Bab 23 – Panggilan Dunia Luar
Di Lembah Lumina'val, Elara, kini berusia dua belas setengah tahun, semakin merasa gelisah. Ia telah tumbuh menjadi gadis yang anggun, dengan rambut pink perak yang panjang dan mata merah muda yang memancarkan cahaya lembut. Kemampuan penyembuhannya telah berkembang pesat; ia bisa menyembuhkan luka yang lebih parah, bahkan menenangkan pikiran yang gelisah hanya dengan sentuhan tangannya. Ia juga mulai bisa memanipulasi cahaya murni, menciptakan pendaran yang bisa menerangi jalan atau mengusir kegelapan kecil.
Namun, hatinya semakin merindukan dunia di luar lembah. Fragmen perkamen kuno yang ia temukan, yang ia simpan di bawah bantalnya, terus membisikkan tentang "pecahan takdir" dan "Bintang Kembar Merah". Ia sering menghabiskan waktu di perpustakaan, mencari lebih banyak petunjuk, atau diam-diam mengamati para penjaga perbatasan Elf.
"Lyris, apa di luar sana ada orang yang sepertiku?" tanya Elara suatu sore, saat mereka sedang merawat taman bunga. "Yang rambutnya warna-warni, atau yang bisa bikin bunga mekar cuma pakai sentuhan?"
Lyris tersenyum lembut. "Alkein adalah dunia yang luas, Elara. Ada banyak ras dan keajaiban yang belum pernah kau lihat. Mungkin… ada."
Jawaban itu tidak cukup bagi Elara. Ia ingin melihatnya sendiri.
Suatu pagi, Tetua Elarael memanggilnya. "Elara, ada tugas penting untukmu. Di Hutan Lumina, di luar batas lembah kita, ada bunga bulan sabit langka yang hanya mekar setiap sepuluh tahun sekali. Kelopaknya memiliki kekuatan penyembuhan yang luar biasa, tapi ia sangat rapuh. Kami membutuhkanmu untuk mengambilnya dengan tanganmu sendiri, karena hanya sentuhan cahaya murni yang bisa menjaganya tetap utuh."
Mata Elara berbinar. Ini adalah kesempatan pertamanya untuk benar-benar melangkah keluar!
"Siap, Tetua!" serunya penuh semangat.
Lyris mengantarnya hingga batas lembah. "Hati-hati, Elara. Hutan Lumina memang indah, tapi ada makhluk-makhluk liar di sana. Jangan terlalu jauh."
"Siap, Lyris! Aku pasti kembali dengan bunga itu!" Elara memeluk Lyris, lalu melangkah keluar dari batas lembah, jantungnya berdebar kencang.
Hutan Lumina memang indah, penuh dengan pepohonan tinggi dan suara-suara alam yang menenangkan. Elara berjalan dengan hati-hati, matanya mencari bunga bulan sabit yang dimaksud. Ia menemukan beberapa, tapi kelopaknya sudah layu. Ia terus melangkah lebih dalam, didorong oleh tekadnya.
Akhirnya, ia menemukan sebuah area kecil yang diselimuti kabut tipis. Di sana, di bawah naungan pohon raksasa, sebuah bunga bulan sabit mekar sempurna, kelopaknya memancarkan cahaya perak lembut.
"Cantik sekali!" bisik Elara. Ia mendekat, mengulurkan tangannya.
Namun, saat tangannya nyaris menyentuh bunga itu, sebuah suara geraman rendah terdengar dari balik kabut.