LightReader

Chapter 5 - BAB 5 – SUARA DARI DALAM TANAH

Malam itu, langit nyaris tanpa bintang. Awan menggumpal seperti raksasa kelabu yang tidur berat di atas kota.

Jam digital di ponsel Angga menunjukkan pukul 22:47 saat ia keluar dari kamar kos, membawa senter kecil dan cincin Windi yang kini tergantung di lehernya.

Ia tak memberi tahu siapa pun.

Bukan karena ingin sok berani tapi karena ia tahu, jika ia minta izin, Dina akan menolak keras. Dan Bima akan memaksanya untuk ditemani.

Tapi kali ini... ia harus sendiri.

Ada bisikan yang terus memanggilnya sejak sore. Bukan suara langsung, melainkan semacam tarikan batin. Semakin lama diabaikan, semakin kuat dorongannya. Seolah... Windi sendiri sedang menunggu.

Mobil melaju pelan menyusuri tol yang sepi. Lampu-lampu jalan berkedip samar, sesekali mati lalu menyala lagi seperti kehabisan daya. Angga tak menyetel musik. Hanya suara mesin dan detak jantungnya yang menemaninya malam ini.

Saat papan bertuliskan KM 67 muncul di kejauhan, ia menarik nafas panjang.

Senter di dashboard ia nyalakan.

Cincin di lehernya ia genggam erat.

Mobil berhenti di titik yang sama seperti kemarin. Ia keluar perlahan, merasakan udara yang jauh lebih dingin dari biasanya. Angin malam membawa aroma tanah basah dan... sesuatu yang sulit dijelaskan. Seperti aroma besi berkarat dan bunga yang membusuk.

Langkah demi langkah ia ambil, menyusuri semak yang semalam mereka periksa.

Tapi malam ini, semuanya terasa lebih sunyi.

Terlalu sunyi.

Lalu suara itu terdengar suara isak. Pelan. Tertahan.

Dan Windi berdiri di antara kabut.

Angga berhenti beberapa meter di depannya.

Windi berdiri memunggungi cahaya bulan, rambutnya tergerai, sebagian menutupi wajah. Jaket jeans pudar yang sama masih melekat di tubuhnya, meski kini terlihat lebih lusuh dari sebelumnya. Tubuhnya sedikit gemetar, bukan karena angin... tapi karena emosi yang tertahan.

“Lo dateng...” bisik Windi tanpa menoleh.

Angga mendekat satu langkah. “Lo manggil gue, kan?”

Windi mengangguk pelan. “Aku... gak tahu harus mulai dari mana. Tapi sejak kamu temuin cincin itu, aku bisa... mengingat lebih banyak.”

Ia memutar badan, menatap Angga dengan mata yang tak lagi semerah dulu. Masih penuh duka, tapi ada kehangatan samar di baliknya. Cahaya spion dari mobil memantul di mata itu, menciptakan kilau seperti tetesan embun.

“Aku gak mati karena kecelakaan,” ucapnya pelan. “Ada seseorang... yang bawa aku ke sini. Malam-malam. Aku kira dia temanku.”

“Siapa?” tanya Angga, jantungnya berdebar lebih cepat.

Windi menggeleng pelan. “Aku gak lihat wajahnya. Tapi aku ingat... dia memaksaku masuk mobil. Dan setelah itu... gelap. Saat aku sadar... aku di tempat ini. Sendiri. Dingin.”

Ia menggenggam lengan jaketnya. “Dan aku tahu... aku gak pernah pulang.”

Angga tak bisa bicara. Tenggorokannya tercekat. Ia ingin menghibur, ingin berkata sesuatu, tapi tak ada kalimat yang cukup kuat untuk membalas kesepian seperti itu.

Windi menghela napas, lalu menunjuk ke sebuah titik di dekat tepi jalan.

“Cincin itu... bereaksi kalau didekatkan ke tanah sana. Aku gak bisa ke sana. Tapi kamu bisa.”

Angga mengangguk. Ia membuka kalungnya dan menggenggam cincin Windi erat, lalu berjalan perlahan ke arah yang ditunjukkan.

Tanah di sana sedikit miring, penuh semak liar dan batu-batu kecil.

Saat cincin didekatkan... terdengar suara lirih.

Bukan dari angin.

Bukan dari Windi.

Tapi dari bawah tanah.

Suara seperti... rintihan.

Suara itu datang dari bawah.

Pelan. Retak. Seperti seseorang yang mencoba berbicara dari balik lumpur.

Angga mematung. Cincin di tangannya semakin dingin, hampir membeku. Tapi suara itu... seolah memanggil, bukan menakutkan, tapi merintih kesakitan.

“Angga...” suara Windi terdengar lirih dari belakang. “Itu... aku.”

Angga menatap tanah di hadapannya. Rasanya mustahil, tapi ia tahu: di bawa menutup jasad Windi terkubur.

Bersama segala kenangan, penderitaan, dan jejak kekerasan yang tak sempat ia teriakkan saat masih hidup.

Angga berlutut, mulai menyibak daun dan tanah dengan tangan kosong. Hatinya menolak, tapi tubuhnya bergerak sendiri.

Genggaman tanah pertama... berlumpur.

Genggaman kedua... terasa lebih berat.

Dan pada genggaman ketiga...

Jarinya menyentuh sesuatu yang lembut dan lembab. Bukan batu. Bukan tanah.

Saat digali perlahan... ia menarik sehelai kain rok lusuh. Basah. Berbau tanah busuk. Tapi jelas kain manusia.

Angga mundur setengah langkah. Napasnya tercekat.

Windi berdiri diam. Wajahnya tampak shock, seolah melihat bagian dari dirinya sendiri yang tak pernah sempat dikuburkan dengan layak.

Namun sebelum Angga bisa bergerak lebih jauh...

Angin berembus kencang dari arah hutan.

Dan dari balik kabut tipis, muncul sosok tinggi besar dengan tubuh gelap, wajah kabur, dan mata merah redup.

Makhluk itu seperti bayangan hidup. Hitam legam, tak punya kontur, tapi memiliki bentuk. Badannya membungkuk, dan tangan panjangnya menyeret menyentuh tanah.

Windi mundur cepat. “Bukan sekarang... dia muncul terlalu cepat...”

Angga berdiri. Cincin di tangannya bergetar hebat.

Makhluk itu menggeram dan mulai melangkah maju, tangannya menghantam tanah keras.

“Lari, Angga!” Windi berteriak.

Tapi tubuh Angga terasa terkunci. Jantungnya berdetak di telinga. Makhluk itu terlalu dekat dan baunya seperti besi panas bercampur darah.

Makhluk itu menatap langsung ke matanya. Tanpa suara, ia melompat maju, menyeret Angga dan mencengkeram lehernya.

Cengkeraman makhluk itu dingin dan kasar seperti logam berkarat. Angga berusaha menarik napas, tapi tak ada udara masuk. Dunia di sekelilingnya mulai berputar, suara menghilan semua berubah menjadi senyap.

“LEPASKAN DIA!!”

Suara Windi memekik, menggema seperti dua suara dalam satu suara gadis dan suara dari kedalaman lain yang menggetarkan tanah.

Saat Angga hampir pingsan, matanya masih sempat menangkap sosok Windi... berubah.

Dari arwah gadis biasa menjadi entitas cahaya pucat yang meledak seperti kabut terang. Rambutnya terbang ke atas, mata memutih, dan tubuhnya memancar aura dingin yang menekan udara di sekitarnya.

Makhluk hitam itu meringis, jeritannya melengking suara tidak manusiawi yang bisa merobek gendang telinga.

Windi menyerang.

Tubuhnya menghantam makhluk itu, mendorongnya mundur beberapa meter. Tanah bergetar. Pohon-pohon kecil di pinggir jalan ikut melengkung karena tekanan energi itu.

Angga terjatuh ke tanah. Batuk keras. Oksigen kembali masuk ke paru-parunya.

“Windi...”

Namun tubuh Windi mulai... bergetar tak stabil. Seolah kekuatannya tak bisa bertahan lama.

“Angga, pergi!” teriaknya. “Dia terlalu kuat! Aku gak bisa lawan dia lama-lama!”

Makhluk itu kembali bangkit. Kali ini tubuhnya membesar, lebih kabur bentuknya. Suara rantainya seperti gemuruh badai. Ia bersiap melompat lagi.

Angga berlari.

Tapi jalan yang ia ambil bukan kembali ke mobil. Ia terseret masuk ke hutan tipis di sisi jalan, tanahnya licin dan curam. Kakinya terpeleset ia terjungkal menuruni kemiringan.

Bruak!

Tubuhnya membentur tanah keras di bawah jurang kecil. Pandangannya berkunang-kunang. Hujan mulai turun gerimis. Cahaya bulan tersembunyi lagi.

Ia tak tahu di mana Windi.

Ia tak tahu di mana makhluk itu.

Ia hanya tahu... tubuhnya sakit. Dan ia sendiri.

Dalam kondisi setengah sadar, ia menggenggam cincin Windi di lehernya dan berkata dalam hati:

“Kalau ini yang harus gue hadapi... gak apa-apa. Gue udah janji bantu lo. Sampai akhir.”

Lalu matanya menutup.

More Chapters