LightReader

Chapter 5 - Bab 5

Asap rokok memenuhi ruangan kecil di lantai dua sebuah gedung tua yang dijadikan markas oleh kelompok Reo. Lantai retak, cat mengelupas di dinding, dan suara musik dari bar di lantai bawah mengalun samar. Di tengah ruangan, Reo duduk di kursi kulit yang sudah sobek di beberapa bagian, memandangi meja dengan botol minuman keras setengah kosong dan tumpukan uang kotor.

‎Ketika pintu diketuk keras tiga kali, dia hanya melirik ke arah anak buahnya yang berjaga. Pintu dibuka, dan masuklah seorang pria dengan wajah penuh luka, kaki diseret, dan tubuh gemetar.

‎Reo berdiri perlahan, menyipitkan mata. "Kau satu-satunya yang kembali?"

‎Pria itu—Andrew—menelan ludah. "Iya, Bos…"

‎Reo mendekat. Suaranya tenang, tapi setiap kata terasa seperti ancaman. "Aku kasih tiga menit. Ceritakan semuanya. Kalau ada yang kau sembunyikan, kau lebih baik mati sekarang."

‎Andrew langsung berlutut. Napasnya berat. Luka di pelipisnya masih mengeluarkan darah kering.

‎"Bos… kami ditangkap. Saya, Yasa, dan Timo. Kami diseret ke gudang tua di wilayah utara. Dia ada di sana. Sendiri, cuma bawa satu orang."

‎"Chio?" tanya Reo pelan.

‎Andrew mengangguk cepat. "Iya. Dia nggak banyak bicara, Bos. Cuma dengar. Terus… nembak Timo. Begitu saja. Tanpa tanya, tanpa peringatan. Dada, perut, kepala. Seperti lagi latihan, Bos. Tanpa ragu sedikit pun."

‎Reza menatap anak buahnya dalam diam. "Yasa?"

‎"Ngaku. Dia panik. Cerita semuanya. Tapi tetap ditembak juga, Bos. Saya pikir saya juga bakal mati… tapi dia bilang, 'Satu orang harus kembali dan bawa pesan.' Lalu dia suruh anak buahnya buka ikatan saya."

‎Andrew mulai terisak.

‎"Dia suruh saya lihat sendiri mereka dikubur. Beneran, Bos. Mereka dikubur sambil diinjak-injak. Lalu saya dipukul, disuruh pergi. Dia… dia tidak marah. Tidak berteriak. Cuma tatapannya… saya belum pernah lihat orang seperti itu."

‎Reo duduk kembali. Diam. Wajahnya tak menunjukkan emosi.

‎Satu menit berlalu.

‎Dua.

‎Tiga.

‎Akhirnya ia bicara. "Jadi dia tahu ini ulahku."

‎Andrew mengangguk perlahan. "Saya yakin dia tahu. Tapi dia tidak menyebut nama Bos sama sekali. Tidak sekalipun."

‎Reo tertawa pendek. Tapi tak ada tawa di matanya.

‎"Jadi begitu cara dia balas. Tidak perlu kirim pasukan. Tidak perlu balas serangan besar. Dia cuma bunuh dua orang… dan buat satu kembali dalam keadaan seperti ini."

‎Ia meneguk minumannya. Wajahnya kini mulai menegang.

‎"Berapa lama dia membangun semua ini, ya?" gumamnya."

‎Ia menatap Andrew. "Kau tahu kenapa dia tidak bunuhmu?"

‎Andrew menggeleng.

‎"Karena dia tahu kau cukup penakut untuk menyampaikan rasa takut ini ke padaku. Itu lebih efektif dari sepuluh mayat."

‎---

‎Beberapa jam kemudian, Reo berkumpul dengan lima orang kepercayaannya di ruang belakang.

‎Di tengah meja, ada peta besar dengan wilayah distribusi. Beberapa jalur utama dilingkari merah. Wilayah utara milik Chio ditandai dengan tinta hitam—gelap, tebal, menekan batas yang mulai mereka dekati.

‎"Kita terlalu cepat," ujar Reo akhirnya.

‎Salah satu anak buahnya, Vino, menimpali, "Tapi kita sudah punya kaki di barat dan timur. Wilayah tengah hampir bisa kita pegang. Kalau kita mundur sekarang, kita kehilangan momentum."

‎Reo menggeleng. "Masalahnya bukan pada wilayah. Tapi siapa yang menjaganya."

‎Ia menatap peta. "Chio itu bukan orang biasa. Bukan seperti kita yang hanya mengandalkan otot dan senjata. Dia perang pakai otak. Pakai ketenangan. Dan dia tidak butuh banyak anak buah untuk membuat satu kota takut."

‎"Lalu… kita mundur?" tanya yang lain.

‎Reo tidak langsung menjawab.

‎"Tidak. Kita tidak mundur. Tapi kita ubah cara mainnya."

‎Ia menatap mereka satu per satu. "Kalau kita mau menguasai wilayahnya, kita tidak bisa hanya menyerang jalurnya. Kita harus hancurkan fondasi kepercayaannya. Anak buahnya harus mulai saling curiga. Harus ada yang berpikir Chio tidak sekuat itu. Harus ada yang ragu."

‎Seseorang mengangguk. "Kita sebarkan isu? Fitnah? Bayar orang dalam?"

‎Reo tersenyum tipis. "Kita main kotor. Tapi diam-diam. Dan kita harus temukan titik lemahnya. Semua orang punya titik lemah. Bahkan monster sekalipun."

‎---

‎Malam semakin larut. Reo berdiri di balkon belakang markasnya, menatap lampu kota yang tersebar jauh di bawah.

‎Ia tak bisa berhenti memikirkan satu hal: **tatapan dingin Chio** yang diceritakan Andrew.

‎Bukan karena takut. Tapi karena dia sadar—untuk pertama kalinya—dia sedang berhadapan dengan seseorang yang bukan sekadar kriminal.

‎**Chio bukan pemimpin kelompok mafia biasa . Dia bayangan yang menunggu untuk menelan siapa pun yang lengah.**

‎Dan kini Reo harus memastikan dia tidak menjadi mangsanya yang berikutnya.

Langit Kota mendung sore itu, seperti pertanda bahwa badai tak hanya datang dari langit—tapi juga dari bawah tanah. Di balik hiruk-pikuk kota, di sebuah gedung tua dengan lorong sempit, suara langkah kaki menyusuri tangga darurat dengan cepat tapi teratur.

‎Pras, lelaki berusia seumuran dengan Chio, melangkah mantap menuju ruangan rahasia di lantai empat. Tangannya memegang map hitam berisi foto, rekaman, dan laporan singkat yang cukup untuk membuat satu kelompok kriminal lumpuh dalam semalam.

‎Di dalam ruangan, Chio duduk di kursi menghadap jendela besar. Seperti biasa, ekspresinya tenang. Di satu sisi berdiri Bas, menunggu dengan tatapan penuh siaga.

‎"Masuk," ujar Chio tanpa menoleh, seolah sudah tahu siapa yang akan datang.

‎Pras masuk, berdiri tegak. "Aku baru pulang dari bar di daerah Slipi. Tempat itu markas kecil salah satu kaki tangan Reo. aku menyamar sebagai pengantar logistik. Sudah dua minggu aku bolak-balik ke sana."

‎Ia membuka map dan menyodorkannya ke Chio. "Dan ini hasilnya."

‎Chio membuka map itu perlahan. Di dalamnya ada foto pertemuan antara dua orang penting dari kelompok Reo. Salah satunya adalah Vino—orang kepercayaan Reo. Di meja terlihat skema jalur distribusi, dan salah satu dari lingkaran merah di peta menunjukkan titik penghubung antara wilayah Reo dan jalur lama Chio.

‎"Rencana mereka bukan serangan langsung," ujar Pras. "Mereka ingin menyusup. Memecah kepercayaan dari dalam. Menyebar isu. Menyerang psikologis anak buah kita. Bahkan ada rencana menyusupkan orang untuk mengganggu pengiriman logistik dari dalam."

‎Bas mendecih pelan. "Licik. Tapi bukan gaya Reo. Pasti ada yang bantu atur taktik ini."

‎Chio tidak bicara. Tangannya mengetuk map itu pelan, matanya menatap foto yang memperlihatkan wajah Vino sedang tertawa.

‎"Informasi ini sudah bocor ke siapa pun?" tanya Chio tenang.

‎Pras menggeleng. "Hanya aku yang tahu. Dan aku membawanya langsung kemari."

‎Chio berdiri, membalik badan menghadap mereka.

‎"Bagus. Maka kita akan hancurkan mereka sebelum rencana mereka sempat hidup."

‎Tiga malam kemudian.

‎Gudang kecil di pinggir pelabuhan tua meledak tiba-tiba, membakar puluhan kotak berisi senjata ilegal milik Reo. Tak berselang lama, dua truk pengangkut logistik milik kelompok Reo dihentikan di tol, sopirnya menghilang tanpa jejak. Isu cepat menyebar bahwa sopir-sopir itu telah dibayar untuk membocorkan jalur pengiriman Reo ke pihak luar.

‎Di tempat lain, salah satu anak buah Vino ditemukan tergantung di kamar kosnya, dengan catatan kecil bertuliskan: *"Aku tidak tahan ditekan untuk berkhianat. Maaf."*

‎Dalam 72 jam, tiga celah besar dalam tubuh organisasi Reo terungkap dan meledak di hadapan mereka sendiri.

‎Di ruangannya yang gelap, Reo menendang meja dengan brutal. "Ini bukan kebetulan! Sialan! Dia tahu—dia tahu semua langkah kita!"

‎Vino berdiri di sudut ruangan, wajahnya penuh peluh. "Saya pastikan tidak ada informasi yang bocor dari kita, Bos…"

‎"Tutup mulutmu!" bentak Reo. "Kita bahkan belum jalanin rencana penuh! Kita masih di tahap penggalangan! Tapi dia—dia sudah membalikkan semuanya!"

‎Salah satu orangnya masuk terburu-buru. "Bos… tempat penyimpanan kita… diserbu. Habis ."

‎Reo menatapnya tajam. "Sialan!"

‎‎Ruangan itu hening.

‎Untuk pertama kalinya, Reo merasakan rasa dingin merambat di punggungnya.

‎Sementara itu, di markas Chio yang tersembunyi di dalam kawasan pergudangan utara, tiga pria duduk dalam diam.

‎Chio menatap ke arah Pras dan Bas.

‎"Kalian lihat sekarang," ujarnya tenang. "Musuh yang paling berbahaya bukan yang menyerang dari depan. Tapi yang mencoba menyusup lewat bayangan."

‎Bas tersenyum. "Tapi mereka lupa… kita bukan berdiri di cahaya. Kita lahir dari bayangan itu."

‎Chio berdiri. "Pastikan jalur komunikasi kita bersih. Orang-orang Reo yang terlibat langsung sudah dilenyapkan. Sekarang saatnya bikin Reo bingung. Bikin dia curiga pada orang-orangnya sendiri. Biar dia yang menghancurkan keluarganya sendiri dari dalam."

‎Pras mengangguk. "Akan kami atur. Ada dua orang di dalam kelompok Vino yang bisa kita mainkan. Mereka pernah punya masalah uang."

‎Chio. "Bagus. Bantu mereka buat kesalahan. Tapi jangan terlalu cepat. Biar Reo berpikir mereka berkhianat."

‎"Dan setelah itu?" tanya Bas.

‎Chio memandang keluar jendela. Lampu kota berkelap-kelip seperti nyawa-nyawa yang belum tahu akan padam.

‎"Kita ambil napas mereka… perlahan."

More Chapters