LightReader

Chapter 9 - BAB 9 – KUNCI YANG TAK BOLEH DITEMUKAN

Malam menggantung gelap di langit Jakarta saat Angga duduk bersila di lantai kamar kosnya. Di tangannya, cincin Windi yang sudah menemaninya sejak awal pencarian kini terasa lebih berat. Warnanya telah berubah bukan lagi perak berkilau, melainkan kelabu kehijauan, seperti perunggu tua yang mulai berkarat dari dalam.

Ia mengelus bagian dalam cincin dengan ibu jari. Suatu kebiasaan yang ia lakukan hampir setiap malam, hanya untuk merasa tenang. Tapi kali ini, sesuatu terasa berbeda.

Clek.

Suara lembut terdengar ketika bagian dasar cincin sedikit terbuka. Angga menegang.

“Din,” panggilnya.

Dina yang sedang duduk di pojok kamar, membaca ulang file dari laptop, menoleh cepat. “Apa?”

“Gue gak sengaja... buka bagian cincin ini.”

Angga memiringkan cincin, dan mereka melihatnya bersama: sebuah kompartemen rahasia, kecil sekali, cukup untuk menyimpan sesuatu yang dilipat sangat rapat. Dengan hati-hati, Angga menarik keluar potongan kertas kuning tua, dilapisi lilin kering yang rapuh.

Ia membukanya perlahan. Di dalamnya, tulisan tangan halus terlihat, meski sebagian mulai pudar.

“Kalau kamu menemukan ini…

Jangan pernah cari liontin itu.”

Dina mendekat cepat. “Liontin?”

Angga langsung menoleh ke arah tas kecilnya. Ia membuka resleting dan mengeluarkan liontin hitam legam yang mereka temukan di KM 67 dua malam lalu. Benda itu berat, seperti besi padat, dengan ukiran melingkar dan bekas terbakar di bagian depannya.

“Ini kayaknya yang dimaksud...”

Mereka saling pandang. Liontin itu seolah ikut mendengar pembicaraan mereka membisu, tapi penuh tekanan tak kasatmata.

“Berarti dia... gak pengen kita temuin ini,” kata Dina lirih.

“Atau...” bisik Angga, “...gak pengen kita bukanya.”

---

Angga meletakkan liontin itu di atas meja, menatapnya seperti menatap lubang hitam. Logamnya tampak dingin dan tua, tapi ada sesuatu di balik fisiknya yang terasa... hidup.

Dina menarik napas panjang. “Lo yakin kita harus buka itu? Gue rasa gue rasa ini bukan benda biasa. Ini... kaya media energi.”

“Justru karena itu,” jawab Angga pelan. “Kalau Windi ngubur benda ini dan ninggalin pesan buat gak nyari, itu berarti ada sesuatu di dalamnya. Dan gue gak mau ada bagian dari dia yang masih dikurung.”

Dina menelan ludah. “Lo sadar ini bisa jadi berbahaya, kan?”

“Gue udah masuk ke dalam lorong arwah. Gue udah diserang makhluk hitam. Gue udah punya tanda di leher. Kayaknya kita udah lewat garis aman dari lama.”

Dina diam. Ia tahu Angga benar.

Dengan hati-hati, Angga menekan sisi liontin. Bunyi klik terdengar pelan, lalu penutup liontin terbuka menyembunyikan foto kecil yang tertekuk di dalam.

Windi, tampak lebih muda, tersenyum kecil. Di sampingnya berdiri seorang wanita berambut panjang, tapi wajahnya...

hangus terbakar.

“Ini... kayak dibakar separuh,” kata Dina lirih.

“Kayaknya disengaja. Buat nyembunyiin identitas perempuan ini.”

Angga membalik foto kecil itu.

Di baliknya, terukir angka: 011213.

“Mungkin tanggal?” gumam Dina.

“Atau... nomor urut. Kode,” tambah Angga. “Tapi dari siapa?”

Dina menatap foto itu lebih lama. “Lo sadar gak... ada kemiripan antara perempuan ini dan lo?”

Angga menoleh.

“Dagu, mata, bentuk alis... dia mirip. Gue gak bilang ini keluarga lo, tapi... somehow, ada benang yang nyambung.”

Angga termenung.

Lalu berkata pelan, “Gue harus balik ke KM 67.”

“Sekarang?”

“Gue harus pastiin ada sesuatu di sana. Kalau Windi yang nyembunyiin liontin ini, mungkin ada bagian lain dari dirinya... yang masih dikubur.”

“Angga... lo bisa mati.”

“Gue juga bisa mati kalau diem dan gak ngelakuin apa-apa.”

KM 67 malam itu jauh lebih sunyi dari biasanya.

Tak ada suara kendaraan. Tak ada cahaya dari lampu jalan. Hanya desau angin dan suara langkah kaki Angga di antara tanah basah. Jam menunjukkan pukul 01:24 dini hari saat ia tiba di titik yang sama tempat pertama kali ia bertemu Windi.

Ia membawa cangkul kecil, liontin pertama yang sudah terbuka, dan cincin yang ditemukan terpisah sebelumnya yang belum sempat ia teliti.

Tanah di sekitar semak itu masih longgar. Angga menggenggam liontin di tangan kanannya, lalu meletakkannya perlahan di tanah. Beberapa detik... tak ada apa-apa.

Lalu cincin Windi di lehernya mulai bergetar.

Tanah di bawah liontin ikut bergetar halus.

“Ini tempatnya...”

Ia mulai menggali. Gerakan demi gerakan cepat tapi hati-hati. Aroma lembab dan busuk segera memenuhi udara saat tanah basah terbuka lebih dalam. Setelah beberapa menit, ujung cangkulnya menyentuh sesuatu keras dan dingin.

Ia bersihkan perlahan.

Liontin kedua. Identik bentuknya, tapi kali ini lebih berat dan disegel lebih kuat.

Angga membuka kuncinya dengan pisau kecil dari gantungan kunci. Setelah terbuka, ia membeku.

Rambut. Potongan kuku. Kain hitam berbau darah kering.

“Ini bukan liontin biasa... ini ikatan jiwa,” gumamnya.

Barang-barang ini bukan hanya kenangan. Ini benda yang digunakan dalam ritual segel roh.

Langkah kaki berderak dari belakang.

Angga berdiri, menggenggam senter.

Windi berdiri di antara kabut, wajahnya pucat, rambut panjangnya tergerai menutup sebagian wajah.

“Kamu... nemuin itu juga,” suaranya lirih.

Angga mengangguk. “Ini bagian dari ritual penyegelan lo, kan?”

Windi menatap tanah. “Mereka pikir kalau bagian dari tubuhku dikurung bersama liontin, maka jiwaku gak akan bisa naik. Gak akan bisa bebas.”

“Siapa yang naruh ini?”

Windi menjawab pelan.

“Ibuku... dan Alvan.”

Angga menatap Windi lama, mencoba menyusun pertanyaan dalam pikirannya tapi tak ada yang cukup pantas. Malam terlalu dingin, dan kebenaran terlalu kelam.

“Alvan ikut dalam ritual itu?”

Windi mengangguk pelan. “Waktu aku kabur dari rumah, aku kira dia bisa nolong. Tapi ternyata... dia udah lebih dulu terlibat sama ibuku. Mereka... mereka percaya aku itu bahaya. Mereka bilang aku bawa jalan buat sesuatu yang harus disegel.”

“‘Jalan’?”

“Aku gak ngerti penuh. Tapi ibuku... dulu waktu dia hamil aku, dia ikut ritual pemanggilan. Katanya aku bukan lahir biasa. Aku lahir dengan... ‘garis lorong’. Aku bisa buka batas antara dunia.”

Angga terdiam. Tiba-tiba, segala peristiwa yang telah terjadi mulai terasa masuk akal makhluk bayangan yang muncul di dekatnya, luka di leher yang membentuk simbol, mimpi-mimpi yang terasa nyata...

Ia bukan cuma melihat arwah. Ia tersambung ke dunia mereka.

“Makhluk itu...” gumamnya. “Yang sering muncul... penjaga batas itu... dia muncul karena gue deket sama lo?”

“Bukan,” kata Windi pelan. “Dia muncul karena lo udah mulai... jadi bagian dari kami.”

Angga menarik napas berat. “Apa maksud lo?”

Windi menatapnya dalam. “Lo gak cuma bantu gue, Ga. Lo ikut ngebuka gerbang yang mereka segel. Sekarang... sebagian dari lo udah masuk ke dunia itu.”

Tiba-tiba cincin di leher Angga bergetar hebat, jauh lebih kuat dari sebelumnya. Liontin di tangannya menghangat. Kabut di sekitar mereka semakin tebal, dan dari jauh... terdengar suara geraman dalam. Berat. Seperti napas makhluk raksasa.

Angga dan Windi saling pandang.

Dari balik kabut, sesosok tubuh besar mulai tampak. Makhluk itu... menjulang hitam, membawa rantai, dan mata merahnya menembus kegelapan.

Tapi kali ini, makhluk itu tidak menyerang.

Ia berdiri.

Diam.

Mengawasi.

Seolah hanya menunggu keputusan.

Windi berkata pelan, “Kalau kamu bawa liontin itu... terus lo jaga... lo bukan lagi saksi. Bukan juga penolong.”

Angga menatap liontin.

“Lo jadi... pintunya.”

More Chapters