LightReader

Chapter 4 - 4

Mia baru saja tiba di rumah. Tubuhnya terasa lelah, pikirannya penat setelah seharian berkutat dengan tumpukan pekerjaan yang tak kunjung habis. Semua masalah keuangan perusahaan RIC grup kini berada di pundaknya—dan dia nyaris tak punya ruang untuk bernapas.

Namun, baru saja ia membuka pintu rumah, pemandangan yang tak diharapkannya sudah menanti: keluarga baru ayahnya—termasuk Agnes—sudah berkumpul di ruang tamu. Dari ekspresi mereka, jelas mereka telah menunggunya cukup lama.

Mia menghentikan langkah sejenak. Tapi tanpa berkata sepatah kata pun, dia memilih berjalan langsung menuju kamarnya, pura-pura tak melihat keberadaan mereka.

“Mia, kemarilah,” panggil Jerry Xiao, ayahnya, dengan nada yang cukup tegas.

Mia mendengus pelan, lalu berbalik arah dan duduk di sofa, meskipun wajahnya jelas menunjukkan ketidaksenangan.

“Ayah ingin menanyakan sesuatu padamu,” ucap Jerry, mencoba menahan emosinya.

“Kenapa kamu bersikap tidak sopan dan kasar terhadap adikmu?”

Mia tertawa kecil, pahit. “Aku? Kasar?” tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri. “Sebelum ayah menyalahkanku, kenapa tidak tanya dulu kronologinya? Tanyakan saja pada anak kesayangan ayah itu—apa yang dia lakukan sampai aku bisa bersikap seperti itu!”

“Agnes tidak sopan?” tanya Jerry, tak percaya.

“Dia mengambil uangku. Dengan terang-terangan! Apa itu bukan tindakan yang tidak sopan?” seru Mia, nadanya meninggi. Ia menoleh tajam ke arah Agnes yang duduk tenang, seolah tak bersalah.

“Itu hanya uang, Mia. Hal sepele. Kamu tinggal berikan saja padanya. Tak perlu dibesar-besarkan,” sahut Jerry datar.

Mata Mia membelalak. “Bagi ayah itu mungkin sepele. Tapi bagi aku, tidak! Kalau ayah benar-benar ingin rumah ini damai, ajarkan anak kesayangan ayah itu cara menghormati kakaknya!”

Ia berdiri, emosinya nyaris meledak. “Kalau dia tidak bisa bersikap sopan padaku, jangan pernah berharap aku akan bersikap baik padanya.”

Mia menggebrak meja dengan keras, membuat semua orang di ruangan terdiam.

“Dan mulai sekarang,” lanjutnya dengan nada dingin, “jangan salahkan aku kalau aku mulai bersikap kasar pada keluarga yang bahkan tak pernah menganggapku bagian dari mereka.”

Tanpa menunggu reaksi, Mia melangkah pergi, meninggalkan ruangan yang hening dengan atmosfer yang menegang.

Pak Jerry Xiao merasa geram. Sikap Mia yang berani membentaknya di depan keluarga membuat darahnya mendidih. Tanpa pikir panjang, ia melangkah cepat mengikuti Mia yang baru saja pergi dari ruang keluarga.

Langkah kakinya terhenti tepat di depan pintu kamar Mia. Begitu Mia hendak menutup pintu, tangan Jerry langsung menangkap pergelangan putrinya dengan cengkraman kuat.

“Ayah belum selesai bicara denganmu, Mia!” suaranya tajam, penuh tekanan.

Mia mencoba menarik tangannya, namun genggaman sang ayah begitu kuat. “Apalagi yang ingin Ayah bicarakan? Pasti soal anak kesayangan Ayah itu lagi, kan?” cibir Mia dengan sorot mata sinis.

Jerry tak menanggapi sindiran itu. “Ayah mau kamu minta maaf pada Agnes. Kamu sudah menampar wajah adikmu sampai dia jatuh ke lantai. Itu tidak bisa ditoleransi!”

Mia meringis, menahan sakit di pergelangannya. “Aku... yang harus minta maaf?” tanyanya dengan nada tidak percaya.

“Harusnya dia yang minta maaf! Dia mencuri uangku! Dan Ayah diam saja!”

“Mia!” bentak Jerry.

Namun Mia sudah tak tahan lagi. Dengan sekuat tenaga, ia menghentakkan tangannya hingga terlepas dari cengkeraman ayahnya.

“Ayah dengar baik-baik!” katanya lantang. “Aku tidak akan pernah minta maaf pada orang yang berani mengambil milikku! Dan satu hal lagi…”

Tatapan Mia menajam, dingin seperti es.

“Aku tidak mengakui dia sebagai adikku. Dia bukan keluargaku.”

Dengan gerakan cepat, Mia membuka pintu kamarnya, lalu membantingnya hingga suara keras menggema di seluruh rumah.

BRAAAKK!!

Pak Jerry tertegun. Amarahnya mendidih. Dadanya naik turun menahan emosi, belum pernah anaknya berani membanting pintu di hadapannya.

Di balik pintu yang kini tertutup rapat, Mia bersandar lemas, menggenggam pergelangan tangannya yang masih nyeri. Namun rasa sakit di hatinya jauh lebih besar dari sekadar cengkeraman fisik—ini tentang harga diri, luka lama, dan cinta yang tak pernah ia terima dari sang ayah.

Emosi Pak Jerry memuncak. Ia berdiri mematung di depan pintu kamar Mia, dadanya naik turun menahan amarah.

"Kenapa anak itu jadi begitu pembangkang?" gumamnya pelan, seperti bicara pada bayangan sendiri. "Dulu... waktu kecil, Mia selalu mendengarkanku. Sekarang, bahkan aku seperti tak mengenal siapa dia."

Wajah Mia kecil sekelebat melintas di benaknya—gadis kecil yang dulu selalu menggenggam tangannya saat takut, yang patuh dan penuh semangat memanggilnya "Ayah". Kini gadis itu berubah menjadi wanita muda dengan tatapan tajam dan suara yang berani melawan.

Saat ia sedang tenggelam dalam pikiran, sebuah tepukan lembut di pundaknya membuatnya tersentak.

"Sudahlah, Pah," ucap Bu Yanti lembut, meski ada nada sinis tersembunyi di balik suaranya.

"Mia itu sudah dewasa. Mungkin karena terlalu lama hidup di pedesaan... dia lupa caranya bersikap sopan. Hidup di alam liar membuat seseorang jadi liar juga."

Kalimat itu menancap dalam, seperti minyak yang disiram ke bara emosi Jerry.

Agnes ikut menyela, suaranya dibuat semanis mungkin. “Iya, Pah. Kakak mungkin terbiasa hidup bebas di sana. Jadi... wajar kalau sekarang dia seperti enggak tahu tata krama dalam keluarga.”

Pak Jerry menghela napas panjang, kepalanya sedikit mengangguk pelan. “Entahlah. Papah pusing. Papah mau ke kamar dulu. Mataku sudah berat.”

Ia berbalik hendak pergi, namun langkahnya kembali tertahan oleh suara manja Agnes.

“Pah…” panggilnya sambil menggandeng lengan Jerry dengan manja. “Sahabatku lagi ulang tahun minggu ini. Boleh nggak aku ajak Kakak ke pesta ulang tahunnya?”

Pak Jerry mengernyit.

“Siapa tahu… dengan begitu aku dan Kakak bisa akur. Lagipula, Kakak kan jarang bersosialisasi. Mungkin kalau dia datang, dia bisa kenal banyak orang baru, punya teman, dan... nggak terlalu sensitif lagi,” tambah Agnes sambil tersenyum manis, penuh kepura-puraan.

Jerry terdiam sejenak, menatap wajah putrinya yang tampak polos tapi penuh maksud.

“Kamu memang anak Papah yang pengertian...” gumam Jerry sambil mengelus kepala Agnes dengan sayang. “Ajaklah Kakakmu. Siapa tahu benar kata kamu—mungkin saat kalian bersama, hubungan kakak beradik bisa membaik.”

Agnes tersenyum puas, tapi di balik senyum itu... ada sesuatu yang disembunyikan. Pesta ulang tahun itu bukan sekadar pesta biasa. Di balik undangan itu, tersimpan rencana lain yang hanya ia dan Bu Yanti yang tahu.

Agnes tersenyum penuh kemenangan setelah mendapat izin dari ayahnya. Tanpa membuang waktu, ia segera berdandan dengan penuh semangat. Gaun yang dikenakannya ketat, menonjolkan lekuk tubuh, dengan riasan mencolok yang membuatnya tampak menawan... dan sengaja mencuri perhatian.

Tok. Tok. Tok. Tokkk...

Ketukan terdengar dari balik pintu kamar Mia. Pintu kayu itu berderit pelan saat Mia membukanya sedikit, sekadar ingin tahu siapa yang berani mengganggunya saat ia tengah beristirahat.

Wajah Mia muncul di balik celah pintu. Tatapannya tajam, menusuk, seperti mata elang yang siap menerkam mangsa.

"Ada apa kamu ke sini?" tanyanya datar, dingin.

"Mau bikin keributan lagi? Atau cari masalah baru?"

Ia menyandarkan tubuh di ambang pintu dengan malas. "Cepat. Langsung ke intinya. Aku tak punya waktu untuk basa-basi, apalagi dengan orang sepertimu."

Agnes menelan ludah. Senyumnya kaku, tapi ia berusaha tetap manis.

“Kakak… jangan galak-galak gitu, dong. Aku cuma mau ngajak Kakak nemenin aku ke pesta ulang tahun sahabatku. Yah... walaupun aku cuma saudara tiri, kita tetap keluarga, kan?” ucap Agnes, manja, sambil menyentuh tangan Mia dengan penuh rekayasa.

Mia mendengus, menepis halus sentuhan itu. “Aku bilang tidak. Aku capek. Jadi tolong, jangan ganggu waktu istirahatku.”

Agnes memasang wajah memelas. “Kak, please…”

“Aku bilang TIDAK ya, berarti TIDAK!” bentak Mia, hendak menutup kembali pintu kamarnya.

Namun tiba-tiba…

“STOP, MIA!”

Suara berat dan tegas Pak Jerry membelah suasana. Ia berdiri di ujung lorong, wajahnya tegang.

“Mia, kamu tidak boleh bersikap seperti itu pada adikmu,” tegurnya tajam.

Mia mendesah, berusaha menahan gejolak dalam dadanya.

“Papah cuma minta kamu menemaninya sekali ini saja. Siapa tahu... dengan kalian pergi bersama, hubungan kalian bisa membaik,” lanjut Jerry, nadanya mengandung tekanan.

Mia menatap ayahnya dalam diam. Lalu tatapannya beralih ke Agnes—yang kini pura-pura tersenyum manis, seolah tak ada niat busuk tersembunyi di balik ajakannya.

“Baiklah,” ucap Mia akhirnya, dingin. “Hanya malam ini. Setelah itu, jangan pernah berharap aku buang waktuku untuk hal-hal yang tidak berguna.”

Agnes tersenyum puas. Jerry mengangguk senang. Tapi Mia? Ia menutup pintunya pelan... dan menghela nafas panjang.

Beberapa menit kemudian, Mia keluar dari kamarnya. Ia mengenakan pakaian sederhana namun tetap elegan—rok panjang berwarna gelap dan atasan lengan panjang, ditambah make up tipis yang menonjolkan kecantikannya yang alami.

Agnes melirik sekilas, lalu tersenyum miring. “Kakak ternyata masih bisa tampil menarik juga,” ujarnya, penuh sindiran terselubung.

Mia hanya melirik dingin. “Aku tidak berdandan untuk menyenangkan siapa pun.”

Kini, dua saudari tiri itu berjalan keluar rumah bersama. Tapi bukan kedamaian yang menanti malam itu…

Melainkan permulaan dari sebuah rencana licik—yang satu sadar… dan yang satu masih terluka.

More Chapters