LightReader

Chapter 2 - BAB 2 – Ide Gila dari Sahabat

Beberapa hari setelah percakapan mereka di kafe, Rania tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Dimas. "Nikah aja sama aku."Empat kata sederhana itu terus mengiang, bahkan saat dia tengah mengetik laporan di kantor.

"Ran, lo kenapa sih bengong mulu? Klien udah nunggu, lho."Suara sahabat kantornya, Alya, membuyarkan lamunan.

"Oh! Sorry. Gue langsung ke ruang meeting," jawab Rania gugup, buru-buru mengunci layar laptopnya.

Namun bahkan di dalam ruang meeting pun, pikirannya tetap tidak fokus. Slide presentasi berlalu begitu saja. Wajah-wajah klien tampak buram. Yang jelas hanya satu: wajah Dimas, dengan senyum santai dan candaan gilanya yang, entah bagaimana, justru terasa sangat... masuk akal.

Malam itu, Rania akhirnya memberanikan diri membuka topik tersebut ke orang tuanya.

Di meja makan rumah keluarga Ardelia...

"Mama, Papa... aku udah pikirin soal perjodohan itu," ujar Rania pelan, suaranya sedikit gemetar.

Mama yang sedang menyendok sayur lodeh langsung menoleh. "Bagus dong. Akhirnya kamu sadar juga, Nak."

Papa mengangkat wajah dari korannya. "Kapan kamu mau ketemu calonnya?"

Rania menarik napas dalam. "Aku... nggak mau ketemu calon itu."

"Ran," suara Mama mulai tegang. "Jangan egois. Mama dan Papa nyari yang terbaik buat kamu."

"Aku tahu, Ma. Tapi aku udah punya pilihan sendiri."

Suasana meja makan seketika hening.

"Pilihan?" tanya Papa pelan.

Rania menggigit bibir. "Aku... mau nikah sama Dimas."

Suara sendok Mama jatuh ke piring. "APA?"

"Mas Dimas? Sahabat kamu itu?" Papa mengernyit.

"Iya. Kami udah saling kenal lama. Dia bukan orang asing. Kami nyaman satu sama lain," ujar Rania, mencoba terdengar meyakinkan padahal dalam hati dia sendiri masih ragu apakah ini benar-benar keputusan tepat.

Mama terlihat terkejut, tapi juga mulai mempertimbangkan. "Dimas... yang dulu sering main PS di rumah itu?"

"Iya," sahut Rania sambil tertawa canggung.

"Dia kerja apa sekarang?" tanya Papa.

"Fotografer. Freelance. Tapi dia tanggung jawab dan pekerja keras. Dia bahkan yang menyarankan ide ini duluan."

Mama dan Papa saling pandang. Lama.

"Apa dia serius?"

"Serius, Pa. Kalau Papa dan Mama mau, dia bisa datang langsung ngobrol."

Keesokan malamnya, Dimas datang.Berseragam rapi kemeja putih dan celana kain. Rambutnya disisir rapi, sepatu disemir, dan aroma parfumnya bahkan jauh lebih serius dari biasanya.

"Permisi, Om, Tante," sapa Dimas sopan, membungkuk kecil.

Mereka duduk di ruang tamu. Mama menyajikan teh. Papa duduk menatapnya seperti sedang menginterogasi calon pegawai negeri.

"Jadi, Mas Dimas," Papa membuka pembicaraan. "Benar kamu berniat menikahi anak saya?"

Dimas menatap lurus. "Benar, Om. Saya tahu hubungan kami selama ini hanya sebatas sahabat, tapi saya mengenal Rania lebih dari siapa pun. Dia perempuan yang baik, mandiri, dan saya yakin bisa menjadi istri yang hebat."

Papa mengangguk perlahan. "Apa kamu mencintainya?"

Rania terkejut. Itu pertanyaan yang bahkan belum dia tanyakan ke dirinya sendiri.

Dimas terdiam. Dia menatap Rania sejenak. Kemudian beralih pada Papa.

"Saya tidak tahu apakah yang saya rasakan saat ini bisa disebut cinta. Tapi saya tahu saya peduli padanya. Saya ingin melindunginya. Saya ingin membuatnya merasa aman. Dan kalau kesempatan ini diberikan, saya akan belajar mencintainya lebih dalam setiap harinya."

Suasana hening. Hanya terdengar detik jam dinding yang berdetak.

Mama meneteskan air mata pelan. "Jawaban kamu lebih jujur dari semua pria yang pernah dekat dengan Rania."

Papa akhirnya bersandar, menarik napas panjang. "Baiklah. Kami akan mempertimbangkan. Tapi ini pernikahan, Mas. Bukan mainan. Sekali kamu mulai, kamu harus bertanggung jawab penuh."

Dimas mengangguk yakin. "Saya mengerti, Om."

Malam itu, setelah Dimas pulang, Rania duduk di balkon kamarnya, menatap langit.

Pikirannya campur aduk. Antara takut dan lega. Antara ragu dan... bahagia.

Ia membuka ponsel, mengetik pesan:

"Terima kasih udah datang malam ini. Gila banget ya, kita beneran ngebahas nikah."

Tak lama kemudian, balasan masuk.

"Gila, iya. Tapi kalau kamu yakin, aku akan lebih gila lagi buat jagain kamu."

Rania tersenyum kecil. Dan untuk pertama kalinya dalam seminggu... hatinya terasa sedikit tenang.

More Chapters