LightReader

Chapter 7 - Bab 7

Pagi itu, langit Kota belum sepenuhnya bersih dari sisa hujan malam tadi. Daun-daun basah bergoyang ringan diterpa angin pagi, dan jalanan tampak sedikit lengang. Nina berdiri di halte kecil dekat apartemennya, menunggu bus kota yang biasa ia tumpangi ke kantor.

‎Ponselnya menunjukkan pukul 07.24. Sedikit terlambat dari biasanya. Tapi Nina tidak terburu-buru. Ada ketenangan aneh yang ia rasakan sejak bangun tidur—entah karena udara yang lebih sejuk, atau mimpi yang ia sudah lupa isinya tapi meninggalkan jejak hangat.

‎Ia mengeluarkan earphone, menyambungkan ke ponsel dan memutar playlist favoritnya. Lagu lama mengalun, dan untuk sejenak, dunia terasa sunyi.

‎Sampai suara motor terdengar terdengar dari arah belakang.

‎Brummm.

‎Nina menoleh pelan. Motor classic hitam itu berhenti tepat di dekat halte. Si pengendara melepas helmnya, dan butuh waktu dua detik sebelum Nina sadar siapa yang berdiri di depannya.

‎**Dia.**

‎Pria yang sama yang pernah ia temui di minimarket dan di café waktu itu. Masih dengan pakaian serba gelap. Masih dengan ekspresi yang sulit ditebak. Tapi matanya—mata itu tak berubah: tenang dan tajam, seperti menyimpan sesuatu yang tak bisa dibagi.

‎Mereka saling tatap beberapa detik.

‎Lalu, Chio tersenyum tipis. "Kamu lagi."

‎Nina menahan senyum. "Kamu juga."

‎"Kayaknya kita sering kebetulan ya."

‎"Kalau empat kali berturut-turut, itu masih kebetulan?" tanya Nina sambil menaikkan satu alis.

‎Chio mengangkat bahu ringan. "Mungkin semesta bosen lihat kamu berangkat sendiri terus."

‎Nina tertawa kecil.

‎"Naik bus lagi?" tanya Chio.

‎"Iya. Lagi malas bawa kendaraan."

‎Chio melihat ke arah jalanan. Tak ada bus terlihat dari kejauhan.

‎"Kalau kamu?" tanya Nina.

‎"Ada urusan dekat sini. Sekalian lewat."

‎Mereka diam sejenak. Tak canggung, tapi seolah keduanya masih menimbang jarak. Nina mengedarkan pandangannya, lalu berkata, "Kopi pagi di café waktu itu… enak juga, ya."

‎Chio menoleh, lalu mengangguk. "Kalau kamu ke sana lagi, mungkin aku bisa traktir."

‎Nina menatapnya, terdiam. Tawaran itu tidak terdengar seperti ajakan yang terburu-buru. Lebih seperti—sebuah jendela kecil yang dibuka sebentar, lalu bisa tertutup kembali kapan saja.

‎"Kalau kamu enggak sibuk dengan 'urusan dekat sini' itu," balas Nina ringan.

‎Chio hanya tersenyum. Ia ingin bilang bahwa 'urusan'-nya hari ini adalah mengatur pergerakan anak buahnha untuk mengunci tiga gudang milik Reo di selatan. Tapi tentu saja tidak. Yang ia katakan hanya, "Aku selalu bisa sisihkan waktu untuk kopi."

‎Bus mulai terlihat dari kejauhan. Nina bersiap.

‎"Jadi, mungkin sampai ketemu lagi?" katanya sambil melangkah ke tepi jalan.

‎Chio mengangguk. "Atau semesta yang bakal atur itu lagi."

‎Nina naik ke dalam bus. Dari jendela, ia sempat melihat pria itu memasang kembali helmnya dan melaju—menghilang lagi ke arus jalanan kota.

‎‎Tiga jam kemudian, Chio berdiri di lantai dua sebuah ruko yang sudah lama tutup. Dari jendela, ia bisa melihat bangunan gudang di seberang jalan. Bas berdiri di sampingnya, sedang berbicara melalui alat komunikasi kecil.

‎"Pasukan kita sudah siap. Pras juga sudah di posisi," kata Bas.

‎Chio hanya mengangguk, pandangannya tajam.

‎"Mereka masih belum tahu kita sudah pegang dua orang mereka dari dalam. Reo pikir semua ini cuma sabotase biasa."

‎"Dan kita buat dia terus berpikir begitu," sahut Chio. "Biarkan dia buang semua kartunya dulu."

‎Bas menyeringai. "Tapi waktu terus mepet. Apa kita mulai hancurin sekarang?"

‎Chio menatap jam tangannya. "Mulai dari titik selatan. Biarkan yang tengah tetap hidup… untuk umpan."

‎Sementara itu, Nina baru saja sampai kantor. Ia duduk di ruangannya, masih memikirkan pertemuan singkat tadi pagi. Ada sesuatu yang membuat hatinya terasa aneh—bukan bahaya, tapi semacam… kedalaman. Seolah pria itu menyimpan cerita yang tak bisa disampaikan dengan kata.

‎"Aku bahkan belum tahu namanya," gumam Nina sendiri.

‎Tiba-tiba Rani masuk dengan dua kopi di tangan. "Kamu dapat kabar? Katanya di daerah selatan tadi ada gudang meledak."

‎"Gudang apa?"

‎"Entahlah. Katanya tidak jelas fungsinya. Polisi masih nyelidiki. Tapi beberapa orang bilang itu tempat penyimpanan ilegal."

‎Nina mengernyit. "Kayaknya akhir-akhir ini sering kejadian kayak gitu, ya?"

‎Rani duduk. "Iya. Tapi kita kan cuma orang kantoran. Nggak usah ikut pusing."

‎Nina mengangguk pelan. Tapi di dalam pikirannya, sesuatu mulai merangkai… seperti puzzle kecil yang belum lengkap.

‎Dan tanpa sadar, ia mengingat kembali satu hal: pria itu—Chio, meski ia belum tahu namanya—selalu muncul di tempat yang sama sebelum hal-hal aneh terjadi.

‎Tapi untuk sekarang, Nina mengusir pikiran itu.

‎**Dia hanya pria misterius dengan motor classic dan tatapan dingin. Tidak lebih.**

‎Sore itu, Chio kembali ke markas utama. Ia melepas jaketnya dan duduk di kursi di ruangan yang hanya dimasuki segelintir orang. Pras datang tak lama kemudian, menyerahkan berkas dan laporan.

‎"Target di selatan selesai. Yang tengah hanya soal waktu."

‎Chio membuka catatan itu, membaca singkat. "Bagaimana dengan pergerakan Reo?"

‎"Dia mulai curiga. Tapi dia belum tahu kita sudah punya mata di pusatnya."

‎Chio mengangguk. Lalu, tiba-tiba ia berkata, pelan, "Hari ini aku ketemu dia lagi."

‎Pras mengerutkan kening. "wanita itu?"

‎"Ya."

‎"Dia sudah mulai curiga?"

‎Chio menggeleng. "Tidak. Dia masih... bersih. Aku ingin dia tetap seperti itu."

‎Pras diam sejenak, lalu berkata, "Tapi dunia ini nggak kenal kata 'tetap bersih', Chio."

‎Chio menatap ke luar jendela. Langit mulai mendung lagi.

‎"Maka kita jaga selama yang kita bisa."

More Chapters