LightReader

Chapter 2 - Chapter 2

BAYANG-BAYANG NAGA.

Senja di kota Jakarta, penih dengan pemandangan kota yang mulai menyala.

Cahaya oranye memantul melalui jendela kaca gedung-gedung, menciptakan suasana tegang namun indah.

Kembali ke ruangan Direktur Utama XQO Holdings, pria itu duduk di mejanya setelah rapat rutin.

Dia menatap dokumen akuisisi Anihc yang disebutkan Malaka, seorang broker saham dan informasi terpercaya.

Dokumen itu mulai dingin setelah tidak sentuh sama sekali oleh tangannya.

Dia masih merenung dengan tatapan kosong, memutar pena di tangannya, tanda bahwa ketegangan batin yang mulai ia rasakan.

Pikirannya kini terbagi antara pekerjaan dan Lyna, yang tadi pagi menangis dalam pelukannya.

Pekerjaan yang melelahkan namun harus tetap ia lakukan, kontras dengan seorang putri angkat kecil yang selalu menangis ketika bertemu dengannya.

Pikirannya saat ini dihantui oleh kenangan masa lalu tentang bagaimana dia mengadopsi Lyna dari panti asuhan Kasih Sayang.

"Rey, Grace, kenapa kalian berpulang terlalu cepat, meninggalkan seorang putri di dunia penuh penderitaan nan kejam ini," pria itu mencekram erat pena hitam sambil mengingat kawan masa lalunya.

"Kalian tahu, perusahaan kalian dihancurkan dari dalam, rumah kalian terbakar tak bersisa," katanya dengan menghela nafas, "kupikir nasib sial kalian akan berhenti di situ namun takdir berkata lain."

Pria itu berdiri menatap ke bawah, beberapa kendaraan mulai melaju pulang, "putri kalian yang baru berumur satu tahun, entah bagaimana ia selamat dari kebakaran dan berakhir di panti asuhan yang aku danai."

Sebuah foto tiga sosok dengan pakaian sekolah menengah atas terlihat dari wallpaper handphone pria itu, entah kenangan atau masa lalu yang tidak bisa ia hilangkan.

Dia beralih menatap wallpapernya, kenangan masa lalu yang penuh kebahagiaan kembali, "kita dulu berjanji untuk menaklukan dunia bersama, namun kalian meninggalkan aku terlebih dahulu, menyisakan dunia ini untuk aku taklukan seorang diri."

Pria itu menghela nafas panjang, tidak meneteskan air mata, hanya perasaan menusuk yang selalu ia bawa kemanapun ia melangkah pergi.

"Kalian tenanglah di alam sana, putri kalian aman bersamaku," katanya sambil duduk kembali di kursi hangat, "aku tidak berjanji untuk membalas dendam pada mereka yang menghancurkan kalian berdua, tapi impian kita akan aku wujudkan dengan caraku sendiri."

Ruangan kembali hening setelah pria itu diam tak bersuara, kontras dengan luar gedung yang penuh dengan suara berisik kendaraan yang lalu lalang menyusuri jalanan.

Pada saat yang sama, lorong kantor XQO Holdings kini terdengar suara ramai, di dekat ruang Seketaris Tysa, Tysa masih fokus menatap laptopnya.

Suasana sibuk dengan karyawan yang hendak pulang sore ini mulai terdengar menyusuri lorong.

Telepon perusahaan di ruangan Tysa berdering ringan, ia mengangkat telepon, "dengan Seketaris Tysa di sini, ada yang bisa saya bantu?" Tanya wanita itu dengan nada lembut seperti kulitnya.

"Ke ruanganku sekarang, Nona Tysa," terdengar suara berat yang nampaknya dari seorang pria.

Tysa mengenali suara itu, lebih dari siapapun di gedung ini, "baik, Tuan Direktur. Saya akan segera menuju ruangan anda," katanya dengan tenang.

"Terima kasih, Nona Tysa," kata pria itu sebelum menutup teleponnya.

Tysa menghela nafas, "lembur lagi malam ini," ia kemudian berdiri, melangkah keluar dari ruangannya, "tugas seketaris memang berat, dulu lebih baik ambil hukum saat kuliah."

Seketaris Tysa kini dipanggil lagi ke ruangan Direktur Utama XQO Holdings, setelah siang tadi ia dipanggil untuk menyampaikan jadwal sang Direktur, entah apa yang diinginkan olehnya kali ini.

Dalam perjalanan, dia menerima pesan misterius di ponselnya, berisi kode singkat, "Naga ke tujuh telah bangkit, siapkan dirimu, Nona Tysa Alvred."

Dia menatap sekeliling, memastikan tidak ada yang melihatnya, ia kini terlihat gelisah tapi menyembunyikan sesuatu, saat ia hendak masuk ke ruangan Direktur Utama.

Tysa mengetuk lirih pintu ruangan, "masuk," sebuah suara terdengar ke telinganya dari dalam ruangan, ia membuka pintu dan masuk.

"Silakan duduk, Nona Tysa," kata seorang pria yang berada di depan Tysa.

Tysa pun mengangguk ringan, ia duduk di sebuah kursi hangat dengan melipat pelan kakinya dan pria itu menatap tajam matanya.

Tysa memainkan jari tangannya agar tidak terlihat mencurigakan, "ada apa, Tuan Direktur?" Tanya dia pada pria di depannya.

"Aku ingin kau menyelidiki Malaka lagi, apakah dia punya alasan lebih jauh untuk menawarkan akusisi perusahaan Anihc daripada yang ia katakan," kata pria itu dengan nada tenang.

Tangan kiri Tysa terangkat, menyentuh kacamata rabun jauhnya, "baik, Tuan Direktur. Saya akan laksanakan perintah anda," ucapnya dengan begitu mantap.

Direktur Utama XQO Holdings saat ini meminta Tysa menyelidiki Malaka lebih dalam, mencurigai broker saham dan informasi itu punya agenda tersembunyi.

Tysa setuju dan bersiao melaksanakan perimtahnya, tapi ada ketegangan halus dalam sikapnya, seolah dia tahu lebih banyak dari yang dia ungkapkan.

"Namun apakah sembilan naga ada di balik ini semua, Tuan Direktur?" Tysa secara tidak sengaja menyebutkan "sembilan naga" dalam pembicaraan dengan Direktur Utama.

Yang membuat pria itu menatap Tysa penuh curiga.

"Kau tahu darimana, jika ini semua berhubungan dengan sembilan naga, Nona Tyea?" pria itu menekan Tysa untuk menjelaskan apa maksudnya menyebut sembilan naga.

Tysa menggeleng pelan, "saya tidak bermaksud sesuatu, Tuan Direktur," tapi Tysa mengelak dengan alasan, "hanya rumor bisnis, yang saya tidak salah dengar di antara karyawan."

"Baiklah kalau begitu, silakan kembali ke ruangan anda, Nona Tysa," kata pria itu seolah tidak ingin menggali lebih dalam darimana Seketarisnya tahu soal sembilan naga.

Tysa mengangguk hormat pada pria itu, "terima kasih, Tuan Direktur," dia kemudian berdiri dan melangkah keluar dari ruangan tersebut.

Pria itu menatap punggung Tysa yang mulai meninggalkan ruangan.

Kisah beralih ke gudang terbengkalai di pinggiran Jakarta, dimana bulan menampakan dirinya.

Suasana gelap mulai menutupi bangunan itu, hanya diterangi lampu neon yang berkedip.

Dua sosok kini berhadapan satu sama lain, menciptakan suasana tegang namun khidmat.

Malaka, seorang broker saham, informan terpercaya elite dari seluruh penjuru negeri.

Dia bertemu malam ini dengan sosok di balik kekuatan Perseorangan Terbatas Vylare, seorang pria tua dengan reputasi licik bernama Surya Wijaya.

"Tuan Wijaya, senang bertemu anda," Malaka menjabat tangan Direktur Utama Vylare dengan senyuman halus mencoba menyembunyikan sesuatu.

"Aku juga senang bertemu denganmu, Malaka," kata Surya dengan tenang, "katakan informasi yang kau miliki."

Malaka mengangguk, "kami memiliki sebuah informasi yang belum muncul ke permukaan saat ini," katanya sambil menatap cahaya lampu.

"Apa itu?" Tanya Surya yang semakin penasaran dengan informasi yang ingin diberikan oleh Malaka.

Malaka kini menatap Surya, "namun, Tuan, juga mengetahui kami menjual informasi sesuai dengan harga," katanya sambil memainkan jari tangan.

"Baiklah, itu mudah bagi Surya Wijaya," ucapnya dengan nada congkak, "sekarang katakan apa informasi yang kau punya?"

Malaka kemudian mendekat ke telinga Surya, dia menawarkan informasi rahasia tentang Anihc, mengungkapkan bahwa perusahaan itu menyimpan teknologi kunci yang bisa mengubah pasar energi digital.

Surya melotot ke arah depan, "apa ini akurat, Malaka?" Tanya dia memastikan kebenaran.

"Tuan Wijaya, bisa tenang, karena informasi dari kami bisa dipercaya," kata Malaka dengan senyum lebar seperti bulan sabit malam ini.

Dalam hati Malaka ingin memanipulasi Surya untuk menawar Anihc lebih cepat dari XQO Holdings mendapat perusahaan itu terlebih dahulu.

Namun Surya bukan orang bodoh yang mudah tertipu, ia curiga, "berikan buktinya, kalau tidak ada bukti, lidahmua akan aku potong," dia meminta bukti sekaligus mengancam broker itu.

Malaka berdiri, ia melangkah pelan meninggalkan Surya, "tunggu sebentar, Tuan Wijaya. Akan saya bawakan bukti," katanya.

Surya Wijaya hanya mengangguk namun hatinya masih dipenuhi oleh kewaspadaan.

Malaka kembali, dan ia menunjukkan dokumen curian dari XQO Holdings, yang entah bagaimana dia dapatkan.

Malaka menyebutkan bahwa "sembilan naga adalah aliansi rahasia perusahaan-perusahaan besar di Indonesia yang dulu menguasai ekonomi, tapi kini tercerai-berai. Anihc adalah salah satu "naga" yang jatuh," kata dengan begitu mantap.

Surya menatap lama dokumen itu, ia memastikan bahwa ini bukanlah informasi palsu, "sembilan naga ya, menarik. Berapa yang kau inginkan dari informasi ini, Malaka?" Tanya Direktur Utama Vylare pada Malaka.

"Dua milliar untuk uang mukanya, Tuan Wijaya," kata Malaka sambil tersenyum, "tambahkan satu milliar setelah anda berhasil mengakusisi perusahaan Anihc."

Surya menatap wajah Malaka yang penuh topeng, "baiklah," katanya singkat namun penuh arti.

Mereka berdua menjabat tangan setelah kesepakatan mereka tercapai, "senang berbinsis dengan anda, Tuan Wijaya," kata Malaka dengan nada sedang.

"Aku juga, Malaka," sahut Surya, "katakan lagi jika kau memiliki informasi lain, apalagi soal sembilan naga."

Malaka mengangguk ringan, "baik, Tuan Wijaya. Kami akan memberi tahu anda saat kami mempunyainya," katanya dengan suara tenang.

Surya Wijaya segera meninggalkan gudang itu, setelah kesepakatannya dengan Malaka selesai.

"Ini baru awal, dan bersiaplah untuk hancur XQO Holdings," Malaka tertawa keras, yang membuat beberapa buluk kudu anak buahnya menegang.

Bulan sabit menyaksikan di antara gemerlap bintang malam ini.

Angin menderu pelan di sebuah apartemen mewah milik keluarga Taksaka di Jakarta, malam hari.

Suasana hangat dengan dekorasi minimalis tapi elegan menghiasi apartemen itu.

Direktur Utama XQO Holdings pulang ke tempat dimana tidak ada tanggung jawab melelahkan.

Dia membuka pintu apartemen, matanya menemukan Lyna sedang menggambar di ruang tamu, ditemani oleh pengasuh yang ia pilih.

Lyna berlari mendekat, saat ia melihat Ayah Angkatnya kembali, "selamat datang, Ayah Angkat," katanya dengan senyum lebar.

Pria itu menangkap putri angkatnya dalam pelukan penuh kehangatan.

"Apa yang kau gambar itu, Sayang?" Dia bertanya setelah sebuah gambar dibawa oleh Lyna.

Anak itu menunjukkan gambar sebuah keluarga, "lihat ini, Ayah Angkat," katanya sambil ternyum."

Lyna melanjutkan, "ini aku, Ayah Angkat, dan kedua orang tuaku yang belum pernah kulihat.

Pria itu tersentuh hampir meneteskan air mata, tapi juga tersiksa oleh kenangan akan masa lalu.

Lyna kemudian bertanya, "kenapa ayah angkat selalu sibuk dan jarang pulang. Aku kesepian karena hanya ada bibi pengasuh," katanya sambil melirik ke wanita yang bediri di depan pria itu.

Pria itu berkata, "Ayah berjanji akan meluangkan waktu ke depannya."

"Janji, ya?" Sahut Lyna yang penuh semangat.

tapi teleponnya berdering, sebelum ia sempat berjanji, "sebentar ya, Sayang."

Dia kemudian menyerahkan Lyna kepada pengasuhnya, "jaga sebentar dia, Jane," katanya.

"Baik, Tuan," jawab Jane dan mengendong Lyna.

Pria itu kemudian mengangkat teleponnya, sebuah panggilan darurat dari Raka tentang kebocoran informasi di XQO Holdings.

Pria itu terpaksa meninggalkan Lyna lagi, membuat anak itu sedih dan cemberut.

"Maafkan Ayah, Sayang."

"Tapi, Ayah Angkat..."

Pria itu kemudian mendekat mencium kening putri angkatnya, "Ayah janji ini yang terakhir, Sayang. Jaga dia, Jane."

"Ayah, jangan pergi..."

"Baik, Tuan. Tidak apa-apa, Nona Muda. Bibi ada di sini," kata Jane menenangkan Lyna.

Pria itu kemudian melangkah dengan berat pergi meninggalkan keluarga kecilnya.

Cerita beralih ke kantor Direktur Utama XQO Holdings, di tengah malam yang penuh kesunyian. Suasana sepi, hanya lampu meja yang menyala.

Kepala Pejabat Informasi—Raka datang ke ruangan Direktur Utama dengan sebuah laporan mendesak.

"Ada bukti bahwa seseorang di dalam XQO membocorkan dokumen rahasia ke Malaka, Tuan Direktur," kata Raka kepada pria di depannya.

Raka kemudian menunjukkan sebuah data yang menuding Elizabeth, Direktur Keuangan.

"Wanita itu selalu tertarik pada uang, setiap kali aku berbicara dengannya," sambung Raka.

Pria itu berkata, "ada bukti lain yang lebih kuat, Tuan Raka?"

Raka menggeleng ringan, "tidak ada, Tuan Direktur. Hanya sebatas ini saja yang kami dapatkan," katanya dengan nada rendah.

"Baiklah, terima kasih atas kerja kerasmu hari ini, Tuan Raka," kata pria itu penuh dengan pujian pada Kepala Pejabat Informasi XQO Holdings.

Raka mengangguk hormat, "kalau begitu, saya permisi, Tuan Direktur," katanya dengan nada rendah.

"Silakan, Tuan Raka. Berhati-hatilah di bawah, kudengar gedung ini berhantu," ucap Pria itu setengah bercanda.

"Tuan Direktur, bisa saja," ucap Raka mendengar gurauan direktur utamanya.

Keduanya kemudian tertawa ringan, Raka pun meninggalkan ruangan Direktur Utama dan menuju ruangannya di lantai bawah.

Pria itu menatap ruangannya yang kembali sunyi, dia juga harus memutuskan apakah akan konfrontasi dengan Elizabeth sekarang atau menunggu bukti lebih kuat.

"Maafkan aku, Sayang. Sepertinya aku tidak akan pulang malam ini," gumamnya.

Sambil meminum air putih, dia menyadari bahwa akuisisi perusahaan Anihc bisa gagal jika dia tidak bertindak cepat dan mengambil keputusan malam ini.

Jendela besar di kantor Direktur Utama, kini dipenuhi dengan pemandangan indah kota Jakarta yang berkilau di malam hari.

Pria itu sedang menatap jauh kota Jakarta, dia masih memikirkan putri angkatnya—Lyna, XQO Holdings yang sudah ia besarkan, dan ancaman dari Malaka tentang mengaksusi perusahaan Anihc.

"Jakarta, kota indah yang selalu mempunyai kejutan, tak pernah membosankan melihat keindahanmu malam ini, kawan."

Dia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang, "Kita harus selesaikan ini sekarang, sebelum naga lain bangkit."

"Dimengerti, Tuan," jawab seseorang dengan suara berat, "kami akan membereskannya besok."

Pria itu kemudian menatap sebuah buku lama yang selalu menemaninya, "terima kasih."

Ia menutup panggilan, kembali duduk di kursinya, memutar pena sambil otaknya bekerja seperti biasa.

Bulan sabit hanya menatap dari atas gedung XQO Holdings.

To be continue.

More Chapters