Bab 35 – Secercah Jejak di Tengah Kehancuran
Di belantara pegunungan terjal yang berbeda, jauh dari keanggunan Lumina'val, udara dipenuhi bau darah, asap, dan keputusasaan. Pasukan Vorgash baru saja meluluhlantakkan sebuah perkampungan kecil Ras Pengembara Bukit—makhluk-makhluk nomaden yang hanya kebetulan melintasi jalur yang sama dengan Sang Primordial Iblis. Bangunan-bangunan kayu sederhana mereka kini tinggal puing yang membara, dan hanya sedikit yang berhasil lolos dari amukan brutal itu.
Vorgash berdiri di tengah kehancuran, napasnya yang berat mengeluarkan uap hitam di udara dingin. Kulit obsidiannya berkilat mengerikan di bawah cahaya matahari yang redup, tak tersentuh oleh perlawanan sia-sia para pengembara tadi. Ia baru saja menghancurkan pemimpin mereka dengan satu ayunan kapak, hanya karena pemimpin itu berani menatap matanya terlalu lama. Sifat "otak otot"-nya memang tidak mengenal kompromi.
"Periksa semua sudut! Cari apapun yang bisa bicara!" perintah Vorgash dengan suara menggelegar kepada sisa-sisa pasukannya yang terdiri dari iblis-iblis rendahan dan makhluk bayangan.
Beberapa saat kemudian, dua iblis bawahannya menyeret sesosok pengembara tua yang gemetar hebat, wajahnya pucat pasi penuh luka.
"Tuan Vorgash… yang ini… dia masih hidup," lapor salah satu iblis.
Vorgash mendekat, tatapan merahnya yang membara menyorot tajam ke arah pengembara tua itu. "Kau… pernah lihat bocah aneh lewat sini?" Ia mencoba mengingat deskripsi yang pernah diberikan Tuannya, meski ingatannya lebih sering dipenuhi amarah daripada detail. "Rambutnya… hitam, ada putihnya sedikit. Mungkin… bawa senjata kayu? Suka nyengir?"
Pengembara tua itu, di bawah ancaman tatapan Vorgash dan cengkeraman kasar para iblis, tergagap ketakutan. Ia teringat beberapa bulan lalu, ia memang melihat seorang anak laki-laki dengan ciri-ciri agak mirip, meskipun dari kejauhan, sedang bergerak lincah ke arah barat daya, menuju hutan-hutan lebat yang jarang dijamah. Mungkin jika ia memberikan informasi, ia bisa selamat.
"I-iya… Tuan Iblis yang Agung…" suaranya bergetar. "Be-beberapa bulan lalu… saya… saya seperti melihat anak dengan ciri seperti itu… dia… dia menuju ke arah… barat daya… melewati Lembah Angin Kering…"
Mata Vorgash sedikit menyipit. Barat daya. Itu adalah arah yang berbeda dari jalur yang selama ini ia sisir berdasarkan petunjuk awal Tuannya. Ini informasi baru. Informasi yang ia dapatkan sendiri melalui "usahanya". Ada secercah kepuasan brutal di wajahnya.
"Barat daya, katamu?" Vorgash menggeram. Ia tidak peduli apakah informasi itu akurat sepenuhnya atau tidak. Baginya, ini adalah jejak. Ini adalah tindakan. "Bagus. Kau sedikit berguna."
Tanpa peringatan, ia mengayunkan tangannya, dan leher pengembara tua itu patah seketika. "Tapi tidak lagi," lanjutnya dingin, lalu berpaling kepada pasukannya. "Kita bergerak ke barat daya! Hancurkan apapun yang menghalangi!"
Pasukannya bersorak liar, siap mengikuti perintah membabi buta.
Namun, baru saja Vorgash hendak melangkah, udara di sekitarnya tiba-tiba menjadi sangat dingin, lebih dingin dari udara pegunungan itu sendiri. Aura pekat penuh tekanan yang tak terbayangkan menyelimuti tempat itu, membuat bahkan iblis-iblis rendahan pun gemetar ketakutan dan bersujud. Hanya Vorgash yang tetap berdiri tegak, meski ia sedikit menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat.
Sebuah suara tanpa wujud, dingin, bergema, dan seolah berasal dari kehampaan itu sendiri, terdengar langsung di benak Vorgash. Suara Tuannya, "Dia yang Menginginkan Kehampaan."
> "Vorgash…"
>
"Tuanku!" jawab Vorgash, ada nada bersemangat dalam suaranya yang serak. "Hamba baru saja mendapatkan petunjuk baru! Bocah Pengembara itu terlihat menuju barat daya! Hamba akan segera—"
> "Informasimu… mungkin hanya riak kecil di lautan takdir, Iblisku yang kasar…" Suara Tuannya memotong, tanpa emosi, namun penuh dengan kekuatan yang meremukkan. "Ada pergerakan energi yang lebih signifikan di tempat lain. Sebuah konvergensi… di bawah naungan bintang yang tak biasa."
>
Vorgash terdiam. Ia tidak mengerti sepenuhnya apa maksud Tuannya tentang "konvergensi" atau "bintang tak biasa". Otaknya yang sederhana sulit mencerna konsep-konsep rumit.
> "Bocah itu… mungkin telah menemukan tempat perlindungan sementara. Atau… sekutu yang tak terduga. Jejak yang kau temukan itu, Vorgash, bisa jadi sudah basi."
>
Ada jeda yang mencekam, di mana Vorgash bisa merasakan ketidaksabaran Tuannya yang tak terucap.
> "Aku akan memberimu arah yang lebih pasti. Sebuah anomali energi telah terdeteksi. Sumbernya lemah, namun memiliki resonansi yang sama dengan Kunci-Kunci yang kita cari… dan dengan aura Sang Pengembara. Lokasinya… di sekitar Hutan Cahaya Kuno, di wilayah para Peri Anggun."
>
Hutan Cahaya Kuno? Peri Anggun? Vorgash menggeram dalam hati. Ia membenci segala sesuatu yang berbau cahaya dan keanggunan. Tapi perintah Tuannya adalah mutlak.
> "Pergilah ke sana. Selidiki. Hancurkan jika perlu. Tapi prioritas utamamu tetap bocah itu dan Kunci apapun yang mungkin ia bawa atau tuju. Jangan gagal lagi, Vorgash. Kesabaranku ada batasnya."
>
Aura menekan itu perlahan menghilang. Udara kembali normal, meskipun masih terasa dingin oleh kehadiran Vorgash.
Vorgash mengepalkan tangannya yang sekeras batu. Informasi yang baru saja ia dapatkan dengan susah payah kini terasa tidak ada artinya. Namun, perintah baru dari Tuannya memberinya target yang jelas. Hutan Cahaya Kuno. Meskipun ia tidak tahu di mana tepatnya "wilayah para Peri Anggun" itu, ia yakin Tuannya akan memberikan koordinat yang lebih spesifik atau cara untuk menemukannya.
"Pasukan!" raung Vorgash, amarahnya karena merasa usahanya sia-sia kini bercampur dengan semangat baru untuk menjalankan perintah Tuannya. "Lupakan barat daya! Kita punya target baru! Siapkan diri kalian! Kita akan berburu Peri!"
Dengan itu, Primordial Iblis itu kembali bergerak, memimpin pasukannya menuju arah yang sama sekali berbeda, menuju sebuah takdir yang tanpa ia sadari, mungkin akan membawanya sedikit lebih dekat—meski masih sangat jauh—ke tempat di mana Ruhosi kini tengah berusaha memahami warisan leluhurnya. Pertempuran antara kegelapan dan cahaya, antara kehancuran dan harapan, terus berlanjut di berbagai penjuru Alkein.