LightReader

Chapter 3 - Bab 3 – Desa Terbakar, Nama Tersegel

Guruh petir masih bergetar di benaknya ketika ia membuka mata. Sekilas ia merasa seperti terombang-ambing dalam mimpi buruk. Nyatanya, ia sekarang berdiri di sebuah padang berlubang — bekas runtuhan gua yang tadi menjadi tempat ia tersadar. Hujan sudah reda, meninggalkan udara lembap bercampur bau hangus. Pedang hitam yang berubah warna itu masih di tangan kirinya, tetapi aura-nya semakin pekat dan berat… menyesakkan.

Tiba-tiba, sebuah kilatan merah menyambar dari kejauhan: "Desa! Desa ku..." pikirnya dengan terguncang. Rasa panik mencengkeram hatinya seperti asap. Ia menggenggam pedang, bersiap berlari. Tapi sebelum melangkah, ia mendengar suara asing: "Nak... kau..."

Yah, suara penuh kasih itu milik ibunya—ibu angkat, Bu Ah… Ia mengenali sosok gemetar di antara reruntuhan kayu dan batu. Tubuh tua itu terbaring dekat sumur, tapi matanya tetap menatap Gohan, penuh kesedihan dan keterpaksaan. "Ma… apa yang terjadi?" gumam Gohan, suaranya serak.

Bu Ah hanya bisa merengek lemah, lalu berkata: "Maafkan aku, Nak... demi menutup takdirmu..." Dua tetesan darah mencair dari dadanya, menetes ke tanah. Pedang emas—yang kini hitam—mengisap darah itu dengan cepat. Bu Ah kemudian menutup matanya... dan mati.

Desa Langit Sepi menjadi saksi suatu malam legenda terulang. Para leluhur pernah mencatat tentang pewaris klan Li yang tertulis dalam prasasti batu putih: "Pewaris harus rela mengorbankan darah cinta, agar nama tetap tersegel dan kutukan tidak bangkit." Gohan masih teringat cerita tua itu: kerabatnya dulu pernah memecah segel kuno dan menyebabkan kehancuran besar. Sejak saat itu, klan Li hidup dalam persembunyian dan sumpah diam. Dan salah satu jalan untuk memastikan pewaris baru tidak menjadi ancaman: darah pengkhianat harus tumpah.

Bu Ah—yang bukan darah asli—mengambil tanggung jawab itu. Demi Gohan… demi dunia.

Tiba-tiba Gohan termangu. Air mata tumpah dingin. "Ma… kau lakukan ini karena aku?" pedangnya gemetar, terdengar bisikan dingin, "Kau pewaris, bukan dia."

Api biru tiba-tiba muncul di langit, seolah menyala dari pedang. Desanya yang dulu tenang kini terbakar—bukan hanya rumah kayu, tapi juga aura spiritual yang menyatukan tanah leluhur. Bau asap, raungan hewan, dan teriakan orang-orang yang berlari menyebar ke seluruh sudut. Seketika, Gohan tahu: ini bukan kebetulan. Ada pihak yang mengincarnya, dan desa itu hanyalah permulaan.

Petir kedua membelah malam, dan kali ini bukan merah, melainkan biru pekat—simbol Sekte Langit Bening. Dari langit, para penerbang muncul membentuk formasi rapi, pedang kristal biru menyala di tangan. "Nah lo!" teriak Gohan dalam hati. Pedang emas-hitam di tangannya ikut bersinar liar, seperti menolak hadirnya lawan.

Mereka turun ringan dan cepat: sekte pemula tapi juga kutukan berbentuk nyata. Salah satu pemimpin mereka maju, topeng perak di wajahnya, suaranya dingin: "Pewaris ketujuh… kau tidak boleh membiarkan kutukan lama terbuka kembali. Desa ini harus dibersihkan."

Gohan menahan gemetar. Ia ingin melawan, ia ingin membela—namun hatinya hancur karena momennya baru saja kehilangan ibu sangaaat tiba-tiba. Namun pedang di tangannya segera bergetar, membentuk prajurit cahaya hitam-hijau sebagai perisai tak kasat mata. "Bagaimana mungkin?!" salah seorang sekte tertegun, lalu mundur sepuluh langkah.

Dia menyeringai: "Wah... sedikit kekuatan darah dewa ternyata brengsek juga."

Pertempuran singkat pecah—pedang emas-hitam milik Gohan membentur kristal biru, menimbulkan dentuman yang membuat tanah gemetar. Api biru dari langit dibalas dengan celahan iblis hijau, menimbulkan semburan energi. Dalam sekejap desa menjadi kucing dan tikus spiritual.

Namun empat penerbang Sekte Langit Bening ternyata dikerahkan tiap arah, mengurung Gohan di tengah. Pedang Gohan sudah membara, siap membuat pembalasan. Tapi… justru ia terpaku. Rasa lelah akut menyergapnya, tubuhnya mencair, dunia di matanya perlahan gelap lagi.

Gohan jatuh terduduk di tengah reruntuhan, pedang di tangan bersinar redup. Ia memejamkan mata, mencoba meredam suara di kepalanya: "Bangun... pewaris... waktumu tidak sebentar."

Namun tubuhnya tidak mampu bangkit. Suara bisik yang terdengar tadi kini semakin jelas: "Jangan percaya darahmu."

Apa maksudnya? "Siapa—siapa yang harus tak dipercaya? Keluarga? Diri sendiri?" Jantungnya berdebar kencang, alam pikirannya terbelah.

Kilasan kecil muncul: wajah ibunya, sambil tersenyum lirih, menatap pedang. Ia berbisik: "Hush, Nak. Jangan takut menjadi pewaris, tapi jangan juga rela dirasuki by blood." Lalu bayangan buruk: sebuah cermin es pecah yang menampilkan reflect dirinya sebagai penghancur, bukan pelindung.

Cerah dan gelap—bersamaan. Harapan dan kehancuran—berganti. Itu semua ia rasakan, tapi tak sanggup menafsirkan.

Gohan pingsan sekali lagi, tubuhnya jatuh ke tanah, bury deeply in tears dan kelelahan. Dari lembar napas terakhirnya sebelum gelap… terdengar bisikan naga hitam: "Selamat datang di ujung jalanmu—kini kau merasakan darah yang menyembelih cinta."

Pedang emas-hitam milik Gohan meninggalkan puing berapi kecil, lampu redup di tangan kanannya. Saat ia merem dan terluka, dari jauh terdengar tawa dingin—bukan milik manusia. Suara itu, familiar dan asing: suara naga, atau roh tua yang berbisik, "Kelak... kau akan memasuki dimensi rahasia mitian. Tapi sebelum itu, kau harus membayar... dengan darah dan kepercayaan."

Dan... Gohan tidak lagi tahu siapa yang pantas dipercaya—ibu angkat, dirinya sendiri, atau pedang yang kini tampak membawa kutukan baru. Api biru di langit masih menyala, menandakan kehadiran lebih banyak —tebakan: Sekte Langit Bening—tapi bisikan internal tidak kunjung berhenti: "Jangan percaya darahmu."

Malamnya gelap, dan besok mungkin akan lebih mencekam. Dunia sudah bergerak, dan Gohan? Ia terkurung antara cinta, kutukan, dan takdir yang mulai mengepung. Pedang hitamnya sekarang makin membara, tapi dia? Dia pingsan, tak berdaya, dan tidak tahu siapa musuh—dan siapa sekutu—sebenarnya.

More Chapters