ada lagi yang bisa diperiksa di dasar laut, mereka berenang kembali ke permukaan. Cahaya matahari yang mulai condong memberi pantulan keemasan di permukaan air. Ombak perlahan menepi, seolah menutup kembali rahasia yang tersembunyi di kedalaman.

Mereka berjalan keluar dari pantai dengan pakaian basah dan langkah lelah, tapi tidak ada tekanan atau kegelisahan hanya keheningan yang damai setelah usaha panjang.

"Untuk hari ini cukup," ucap Raida singkat.

Tanpa banyak percakapan, mereka sepakat kembali ke hotel. Sesampainya di hotel, mereka berpencar ke kamar masing-masing. Rey dan Zeks langsung rebah di tempat tidur. Sarah memilih mandi lebih dulu. Raida duduk sebentar di balkon kamarnya, menatap laut.

Sedangkan Amel… ia hanya berdiri lama di depan jendela kamarnya. Rambutnya masih sedikit basah, dan matanya tidak lepas dari cahaya senja yang perlahan memudar.

Sejak tadi, ada sesuatu yang mengganggu dadanya bukan ketakutan, bukan kegelisahan… tapi keberanian yang perlahan muncul.

"Malam ini… mungkin aku harus mengatakannya" batinnya.

Waktu terus berjalan. Matahari tenggelam sepenuhnya, dan lampu-lampu di kota pesisir mulai menyala. Suara ombak terdengar pelan dari kejauhan.

Amel mengganti pakaian yang tadi ia beli bersama Sarah, menarik napas, dan melirik jam di dinding.

Tanpa mengetuk atau mengajak yang lain, ia berjalan keluar kamar dan menuju pantai seorang diri. Cahaya rembulan samar menerangi pasir dan ombak di kejauhan.

Di dalam hatinya Amel tahu, jika ada waktu untuk berbicara… maka malam ini adalah permulaannya.

Lampu-lampu hotel memantul di permukaan air, sementara suara ombak mengalun pelan tanpa gangguan angin. Amel melangkah menyusuri pasir. 

Namun sebelum ia sempat melihat sekeliling, matanya menangkap sosok yang berdiri tak jauh dari garis ombak.

"Raida" gumamnya

Ia berdiri membelakangi Amel, menatap laut tanpa suara. Cahaya bulan memantul di rambutnya, membuat siluetnya terlihat jelas namun tenang.

Amel berhenti beberapa meter di belakangnya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Dia sudah di sini...?, apa dia juga sedang memikirkan hal yang sama" pikir Amel 

Tanpa menoleh, Raida berkata pelan, suaranya terdengar jelas diterpa malam.

"Kau datang." kata raida

Amel tertegun sejenak, lalu berjalan mendekat. "Sejak kapan kau di sini?"

"Cukup lama," jawab Raida singkat. "Laut terlihat indah saat malam."

Ucapan itu membuat Amel menatap wajahnya, tapi Raida tetap menatap ke depan.

Beberapa detik hening.

Amel menarik napas pelan, berusaha menenangkan dirinya. Saat ia hendak bicara, Raida bertanya lebih dulu.

"Kenapa kau ke sini? Kau tidak biasanya keluar sendiri malam-malam." tanya Raida

Amel menatap pasir di kakinya, lalu kembali mendongak.

"Aku… ada hal yang ingin kusampaikan. Tapi... aku tidak tahu harus mulai dari mana." balas Amel

Raida akhirnya menoleh sedikit, hanya separuh wajahnya terlihat diterangi bulan.

"Kalau begitu," katanya tenang, "mulailah dari apa yang paling sulit kau katakan."

DEG.

Ucapan itu membuat Amel terdiam. Hatinya berdetak lebih kecang. Jari tangannya meremas ujung pakaiannya sendiri, wajahnya memanas walau angin malam terasa dingin.

Tapi malam ini… ia sudah memutuskan.

Amel berdiri di samping Raida, menatap laut yang sama namun dengan perasaan yang jauh berbeda. Tangannya bergetar halus, tapi ia berusaha tetap tenang.

"Aku… bukan tipe orang yang pandai berbasa-basi," ucap Amel pelan. "Tapi sejak beberapa waktu terakhir… aku merasa ada hal yang harus kukatakan langsung padamu."

Raida tidak menjawab, tapi dari caranya terdiam, ia mendengarkan.

Amel menatap pasir basah di bawah kakinya, lalu menguatkan hati.

"Aku tahu kau berbeda dari orang lain. Kau kuat, kau tenang… kadang sulit ditebak. Tapi justru itu yang… membuatku..."

Perkataannya terhenti. Butuh waktu tiga detik sebelum ia bisa melanjutkan.

"…membuatku menyukaimu."

Raida akhirnya menoleh. Tatapannya tidak kaget, tapi juga tidak dingin lebih seperti seseorang yang sudah menebak arah pembicaraan sejak awal.

Angin malam bergerak pelan, namun dada Amel terasa sesak menunggu jawaban.

Raida memandang ke laut kembali dan berkata dengan suara pelan namun jelas,

"Amel… aku mengerti perasaanmu. Tapi aku tidak bisa membalasnya."

Amel menahan napas. Meski ia sudah menyiapkan diri, hatinya tetap bergetar mendengar kata-kata itu.

"Kenapa?" tanyanya lirih.

Raida terdiam sesaat sebelum menjawab, seolah memastikan kalimatnya tidak menyakiti.

"Karena ada seseorang… yang masih belum bisa aku lepaskan."

Nama itu tidak disebut, tapi Amel tahu. Ia sudah pernah mendengar cerita samar tentang masa lalu Raida.

Raida menutup matanya sejenak. "Aku masih mengingatnya. Terlalu jelas, terlalu dalam. Selama aku belum berdamai dengan masa lalu itu… aku tidak yakin bisa menerima siapa pun di sisiku."

Amel menunduk. Ada rasa kecewa, tapi lebih banyak pemahaman di baliknya.

"Aku tidak menyalahkanmu," katanya pelan. "Aku hanya… tidak ingin menyesal karena tetap diam."

Raida menatapnya dengan sorot tenang. "Dan aku tidak ingin memberimu harapan yang akan melukaimu di lain waktu."

Keheningan kembali jatuh, tapi bukan keheningan yang menusuk melainkan tenang dan perlahan diterima.

Amel menarik napas dalam, menatap laut yang bergerak tanpa henti.

"Aku tidak akan memaksa jawaban darimu sekarang. Tapi aku juga tidak akan pura-pura tidak merasakan apa pun."

Raida mengangguk kecil. "Itu pilihanmu. Dan aku menghargainya."

Malam terus bergulir. Ombak datang dan pergi, menjadi saksi ucapan yang tidak ditarik kembali, dan luka yang tidak dibumbui kebohongan.

Meski ditolak, Amel tidak berpaling. Ia berdiri di sana, di sampingnya karena hatinya memilih begitu.

Dan Raida membiarkannya… dengan diam yang lebih jujur daripada kata-kata.

Setelah keheningan beberapa saat, Raida duduk di atas pasir. Amel ikut duduk tak jauh darinya, membiarkan suara ombak mengisi suara yang tak perlu diucapkan.

Raida membuka mulut lebih dulu."Amel."

"Ya?" jawab Amel

"Aku tidak ingin sikapku membuatmu menjauh dari tim." kata Raida

Amel menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis. "Aku bukan anak kecil. Lagipula, aku tetap punya tugas dan alasan untuk tetap di sini."

Raida mengangguk pelan. "Baik."

Sesaat kemudian, Amel menatap langit malam. "wanita itu… orang seperti apa dia?, dan siapa namanya?."

Raida terdiam lima detik sebelum menjawab.

"Namanya adalah lily dia orang yang keras kepala, tapi hangat. Dia pernah menyelamatkanku… dengan harga yang mahal."

Amel menunduk sedikit. "Kau masih menyalahkan dirimu soal itu, ya?"

"…Mungkin." balas Raida

Amel menggenggam pasir lalu melepaskannya perlahan. "Kalau suatu hari kau bisa melepaskan rasa bersalah itu… jangan lupa kalau ada orang lain yang ingin kau lihat, bukan hanya masa lalu."

Raida menatapnya sekilas. "Aku tidak menjanjikan apa-apa."

"Aku tahu," sahut Amel cepat, "aku hanya bilang… jangan menutup mata terlalu rapat."

Angin malam berembus, membawa aroma asin laut.

Raida berdiri perlahan. "Kita kembali. Besok kita masih banyak yang harus dilakukan."

Amel ikut berdiri, menepuk celananya dari pasir

Mereka berjalan berdampingan kembali ke arah hotel tanpa banyak bicara.

Langkah mereka menyusuri pasir pantai hanya diiringi suara deburan ombak dan cahaya bulan yang menyorot samar di permukaan laut. Raida berjalan sedikit di depan, tangannya dimasukkan ke saku, sementara Amel mengikuti di belakangnya beberapa langkah.

Namun sebelum mereka sampai di jalan menuju hotel, Amel berhenti.

"Raida," panggilnya pelan.

Raida menoleh. "Hm?"

Amel menatapnya dengan sorot mata yang berbeda tenang, tapi penuh tekad.

"Aku tahu kau belum bisa melupakan Lily. Aku juga tahu kau masih terikat dengan masa lalu itu. Tapi aku tidak akan menyerah."

Raida mengerutkan alis. "Amel…"

Amel melangkah satu langkah lebih dekat.

"Selama aku masih di sisimu, selama aku masih bisa bertarung di medan yang sama… aku akan terus berusaha. Bukan untuk menggantikan siapa pun — tapi agar suatu hari, kau bisa melihatku bukan hanya sebagai rekan tim."

Raida terdiam, matanya sedikit menurun bukan karena marah, tapi karena terkejut oleh keteguhan nada suaranya.

Amel melanjutkan dengan nada yang lembut namun tegas,

"Kau boleh menolakku hari ini, tapi aku tidak akan berhenti hanya karena satu jawaban. Aku percaya... bahkan hati yang paling dingin pun bisa menghangat lagi kalau diberi waktu."

Raida menatapnya beberapa detik. Udara malam terasa hening di antara mereka.

Akhirnya ia menghela napas pelan. "Kau keras kepala."

Amel tersenyum kecil. "Kau juga."

Raida menunduk sedikit, lalu berkata dengan nada rendah tapi tulus,

"Baiklah. Kalau itu keputusanmu… aku tidak akan melarang."

Amel mengangguk, senyumnya masih terjaga. "Itu saja sudah cukup."

Mereka kembali berjalan bersama menuju hotel, langkah-langkah mereka tenang di atas pasir.

Malam menutup pertemuan itu dengan kesunyian yang lembut bukan lagi jarak yang canggung, melainkan awal dari sesuatu yang perlahan tumbuh.

Sesampainya di hotel, suasana sudah jauh lebih tenang. Cahaya lembut dari lobi memantul di dinding kaca, sementara suara deburan ombak terdengar samar dari kejauhan. Rey, Zeks, dan Sarah sudah duduk di ruang istirahat dengan pakaian santai, masing-masing memegang minuman.

Rey yang pertama kali melihat mereka masuk.

"Nah, akhirnya kalian muncul juga. Kupikir kalian menyelam lagi," ujarnya dengan nada menggoda.

Zeks tertawa kecil. "Atau mungkin sedang berdua menikmati pemandangan malam?"

Sarah menatap mereka berdua dengan senyum penuh arti. "Hm… dari ekspresinya, sepertinya memang begitu."

Amel memutar bola matanya pelan, lalu duduk di sofa tanpa menanggapi. "Kalian ini… selalu saja cari bahan godaan."

Raida hanya menghela napas, mengambil gelas air mineral di meja, lalu duduk di ujung. "Setidaknya ada yang masih sempat bersantai."

Rey menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Hei, setelah hari seperti tadi? Kita butuh."

Sarah menambahkan sambil tersenyum, "Lagipula, Raida, kau yang paling banyak bekerja hari ini. Sudah seharusnya istirahat juga."

Raida menatap gelasnya sejenak, lalu berkata pelan, "Istirahat, ya… sepertinya itu ide yang bagus."

Amel ikut tersenyum kecil. "Akhirnya kau setuju juga."

Zeks tiba-tiba menunjuk Raida dengan ekspresi serius pura-pura. "Tapi jujur saja, Raida. Monster bawah laut, sejarah tersembunyi, dan hal-hal aneh seperti itu... semua muncul setelah kau pergi menyelam. Kau yakin bukan pembawa sial?"

Rey langsung tertawa keras. "Hahaha! Ya, mungkin lautnya marah karena kau ambil sesuatu!"

Raida memutar matanya, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat. "Kalau memang laut marah, mungkin karena kalian berisik."

"Wah, kau seperti biasa, selalu merusak suasana." kata Sarah sambil tersenyum lebar.

Suasana menjadi ringan dan akrab. Candaan kecil mereka menghapus ketegangan hari itu.

Namun, di tengah tawa yang hangat, Amel melirik Raida sekilas kali ini tanpa canggung, tanpa beban.

Raida menyadarinya. Tatapan mereka bertemu sejenak, lalu Amel tersenyum ringan sebelum memalingkan wajah. Raida hanya meneguk airnya pelan.

Setelah tawa mereka mulai reda, Raida bangkit dari sofa dan menatap ke arah jendela besar yang menghadap laut. Langit sudah benar-benar gelap, hanya ada pantulan bintang di permukaan air.

"Baiklah," katanya pelan tapi tegas, "besok pagi kita pulang ke. Liburan sudah selesai, dan kita tidak menemukan apa-apa di dasar laut, tidak ada alasan untuk tetap di sini lebih lama."

Rey mengangguk santai. "Akhirnya, kasur rumah sendiri menungguku."

Zeks menguap lebar. "Dan makanan yang tidak asin kayak udara pantai."

Sarah tertawa kecil. "Kalian ini, baru beberapa hari di pantai sudah rindu rumah."

Raida menatap jam di dinding. "Istirahatlah. Kita berangkat setelah matahari terbit."

Mereka semua mengangguk dan mulai bubar ke kamar masing-masing.

Amel dan Sarah berjalan beriringan menyusuri lorong hotel menuju kamar mereka. Hanya suara langkah kaki dan deburan ombak dari luar jendela yang menemani.

Begitu pintu kamar tertutup, Amel langsung menjatuhkan diri di tempat tidur.

"Ahh… akhirnya bisa rebahan," keluhnya sambil menatap langit-langit.

Sarah duduk di tepi ranjang sebelahnya, tersenyum kecil. "Kau kelihatan capek, tapi entah kenapa wajahmu malah tenang malam ini."

Amel menoleh pelan. "Hm? Masa sih?"

Sarah mengangguk. "Jadi, bagaimana tadi? Kau sudah melakukannya, kan? Mengatakan perasaanmu pada Raida?"

Amel terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis sambil menatap langit-langit.

"Iya… aku sudah bilang semuanya."

Sarah menaikkan alis. "Dan…?"

"Dan dia menolakku," jawab Amel datar, tapi tanpa nada sedih.

Sarah sempat terkejut. "Oh… maaf, aku"

Amel cepat menyela, suaranya tenang. "Tidak apa-apa. Aku sudah menduganya. Tapi… rasanya lega. Aku tidak harus menahan semuanya sendirian lagi."

Sarah tersenyum lembut. "Kau kuat juga, ya."

"Bukan kuat," Amel menatap Sarah dan tertawa kecil. "Lebih ke… keras kepala, mungkin."

Sarah ikut tertawa. "Lalu, apa kau menyerah?"

Amel menggeleng. "Tidak. Aku bilang padanya, aku tidak akan berhenti sampai dia menerimaku. Aku tidak akan memaksa, tapi aku juga tidak akan hilang."

Sarah memandangnya beberapa detik, lalu tersenyum hangat.

"Itu bagus. Kadang hati seseorang tidak butuh jawaban cepat. Butuh waktu untuk sembuh dulu."

Amel menutup matanya, suaranya semakin pelan.

"Aku tahu. Dan aku akan menunggu... sampai dia siap."

Beberapa detik hening, hanya suara angin malam yang masuk lewat jendela.

Sarah berbaring di ranjangnya sendiri. "Kalau begitu, saran dariku cuma satu."

Amel membuka sebelah matanya. "Apa itu?"

Sarah tersenyum kecil sambil menatap langit-langit.

"Jangan cuma menunggu. Tunjukkan alasan kenapa dia pantas melepas masa lalunya untukmu."

Amel menatap ke arah Sarah — lalu tersenyum lemah, namun tulus.

"Baiklah, aku akan ingat itu."

Lampu kamar dimatikan. Ombak di luar terdengar pelan, seperti nyanyian penutup hari yang panjang.

Dan di tengah gelap, Amel menatap ke arah jendela, berbisik pelan pada dirinya sendiri,

"Raida… suatu hari nanti, aku ingin kau melihatku, sebagai orang yang spesial"

Lalu matanya perlahan tertutup, tenggelam dalam ketenangan malam.

More Chapters