LightReader

Chapter 2 - BAB 2 – YANG TAK TERLIHAT

Angga menghabiskan malam itu tanpa tidur.

Bukan karena takut.

Tapi karena terlalu banyak pertanyaan yang tak bisa ia jawab.

Ia tiba di rumah sekitar pukul satu dini hari. Ibunya sudah tidur. Rumah dalam keadaan gelap dan tenang. Ia langsung masuk ke kamar lamanya yang masih seperti dulu: penuh poster band, tumpukan buku kuliah yang belum dibawa ke kos, dan foto-foto lama bersama almarhum adiknya, Tiara.

Setelah melemparkan tas ke lantai, ia duduk di pinggir ranjang, menatap kosong ke arah jendela.

Suaranya terngiang di telinganya.

"Aku gak tahu bagaimana aku mati... tapi tubuhku masih di sini. Di sekitar tempat itu. Terlupakan."

Wajah gadis itu kembali terbayang di kepalanya. Rambut panjangnya, sorot matanya yang sunyi, dan cara ia menghilang seperti asap saat berkata akan menunggu malam berikutnya.

Angga memeluk dirinya sendiri. Ia tidak tahu kenapa, tapi rasa dingin itu belum pergi.

Seperti ada bagian dari arwah gadis itu yang ikut pulang bersamanya.

Ia menatap jam di dinding. Hampir pukul tiga.

Lalu ia berdiri, membuka laci lemari lamanya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil. Di dalamnya, tersimpan sesuatu yang lama tak ia sentuh foto Tiara, adik perempuannya yang meninggal tiga tahun lalu.

Gadis manis dengan pipi bulat dan senyum jahil yang selalu mengganggunya saat ia sedang belajar. Tiara meninggal dalam kecelakaan tunggal saat perjalanan pulang dari sekolah. Sampai sekarang, Angga masih tidak tahu kenapa ia bisa meninggal di tempat yang sama… di sekitar KM 67.

Dan malam ini, ia kembali ke titik itu. Bertemu gadis lain. Yang juga… belum kembali.

Apakah semua ini kebetulan?

Atau semesta sedang berbicara?

Pagi harinya, Angga bangun dengan kepala berat. Ia tidak benar-benar tidur semalaman, hanya merebahkan badan sambil terus memikirkan Windi.

Di dapur, ibunya sudah menyiapkan teh manis hangat dan sepiring roti bakar. Angga duduk sambil memandangi ibunya yang tengah sibuk menyiapkan bekal kecil untuk ke pasar.

“Semalam pulangnya malem banget,” ujar ibunya sambil duduk di seberangnya. “Kenapa nggak nginep aja di kos?”

Angga tersenyum tipis. “Kangen rumah aja, Bu.”

Ibunya menatap wajahnya. “Kamu kayak capek banget. Matamu merah.”

“Emang lagi kurang tidur, Bu.”

Sang ibu mengangguk pelan. Tapi sebelum pergi ke pasar, ia sempat berbalik dan berkata, “Kalau kamu ada masalah, cerita ya, Nak. Jangan dipendam sendiri.”

Angga mengangguk, meski hatinya berkata sebaliknya. Ia sendiri tak tahu apakah yang ia alami semalam itu masalah... atau panggilan.

---

Siang harinya, Angga kembali ke kos. Kamar kosnya sepi seperti biasa. Ia menyalakan kipas angin, melemparkan ransel ke kasur, lalu duduk di lantai sambil membuka laptop.

Jari-jarinya mengetik:

"Korban kecelakaan KM 67."

Puluhan hasil pencarian muncul. Sebagian besar berisi berita lama tentang truk terguling, kecelakaan tunggal, atau tabrakan beruntun. Tapi tidak ada satu pun yang menyebutkan nama Windi.

Ia mengganti kata kunci:

"Perempuan hilang di KM 67"

"Mayat belum ditemukan tol Jagorawi"

Tidak ada.

Seolah tidak pernah ada gadis bernama Windi yang menghilang atau mati di sana.

Angga bersandar di kursi. Mengusap wajahnya yang lelah. “Gue harus mulai dari mana...”

Ia membuka pesan WhatsApp.

Dina:

“Lo udah nyampe Bogor?”

“BTW lo liat berita pagi ini belum?”

“Katanya ada orang liat ‘sosok cewek’ malem-malem di KM 67.”

Angga langsung duduk tegak. Matanya menatap layar ponsel tanpa berkedip. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat.

Angga:

“Lo serius?”

“Sumbernya dari mana?”

Dina:

“Grup urban legend kampus. Katanya si driver taksi online ngalamin hal aneh.”

“Lo lagi di mana, Ga?”

“Kenapa lo keliatan panik?”

Angga tak langsung menjawab. Ia menatap ke luar jendela. Dunia terasa sunyi... tapi ada sesuatu yang mulai bergerak.

Beberapa menit kemudian, notifikasi WhatsApp kembali masuk.

Dina:

“Ga, lo jangan bercanda ya... semalam lo gak lewat KM 67, kan?”

“Gue liat berita yang dishare Bima barusan. Ada supir taksi online yang katanya ‘nabrak hantu cewek’ jam 11 malam.”

“Kata dia cewek itu berdiri di tengah jalan. Rambut panjang, pake jaket jeans.”

Angga menelan ludah.

Jantungnya kini berdegup keras. Ia merasa dinding kamarnya menyempit, udara jadi berat. Deskripsi itu persis seperti Windi.

Angga:

“Gue... semalam lewat KM 67.”

“Gue juga ngeliat cewek itu.”

“Dia... bahkan sempat muncul di jok belakang mobil gue.”

Dina:

“Anjing… lo serius?”

“Bentar, lo ngelihat cewek yang sama kayak yang ada di berita?”

“LO NGOMONG APA TADI? DIA DI DALAM MOBIL???”

Angga tak membalas. Ia terdiam, merenungi apa yang sebenarnya sedang ia hadapi. Ponsel di tangannya bergetar lagi.

Dina:

“Gue ke kos lo sekarang.”

“Gak usah nolak. Kita harus ngobrol.”

Angga mendesah pelan.

Bima tiba-tiba menelepon. Tanpa pikir panjang, ia angkat.

“Ga,” suara Bima langsung menyerbu. “Lo liat berita yang gue share tadi?”

“Iya.”

“Lo... jangan bilang lo ngalamin itu juga.”

Angga terdiam. Lalu berkata pelan, “Gue ketemu dia, Bim. Namanya Windi.”

Hening sejenak.

Di ujung telepon, Bima tidak langsung menanggapi. Tapi suaranya berubah serius.

“Gue pernah denger nama itu.”

Angga langsung menajamkan telinga. “Apa maksud lo?”

“Dulu waktu awal kuliah... ada cewek namanya Windi, satu angkatan sama kita. Prodi lain. Dia sempat aktif pas ospek, trus hilang. Orang bilang dia DO, tapi gak ada info resminya. Bahkan temen sekelasnya gak tahu kenapa dia ngilang.”

Angga mengernyit. Informasi itu baru baginya.

“Apa lo yakin itu orang yang sama?”

“Gue gak tahu,” ujar Bima pelan. “Tapi kalo emang dia... artinya ini bukan sekadar hantu lewat. Mungkin dia memang... pengen ditemukan.”

Angga berdiri dari kursi. Perasaannya makin kacau.

Ia baru mau bicara saat suara ketukan pelan terdengar di jendela kamarnya.

Tiga kali.

Pelan.

Seolah... mengundang.

Angga terdiam.

Matanya menatap jendela kamar yang tirainya sedikit bergoyang. Ketukan barusan itu bukan ilusi. Bukan suara pipa. Bukan tiupan angin. Itu... sengaja.

Perlahan ia mendekat. Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara. Ia menarik tirai dengan tangan gemetar.

Tapi tidak ada siapa-siapa.

Hanya langit mendung yang menggantung di atas gang kecil di luar kosan. Tidak ada bayangan, tidak ada orang.

Namun begitu ia menutup tirai kembali, pandangannya menangkap sesuatu di atas meja belajarnya.

Cincin.

Bukan miliknya. Bukan milik siapa pun yang pernah ia kenal.

Cincin perak sederhana, dengan ukiran kecil yang sudah samar. Terlihat tua, usang, tapi masih utuh. Letaknya tepat di atas buku catatannya seolah diletakkan dengan sengaja.

Angga memandanginya beberapa detik, lalu perlahan mengambil cincin itu.

Begitu kulitnya menyentuh logam dingin itu...

“Kamu bisa dengar aku?”

Suaranya muncul, langsung, tepat di telinganya.

Angga sontak berdiri dan menjatuhkan kursinya. Napasnya tersengal. Ia menoleh ke kiri dan kanan, tapi tak ada siapa pun.

“W-Windi?”

Keheningan menjawab.

Tapi hawa dingin kembali hadir. Lebih tajam dari sebelumnya. Ia menatap permulaan dan samar, di kaca jendela yang mengembun, muncul bayangan wajah gadis yang ia temui malam itu.

Windi.

Matanya masih merah, tapi kini ada ekspresi… harap.

Angga tahu: itu bukan kebetulan. Cincin ini... miliknya. Sebagian dari masa lalunya. Sebagian dari kenangan yang belum selesai.

Dan mungkin, ini adalah jembatan.

Antara dirinya dan dia yang telah mati.

---

Beberapa menit kemudian, pintu kamar diketuk. Suara Dina terdengar dari luar.

“Ga, ini gue. Buka.”

Angga membuka pintu.

Dina berdiri dengan ekspresi cemas. Begitu masuk, ia langsung duduk tanpa basa-basi.

“Gue gak tahu apa yang lagi lo alami,” katanya, “tapi kalau ini beneran... kita harus cari tahu. Siapa Windi. Kenapa dia muncul. Dan kenapa... lo yang bisa lihat dia.”

Angga memandangi cincin di tangannya.

Dan dalam hati, ia tahu:

Ini baru permulaan.

More Chapters