LightReader

Chapter 12 - BAB 12 – MATA YANG MENGAWASI

Sore itu, langit Jakarta berwarna kelabu. Jalanan padat, klakson bersahutan, dan orang-orang berlalu lalang dengan wajah lelah. Namun di antara keramaian itu, Dina melangkah dengan tujuan yang beAngga memburu masa lalu yang selama ini tersembunyi di balik wajah tenang seorang pria.

Ia membuntuti Alvan.

Sudah hampir satu jam ia mengikuti pria itu dari kampus. Alvan berjalan santai, mengenakan hoodie abu dan membawa ransel kecil. Langkahnya tak tergesa, tapi jelas tahu ke mana ia menuju.

Dina menjaga jarak, menyamar di keramaian trotoar. Ia sudah biasa dengan metode ini ayahnya seorang pensiunan intel, dan dia belajar dari pengamatan diam-diam sejak kecil.

Alvan menyebrang jalan, lalu berbelok ke gang kecil di daerah Condet, dekat sungai. Dina mempercepat langkah, menunduk, menahan napas ketika lelaki itu masuk ke sebuah rumah kecil berpagar seng. Rumah itu tampak tak berpenghuni catnya kusam, jendela tertutup kain hitam, dan tak ada suara dari dalam.

Dina menyandarkan tubuh ke tembok seberang, mengatur posisi ponsel untuk mulai merekam secara diam-diam. Ia menunggu. Lima menit. Sepuluh menit.

Lalu gerakan.

Tirai hitam di jendela lantai dua bergoyang. Sebuah bayangan melintas cepat. Dina mengerutkan alis. Ia tak melihat siapa-siapa di dalam, tapi merasa dia sedang… diperhatikan.

Ponselnya bergetar.

Sebuah pesan masuk dari Bima:

“Laptop kampus punya log aktivitas Alvan. Dia masih aktif akses data alumni… termasuk file jadul yg isinya udah dihapus manual.”

Dina membalas cepat:

“Dia lg di rumah kosong. Gue pantau.”

Ia kembali menatap ke rumah itu.

Tak lama, Alvan keluar. Tapi kali ini wajahnya terlihat berbeda matanya menatap lurus ke arahnya. Sekilas. Cepat. Tapi cukup untuk membuat jantung Dina terlonjak.

Apa dia sadar sedang dibuntuti?

Alvan kemudian berjalan menjauh dengan langkah tenang.

Dina menunggu sebentar, lalu memutuskan masuk. Gerbang tidak dikunci.

Rumah itu sepi. Tapi hawa di dalamnya seperti… berat.

Dan saat ia masuk ke ruang tamu yang gelap, lampu ponselnya menyala dan menemukan sesuatu di dinding.

Foto-foto.

Puluhan. Ratusan.

Dan hampir semuanya… adalah foto Windi.

---

Dina menatap dinding itu tanpa berkedip.

Foto-foto Windi tertempel acak, beberapa pudar karena usia, sebagian robek di tepinya. Ada yang hitam putih, ada juga hasil print dari tangkapan layar. Sebagian jelas diambil diam-diam dari kejauhan, dari balik pohon, dari sudut kampus yang tak mungkin diketahui targetnya.

Ada Windi sedang duduk di taman kampus.

Windi sedang membaca buku di kantin.

Windi berjalan sendirian di lorong fakultas.

Windi… menangis di kursi pojok belakang perpustakaan.

Dina menelan ludah. Tangan kirinya refleks menyentuh kantong jaket, memastikan ponselnya masih ada. Ia mengaktifkan kamera dan mulai merekam dinding itu perlahan. Tapi tak lama, layar ponsel berkedip seperti sebelumnya. Getaran aneh muncul dari permukaannya, dan ikon baterai yang tadinya 60% mendadak turun menjadi 4%.

"Apa-apaan ini..." bisiknya.

Ia menyimpan ponsel buru-buru.

Di bawah foto-foto itu, ada rak tua berisi tumpukan kertas dan map lusuh. Dina mengambil satu di dalamnya adalah salinan laporan medis.

Nama: Alvan Putra Wijaya

Status: Dirawat Psikiatri Ringan

Tahun: 2020

Catatan Dokter:

Pasien mengalami mimpi berulang, mengaku "melihat sosok perempuan yang memanggil dari sisi lain". Menolak menyebut nama sosok tersebut. Ditemukan menggambar simbol di dinding kamarnya sebanyak 42 kali. Potensi gangguan kepribadian dissosiatif ringan.

Dina membalik lembaran itu. Di belakangnya, tergambar simbol yang sama dengan yang ditemukan Angga di rumah ritual tiga lingkaran bertaut, dengan garis menyilang menyerupai mata.

Ia berbalik hendak keluar… tapi langkahnya terhenti.

Di sudut ruangan, tergantung satu foto yang tidak seperti lainnya.

Foto itu diambil dari belakang.

Menampilkan sosok Windi duduk di bawah pohon besar… dengan Alvan berdiri di belakangnya, menatap lurus ke arah kamera.

Matanya kosong. Seolah sadar bahwa momen itu akan dikenang.

Dan yang membuat bulu kuduk Dina berdiri…

Bayangan ketiga tampak samar di sisi kanan gambar. Seperti sosok yang kabur karena bergerak terlalu cepat tinggi, hitam, dan tak memiliki wajah.

Dina memundurkan langkah.

Lalu terdengar suara dari lantai dua lantai yang barusan ditinggalkan Alvan.

Langkah kaki.

Perlahan.

Berat.

Menuju tangga.

Padahal… Alvan sudah pergi.

---

Langkah kaki itu terdengar semakin jelas.

Duk… duk… duk…

Setiap pijakan menimbulkan getaran kecil di lantai kayu rumah tua itu. Dina berdiri membeku di ruang tamu, jantungnya berdegup tak terkendali. Ia memutar kepala ke arah tangga yang menghubungkan ke lantai dua, berharap hanya imajinasinya saja yang bermain.

Tapi tidak.

Bayangan gelap tampak berdiri di ujung tangga.

Bukan Alvan.

Bentuknya tinggi, kurus, dan kabur. Seolah tidak sepenuhnya ada di dunia ini, namun juga tidak sepenuhnya tak terlihat. Sosok itu tidak memiliki wajah, hanya semacam kabut hitam yang terus berdenyut di tempat kepala seharusnya berada.

Dina mundur satu langkah, tapi lantai kayu di bawahnya berderit keras.

KRIEK.

Sosok itu tiba-tiba bergerak meluncur cepat, tidak berjalan seperti manusia. Bukan berlari. Tapi seperti diseret oleh kekuatan tak kasat mata.

Dina menjerit dan berbalik.

Ia menyambar gagang pintu dan mendorongnya sekuat tenaga. Pintu terbuka, tapi seolah berat, seperti ditarik dari sisi lain. Angin dingin menerpa wajahnya saat ia berhasil keluar dan menutup pintu keras-keras di belakangnya.

“FUCK!”

Ia berlari melintasi gang sempit, tak menoleh sedikit pun. Ponsel di sakunya sudah mati total. Udara sore yang tadi lembab kini berubah menggigit, dan kulit lengannya terasa seperti disayat udara es.

Ia terus berlari hingga sampai ke jalan besar, napas memburu, wajah penuh peluh.

Motor ojek lewat di depan. Dina menghentikannya dengan acungan tangan gemetar.

“Ke kampus! Cepat!” teriaknya.

---

Kosan Dina – Malam Hari

Beberapa jam kemudian, Dina duduk di kamarnya. Tubuhnya masih gemetar meski sudah mandi air hangat. Di pergelangan tangannya, tampak satu goresan kecil seolah tergores ranting, tapi terlalu rapi. Luka itu muncul setelah kejadian tadi, dan terus terasa panas.

Ia menempelkan salep, tapi kulit di sekitar luka malah memucat.

Gemetar, ia menyentuhnya pelan. Dan saat jari telunjuknya menyentuh bekas luka itu…

Seketika, bayangan rumah tadi muncul dalam kepalanya.

Kilatan wajah Alvan.

Foto-foto Windi yang menatap tanpa suara.

Dan… suara bisikan.

> “Kau lihat, ya? Sekarang... dia akan melihatmu juga.”

Dina memutus kontak. Nafasnya memburu.

Ia mengirim pesan suara ke Angga dengan suara bergetar.

> “Gue... nemu tempat tinggal Alvan. Dia simpen semua foto Windi. Semua. Dan ada sesuatu... di rumah itu. Bukan manusia. Kayaknya, Ga, kita udah buka pintu yang gak bisa ditutup lagi.”

Layar ponsel gelap.

Dan di jendela kosnya, dari luar... tampak siluet tinggi berdiri diam dalam kegelapan.

---

Keesokan paginya, Dina duduk di taman belakang kampus, mengenakan sweater tebal meski matahari sudah meninggi. Matanya sembab, bekas kurang tidur. Tangannya terus mengusap pergelangan yang masih perih, dibalut kain kasa kecil.

Angga datang lima menit kemudian, wajahnya juga tak kalah lelah. Ia membawa dua kopi dari kantin dan duduk tanpa bicara.

Setelah beberapa teguk, Dina mulai bicara.

“Ada yang tinggal sama dia, Ga. Di rumah itu.”

Angga menatapnya. “Yang kayak makhluk hitam?”

Dina mengangguk. “Tapi lebih padat. Lebih sadar. Seolah dia yang… ngawasin semuanya.”

Angga terdiam. “Gue juga ngerasa akhir-akhir ini… kayak ada yang ngintip dari balik cermin. Bukan Windi. Beda.”

Dina membuka ponsel dan memperlihatkan foto-foto yang sempat berhasil ia simpan sebelum ponselnya mati foto-foto coretan, salinan medis Alvan, dan satu potret samar Windi dengan bayangan hitam di belakangnya.

“Kalau Alvan punya semua ini, berarti dia tahu lebih banyak dari yang dia bilang,” ucapnya. “Dan yang paling ganggu… gue yakin, dia masih kontak sama makhluk itu.”

“Lo yakin Alvan bukan korban?” tanya Angga.

Dina menatap lurus ke depan. “Gue rasa... dia mulai sebagai korban. Tapi sekarang? Gue gak yakin dia sepenuhnya manusia.”

Angga mengepalkan tangan. “Kita harus hadapin dia langsung. Tanya semua.”

Dina mengangguk. “Tapi jangan sekarang. Dia udah tahu gue buntutin dia.”

Angga menarik napas dalam. “Oke. Kita siapkan semuanya. Sekarang, lo istirahat dulu.”

---

Malam Hari – Mimpi Dina

Dina tertidur di kamarnya, namun tidurnya gelisah. Dalam mimpinya, ia berdiri di rumah tua itu lagi. Semua dinding tertutup foto-foto dirinya sendiri bukan Windi. Ia mencoba berteriak, tapi suaranya hilang.

Di depan, sosok tinggi berdiri.

Wajahnya kosong.

Lambat laun, wajah itu berubah… menjadi wajah Dina sendiri.

“Kalau kamu terus ikut campur... kamu akan menggantikannya.”

Ia terbangun dengan teriakan tertahan, tubuh basah oleh keringat. Dan di pergelangan tangannya luka kecil itu… kini membentuk garis melingkar.

Sama persis seperti simbol di leher Angga.

More Chapters