LightReader

Chapter 2 - Sesuatu di Sana

Nyitt...

Suara pintu kayu berdenyit.

Aroma kayu bakar di perapian, cahaya pagi yang temaram menembus jendela. Dan Sentuhan selimut kasar, dan udara dingin yang menggigit kulit.

Di balik pintu kamar, udara pagi terasa terlalu sunyi...seolah menahan napas, menunggu saat aku melangkah keluar.

"Huh..!! Dimana ini?!!"

Anak itu tiba-tiba saja terbangun dengan panik, tergesah-gesah melihat ke arah sekitar.

"Hey, Østberg... Tenangkan dirimu, kau ada di kamar."

"Bi... Bibi?" Østberg bertanya dengan napas yang terengah-engah.

Bibi tampak khawatir dengan tingkah laku anak itu. "Sepertinya kau bermimpi lagi, sudah kubilang jangan terlalu sering pulang larut malam."

Terjadi keheningan diantara keduanya. Mereka diam untuk sesaat, memandangi satu sama lain.

Bibi berkata lembut namun tegas. "Lagi-lagi wajahmu pucat. Bangunlah, Paman menunggumu di kebun... dia khawatir kalau kau terus-terusan terperangkap dalam mimpi."

Sementara Bibi, mulai berjalan pergi keluar kamar, meninggalkannya sendirian disana.

...

Mengapa aku selalu kembali ke mimpi itu… apakah ini panggilan?

Apa Paman dan Bibi tahu seberapa parah luka batinku setiap kali aku bangun?

Tapi bagaimanapun, Itu... Tetap Mimpi ya..? Mungkin... Itu benar.

Keheningan pun menyelimuti ruangan, hanya ditemani percakapan ringan yang membuat Østberg perlahan tersadar bahwa semua mungkin hanyalah mimpi, atau setidaknya, suatu kenyataan yang belum sepenuhnya dipahami.

Seperti kata pepatah, Mimpi adalah sebuah kondisi dimana sesorang berada di posisi sadar dan juga tidak sadar, dalam sumbu yang bersamaan.

Itu adalah pepatah, dimana bahkan ia sendiri bingung siapa yang menciptakannya?

---

Namanya Østberg. Sejak ia ingat, hidupnya tidak pernah terlalu rumit, tetapi juga tidak sesederhana yang sering dibilang banyak orang.

Dia tidak punya ciri-ciri yang mencolok. Rambutnya hitam dan berpenampilan seperti anak pada umumnya. Usianya sekitar 9 tahun, dan menggunakan pakaian kasualnya sehari-hari.

Østberg adalah anak laki-laki yang memiliki mimpi besar, ia lahir di sebuah desa bernama 'Audhild', sebuah desa yang terletak di bagian Timur Kerajaan Xar'Kairos

Xar'Kairos merupakan sebuah kerajaan yang cukup besar, yang terbagi menjadi 4 wilayah. Ada wilayah Timur, Selatan, Utara, dan Barat. Masing-masing distrik memiliki desanya tersendiri, seperti Audhild yang terletak di distrik Timur.

Østberg tinggal bersama Pamannya, Arvid, dan Bibi Mina sejak kecil. Keduanya tidak pernah membicarakan orang tua kandungnya, dan itu menjadi salah satu misteri yang membuatnya merasa sedikit terasing.

Di pagi hari yang tenang ini, matahari perlahan muncul di balik pegunungan Audhild, memberikan warna lembut pada langit yang sebelumnya gelap.

Udara segar pagi mengisi paru-parunya saat ia melangkah keluar dari rumah, diiringi oleh suara angin yang bersenandung di antara pepohonan.

Østberg duduk di ambang pintu, membiarkan matahari menghangatkan kulitnya, namun perasaan kosong itu, perasaan bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menunggu, kembali menguasai pikirannya

Terkadang, ia merasa seperti berada di tengah-tengah dunia yang tidak pernah benar-benar berhubungan.

Seperti bayangan yang melintas, begitu cepat hingga tidak sempat menangkapnya dengan jelas.

Meski kehidupannya tampak tenang dari luar, ada perasaan ganjil, seperti ada sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Di kejauhan, Østberg bisa melihat Paman Arvad sedang bekerja di kebun. Dan Bibiku, yang sibuk dengan rutinitas paginya memasak sarapan, dan menata meja.

Mereka berdua adalah satu-satunya keluarga yang aku miliki sejak kecil. Mereka selalu menunjukkan perhatian dan kasih sayang, tapi aku merasa terpisah, seperti ada jarak yang tidak bisa dijelaskan.

Seiring berjalannya waktu, Østberg semakin merasa bahwa kehidupan di Audhild ini terlalu kecil untuk menampung semua pertanyaan yang mengganggu pikirannya.

"Østberg!" teriak Paman Arvid dari kebun, suaranya sedikit mengeras karena angin yang bertiup kencang.

"Kau ingin membantu hari ini?" Lanjut Paman.

Østberg mengangguk, meskipun ia tahu jawabannya lebih karena kebiasaan daripada niat.

Østberg merasa bahwa tidak ada yang benar-benar bisa memenuhi kebutuhannya saat ini, bahkan dengan pekerjaan keras sekalipun.

Seperti ada yang hilang, dan ia tidak tahu apa itu. Sementara Bibi sibuk di dapur, dia sempat melirik dan memberi senyuman lembut, seolah tahu apa yang ada di pikiranku.

"Jangan terlalu banyak berpikir, Østberg." Kata Bibi dengan nada yang ramah.

"Terkadang, kita hanya perlu menjalani hari demi hari."

Namun, kata-katanya terasa seperti angin yang lewat, tanpa meninggalkan bekas. Østberg menghela napas panjang sebelum akhirnya bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju kebun. Langkah-langkah kecilnya menyusuri jalanan tanah yang masih basah oleh embun pagi.

Sepatunya meninggalkan jejak samar di tanah, sementara suara burung-burung mulai terdengar dari kejauhan, menyambut pagi dengan nyanyian mereka yang biasa.

Paman Arvid sedang memotong cabang-cabang yang mulai mengganggu pertumbuhan tanaman tomat, dan ketika melihat Østberg datang, ia tersenyum tipis.

"Aku tahu kau akan datang," katanya tanpa menoleh. "Pegang ini."

Ia menyerahkan sebuah keranjang berisi daun-daun yang sudah dipotong. Østberg menerimanya tanpa bicara, lalu mulai membantu memunguti gulma dari sisi-sisi ladang.

Tak banyak kata yang diucapkan di antara mereka. Paman Arvid memang bukan tipe yang banyak bicara, dan Østberg pun tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Namun dalam keheningan itu, ada kenyamanan yang tak bisa dijelaskan. Seperti dunia yang sejenak diam dan membiarkan mereka saling memahami dalam diam. Østberg menarik napas panjang dan berjalan ke kebun, menghampiri Paman Arvid yang sedang mencangkul tanah keras dengan gerakan yang mantap dan ritmis.

"Pegang ini," kata Paman sambil menyerahkan sekop kecil. "Kita tanam bibit wortel hari ini. Tanahnya mulai subur setelah hujan minggu lalu."

Østberg mengangguk dan mulai membantu, walau pikirannya melayang ke tempat lain. Tangannya bergerak sesuai instruksi Paman. Sepanjang pagi, mereka bekerja dalam diam. Sesekali terdengar suara burung dan derit angin yang menembus celah pepohonan.

Bibi muncul membawa air dan roti untuk mereka, lalu kembali lagi ke rumah tanpa banyak bicara. Ia tahu Østberg sedang larut dalam dunianya sendiri, dan kadang membiarkannya seperti itu adalah yang terbaik.

Menjelang sore, pekerjaan di kebun selesai. Paman menepuk bahunya dengan lembut. "Kerja yang bagus, Nak."

Østberg hanya tersenyum tipis, lalu berjalan kembali ke rumah dengan sepatu penuh tanah dan baju berkeringat. Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, ia kembali ke kamarnya.

Østberg mengangguk dan berjalan pulang. Melewati rerumputan yang mulai mengering oleh panas, ia membuka pintu rumah dengan pelan dan masuk ke dalam. Aroma roti panggang dan sup hangat memenuhi udara, Bibi telah menyiapkan makan siang.

"Kau sudah membantu Pamanmu?" tanya Bibi sambil mengaduk panci di atas kompor.

"Sudah." Jawab Østberg.

"Bagus! Kalau begitu, makan siang akan siap sebentar lagi. Cuci tangan dulu dan beristirahatlah." Katanya sambil tersenyum.

Østberg naik ke lantai atas. Tangga kayu berderit pelan di bawah langkahnya. Ia masuk ke kamar dan langsung merebahkan diri di atas tempat tidur. Tubuhnya terasa lelah, tapi pikirannya masih berkelana. Langit-langit kamar tampak kosong, putih kusam.

Di rumah ini, ada 3 kamar berbeda.

Yaitu kamar Østberg, Paman, dan Bibi, yang masing-masing terpisah.

Østberg sering menyebut kamarnya sebagai kamar 1, kamar Paman sebagai kamar 2, dan kamar Bibi sebagai kamar 3.

Namun ada 1 kamar lagi yang terkunci. Itu adalah kamar kedua orangtuanya. Paman dan bibi selalu mengunci kamar itu, dan tidak memberikan penjelasan.

Mereka hanya mengatakan, kalau aku pernah memasuki kamar itu ketika masih bayi, tapi... Aku tidak ingat.

Hari ini terasa melelahkan, aku sendiri bahkan tidak percaya kalau aku melakukan aktivitas ini setiap hari, selama bertahun-tahun.

Namun ini hanyalah aktivitas kecil saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Bukankah begitu?

---

[Di Kamar 1]

Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Ia memejamkan mata sejenak, merasakan betapa sunyinya tempat itu. Namun tidak seperti mimpinya, tempat ini nyata.

Dia membuka jendela dan membiarkan angin sore masuk, lalu rebah di tempat tidurnya. Matanya memandang langit, yang kini mulai berubah warna, campuran jingga dan emas. Hari itu hampir berakhir.

Bersantai di saat-saat seperti ini sangatlah menyenangkan.

Lihat! Banyak kawanan burung yang beterbangan di langit!

Di atas meja kecil, buku catatan miliknya masih terbuka. Ia mengambil pena dan menulis beberapa baris singkat tentang apa yang ia rasakan hari ini. Tak banyak, hanya potongan pikiran yang belum tersusun.

Kemudian, Østberg meletakkan buku itu, menarik selimut, dan menatap langit dari balik jendela.

Di tengah kesunyian, untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa sedikit santai. Tidak bahagia, tidak sedih. Hanya... tenang.

Angin dari jendela membawa aroma kayu dan dedaunan, serta suara alam yang perlahan menenangkan detak jantung Østberg. Ia menatap langit dari balik kaca, langit yang terus berubah warna, seolah mengikuti alur pikirannya yang tak pernah benar-benar tenang.

Østberg menelentang di tempat tidur, menyentuh serat kasar selimutnya, memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam ketidakpastian yang selalu menemaninya sejak kecil.

"Dunia ini begitu nyata... namun mengapa mimpi itu terasa lebih hidup?"

"Akan ku coba pikirkan kembali... siapa pria tua berjubah hitam yang muncul dalam mimpi semalam?"

Tapi apa? Dan mengapa dia merasa seperti pernah berada di sana?

Di sisi tempat tidur, Østberg melihat sebuah buku, bukan catatannya sendiri, melainkan buku hadiah dari Bibi, berisi cerita rakyat kuno dari wilayah selatan. Salah satu kisahnya berbicara tentang Monster yang bukan khayalan, tapi ‘panggilan’ dari zaman lain.

"Apa ini?" Østberg bertanya sambil memegang buku itu.

"Aku belum pernah mempercayai hal-hal seperti itu, namun akhir-akhir ini… segalanya terasa terlalu aneh untuk disebut kebetulan. " Tanya Østberg.

Østberg membalik bagian buku itu, lalu menggoyangkannya untuk memastikan apakah ada benda yang terselip. Setelah dirasanya tidak ada yang terselip, Østberg mencoba membuka buku itu.

Beberapa saat sebelum ia dapat membaca pesan di buku tua itu, Suara lantai kayu berderit dari bawah. Ada langkah kaki, lalu suara kursi yang ditarik.

“Østberg!” terdengar suara berat Paman Arvid dari arah ruang tamu. “Kalau kau tidak sibuk merenung sendirian, turunlah sebentar. Aku ingin bicara.”

Østberg terdiam sejenak. Pandangannya mengarah pada pintu, lalu ia bangkit pelan, menyelipkan buku catatannya ke bawah bantal. Ia menghela napas dan berkata pelan pada dirinya sendiri,

"Baiklah… sebentar lagi aku akan kembali ke dunia nyata." Gumam Østberg

Lalu ia melangkah keluar dari kamarnya, menyambut cahaya yang mulai memudar. Østberg menuruni tangga dan menuju kebun, mencoba melepaskan keraguan yang mulai mengendap di dalam diri.

Sejenak, Østberg melupakan mimpi-mimpi aneh itu. Namun, meski tampaknya segalanya biasa saja, ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa takdirnya tidak akan pernah membiarkannya begitu saja.

Setelah sampai di ruang tamu, Østberg mulai duduk di bangku, didepannya ada meja makan bundar yang cukup besar, terbuat dari kayu segar yang ditebang dari hutan sana. Di sebelahnya, duduk Paman yang sedang bersantai.

"Ada apa Paman? Kenapa kau memanggil?" Østberg bertanya dengan penasaran.

Paman menjawab. "Tidak ada apa-apa. Hanya duduk saja disini."

Saat itu, ia sedang duduk di dekat perapian bersama Paman, matanya berbinar dengan semangat khas anak-anak yang penuh impian.

Østberg melihat sebuah buku yang memiliki ukiran Heroes, Pahlawan yang selalu bersemangat untuk melakukan hal positif dan membantu. Lalu dengan sorotan mata berbinar, Østberg berkata dengan suara penuh Harapan.

"Paman, saat sudah dewasa nanti... Aku ingin menjadi pahlawan!"

Pamannya tersenyum, menatap wajah muda nya dengan penuh kasih. Ia melihat Østberg dan menjawab dengan nada lembut.

"Ya, tentu. Di masa depan yang indah nanti, kau akan menjadi seorang pahlawan."

Østberg memandang Paman, senyumnya semakin lebar.

Sementara nyala api di perapian memantulkan bayangannya di dinding, seakan membayangkan sosok yang kelak akan tumbuh menjadi lebih kuat.

---

[Siang harinya]

Østberg menghabiskan pagi itu dengan membantu Paman Arvid di kebun, memotong ranting-ranting kering dan menyusun kayu bakar untuk musim dingin yang mulai mendekat.

Meski tangannya sibuk bekerja, pikirannya melayang ke arah mimpi-mimpi yang terus mengganggu setiap malam.

Kota asing dengan menara-menara tinggi, suara bising yang tak pernah ia dengar di Audhild, dan sosok bayangan yang memanggil dengan nada mendesak.

"Østberg," panggil Paman Arvid, memecah lamunannya. “Kau melamun lagi.”

Østberg menoleh dan tersenyum canggung. "Maaf, Paman. Aku hanya..."

"...Berpikir terlalu banyak?" Paman menyelesaikan kalimat dengan nada bercanda, mengibas-ngibaskan tangan yang sudah kotor oleh tanah.

"Kau terlalu sering mengurung diri di kepalamu, Nak. Cobalah sesekali nikmati apa yang ada di sekitarmu."

Østberg mengangguk, meski kata-katanya terasa lebih seperti nasihat yang sulit di ikuti daripada kenyataan yang bisa di jalani.

Pekerjaan di kebun selesai menjelang siang, dan Østberg kembali ke rumah untuk makan bersama mereka.

More Chapters