Hujan turun deras malam itu, membasahi aspal yang memantulkan cahaya lampu jalan. Di sebuah gudang tua di pinggir kota, suara tembakan meledak memecah keheningan. Peluru bersiul, menghantam kayu, dinding, dan tubuh manusia. Aroma mesiu bercampur darah memenuhi udara.
"Jangan biarkan satu pun dari mereka keluar hidup-hidup!" teriak Bas , tangan kanan Chio, sambil berlindung di balik mobil van tua yang kini berlubang akibat tembakan.
Lima orang dari kelompok musuh tersudut di dalam gudang. Mereka adalah pengedar narkoba yang nekat menjual barang di wilayah Chio tanpa izin. Wilayah itu adalah milik Chio selama lebih dari satu dekade. Dan Chio bukan orang yang suka berbagi.
Tiba-tiba, langkah kaki berat terdengar dari belakang.
Semua orang menoleh. Seorang pria berpakaian dengan jas hitam , dengan wajah tenang yang menyeramkan, berjalan mendekat di bawah guyuran hujan. Wajahnya hanya disinari sesekali oleh kilatan petir—Chio telah tiba.
Tanpa berkata sepatah kata pun, ia mengangkat pistolnya dan menembak tepat ke kepala salah satu anggota musuh yang mencoba kabur melalui jendela belakang. Tubuh itu ambruk seketika.
"Mereka bernai berjualan di wilayahku . Itu penghinaan." ucap Chio dingin, suaranya tenang namun membawa ancaman maut.
Musuh gemetar. Mereka tahu, jika Chio sendiri sudah turun tangan, maka malam itu akan jadi malam terakhir mereka hidup.
Pagi itu, Nina bangun lebih siang dari biasanya. Alarm tak berhasil membangunkannya karena ponselnya mati semalaman. Dengan rambut acak-acakan dan kemeja yang belum sempat disetrika, ia berlari kecil ke minimarket terdekat. Ia butuh kopi instan, dan mungkin sedikit keberuntungan untuk menahan amarah bosnya nanti.
Minimarket masih sepi. AC menghembuskan udara dingin, dan suara musik pop lokal terdengar pelan dari speaker. Nina berjalan cepat menuju rak minuman, tanpa memperhatikan pria berpakaian gelap yang berdiri di depan rak camilan.
Pria itu sedang membaca label makanan ringan seolah benar-benar memikirkannya.
Tanpa sengaja, Nina menyenggol rak minuman. Beberapa kaleng kopi dingin jatuh dan berguling ke arah pria itu.
"Aduh! Maaf!" serunya panik.
Pria itu membungkuk dan memungut satu kaleng, lalu memberikannya padanya. Matanya tajam, tapi wajahnya netral. Ia tidak terlihat seperti orang biasa—tapi juga tidak terlihat mencurigakan. Hanya... terlalu tenang.
"Tidak apa-apa," jawabnya pelan. Suaranya dalam, tenang, hampir dingin.
Nina mengangguk canggung. "Terima kasih... Maaf ya, saya lagi buru-buru banget."
Ia berjalan menuju kasir, dan sempat melirik pria itu dari ujung mata. Ada sesuatu yang aneh. Pakaian serba hitam, sepatu kulit mahal, jam tangan elegan. Bukan tipe orang yang belanja di minimarket pukul 7 pagi.
Sementara itu, pria itu—Chio—diam menatap punggung Nina ,yang lari terburu-buru pergi dari sana , Ia memalingkan wajah dan mengambil sebungkus roti tawar.
Beberapa hari berlalu sejak pertemuan aneh itu di minimarket, dan Nina tak menyangka wajah pria asing itu masih teringat jelas di kepalanya. Bukan karena dia tampan—meskipun memang begitu—tapi karena caranya menatap. Seperti seseorang yang tahu banyak hal... tapi memilih diam.
Pagi itu, seperti biasa, Nina terlambat lagi. Kali ini bukan karena alarm, tapi karena laporan kantor yang membuatnya begadang. Matanya berat, dan kopi di kantin kantor rasanya seperti air rendaman arang.
Saat istirahat siang, ia keluar kantor untuk mencari kafe kecil yang tenang, berharap bisa recharge sedikit tenaga.
Dan di sanalah dia.
Pria itu.
Duduk sendiri di pojok kafe, menatap jendela sambil sesekali menyeruput espresso. Pakaian serba hitam lagi. Sikapnya masih sama—tenang, tidak banyak bicara, dan sedikit terlalu "rapi" untuk sekadar pelanggan biasa.
Nina ragu-ragu. Tapi penasaran mengalahkan rasa kikuk.
"Kita ketemu lagi," ucapnya sambil tersenyum kaku.
Chio menoleh. Ada jeda singkat sebelum ia bicara. "Ternyata kau ingat aku."
"Yah..." jawab Nina, setengah bercanda.
Chio hanya tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya, senyum itu tidak terasa mengancam. Justru… hangat. Tapi tetap ada sesuatu di balik tatapannya yang membuat Nina merasa seperti dilihat tembus sampai ke dalam.
"Kau kerja di sekitar sini?" tanya Chio.
"Iya. Kantor asuransi. Nggak terlalu menarik." ucap Nina
"Kau tidak terlihat seperti pegawai asuransi."
Nina tertawa pelan. "Dan kamu tidak terlihat seperti... orang yang suka nongkrong di kafe murah seperti ini."
Chio mengangkat alis, sedikit terhibur.
"Mungkin kita berdua bukan seperti yang terlihat."
Kalimat itu membuat Nina terdiam sebentar. Ia menatap pria di depannya—pria asing yang bicara sedikit, tapi setiap katanya terasa seperti teka-teki.
Sebelum pergi, Chio berdiri dan meletakkan secarik uang di meja.
**"Sampai jumpa lagi, Nina."**
Nina mengerutkan kening. "Tunggu... Aku belum bilang namaku."
Chio menatapnya sejenak. "Kau sudah pernah bilang. Di minimarket."
Ia melangkah keluar, meninggalkan aroma kopi dan pertanyaan-pertanyaan yang mulai tumbuh di kepala Nina.
Pintu kafe berdering pelan saat pria itu pergi, menyisakan aroma kopi dan keheningan aneh yang menggantung di udara. Nina masih duduk di kursinya, memegang cangkir cappuccino yang perlahan mendingin.
Tangannya sedikit gemetar, meski ia sendiri tidak yakin kenapa.
"Kau sudah pernah bilang. Di minimarket."
Kata-kata pria itu terngiang lagi di kepalanya. Ia mencoba mengingat dengan jelas. Minimarket. Pagi. Kaleng kopi yang jatuh. Waktu itu dia panik dan nyaris tidak memperhatikan siapa pun. Tapi ternyata pria itu memperhatikan. Bahkan mengingat namanya.
Nina menggeleng pelan, mencoba menepis perasaan aneh yang muncul tiba-tiba. "Ini konyol", pikirnya. Mungkin pria itu hanya punya ingatan tajam. Atau... punya kebiasaan mengingat hal-hal kecil. Tapi entah kenapa, pertemuan itu tidak terasa biasa. Terlalu sunyi, terlalu tajam, terlalu... tidak biasa.
Ia menatap keluar jendela, berharap bisa melihat pria itu lagi di antara pejalan kaki. Tapi jalan sudah kosong. Hujan gerimis mulai turun, membasahi trotoar dan menyapu sisa debu kota.
Ia menghela napas panjang.
Bukan karena kecewa. Tapi karena perasaan aneh yang belum sempat ia beri nama.
"Siapa, sih, dia sebenarnya?" gumam Nina pelan.
Kopi di tangannya sudah hambar. Ia menyesapnya sekali lagi lalu berdiri, membereskan tas dan memungut map kerja yang sempat ia letakkan di meja. Saat hendak berjalan ke kasir, matanya menangkap sesuatu ,bungkus roti kecil di meja tempat pria itu duduk tadi.Masih utuh. Belum dibuka.
Ia berhenti sebentar. Ragu.
Lalu berjalan keluar kafe sambil menatap langit yang mulai menghitam.
Satu hal yang Nina tahu pasti: pertemuan tadi singkat, tapi meninggalkan bekas seperti jejak sepatu di pasir basah—pelan-pelan menghilang, tapi sulit benar-benar dihapus.