Bab 1: Dentang Pertama
Langit sore mulai menggelap ketika Tama tiba di Desa Soko Jati. Udara di sana terasa berat, seolah waktu bergerak lambat. Ia datang bukan untuk berlibur, tapi untuk meneliti gua yang tak pernah muncul di peta modern—Gua Sukma Larung.
Penduduk desa menyambutnya dingin. Bahkan kepala desa hanya berkata satu kalimat saat Tama bertanya soal gua itu:
"Kalau dengar suara gamelan dari arah utara... tutup telingamu, Nak."
Tama mengabaikannya. Ia bukan penakut. Apalagi percaya dengan hal-hal mistis? Tidak.Tapi rasa ingin tahunya membawanya menyusuri hutan di hari keempat.
Dan di malam Jumat Kliwon—tepat saat kabut turun dan jangkrik terdiam—suara gamelan itu terdengar.
Bukan dari pengeras suara.Bukan dari pemukiman.
Tapi dari dalam tanah.
Tama mengikuti suaranya hingga tiba di depan gua—lubang hitam dengan udara dingin menusuk keluar.Di atasnya, terpahat tulisan tua:"Wani mlebu, ora bali."Berani masuk, takkan kembali.
Tama menyalakan senter. Menelan ludah. Lalu… melangkah masuk.
Dentang gamelan itu menguat.Namun nadanya tak merdu.Nadanya seperti… memanggil.