LightReader

Chapter 8 - BAB 8 – Pertengkaran Pertama

Hari itu mendung. Tapi bukan langit yang gelap melainkan suasana hati Rania.

Sudah dua hari Dimas lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Alasannya, "banyak proyek foto yang butuh revisi dadakan." Tapi Rania tahu, bukan proyek yang membuat Dimas menjauh. Sejak malam di mana mereka nyaris jujur soal perasaan, ada jarak tak kasatmata yang mulai tumbuh di antara mereka.

Rania duduk di meja makan, menatap ponsel yang hanya menampilkan notifikasi grup kantor.

📲 [Mas Dimas, Online]Tapi tidak ada pesan masuk.

Dia ingin bertanya, "Kamu kenapa?"Tapi gengsi. Karena mereka masih bersandar pada satu kesepakatan awal: tidak saling jatuh cinta.Padahal semuanya sudah berantakan sejak mereka mulai peduli lebih dari sekadar sahabat.

Malamnya, Dimas pulang jam sebelas malam.Pintu apartemen dibuka pelan. Rania masih terjaga, duduk di sofa, mengenakan hoodie-nya sambil memeluk bantal.

Dimas menoleh. "Kok belum tidur?"

Rania menatapnya datar. "Kamu yang terlalu asyik di luar. Aku jadi susah tidur."

Dimas menghela napas dan melepaskan jaket. "Aku bilang kan, aku kerja."

"Kerja sampai tengah malam dan nggak balas chat?" suara Rania mulai meninggi.

"Ran, jangan mulai. Aku capek."

"Kalau kamu capek, aku juga. Aku capek nunggu kamu pulang setiap malam dan pura-pura nggak peduli."

Dimas berhenti melangkah. Tatapannya berubah.

"Aku nggak pernah minta kamu nunggu."

Kalimat itu seperti pisau.

Rania berdiri. "Lho, jadi salah aku karena peduli?"

"Bukan! Maksudku aku cuma... aku bingung, Ran. Kita ini apa sekarang? Teman? Pasangan? Kontrak? Cemburu boleh, nunggu boleh, tapi nggak boleh jatuh cinta? Aku... aku nggak tahu batas kita di mana lagi."

Rania mendekat. "Aku juga bingung, Mas! Tapi yang aku tahu, aku mulai merasa kehilangan setiap kamu pergi. Aku marah, aku takut. Dan aku benci perasaan ini karena... perasaan ini bukan bagian dari kesepakatan awal kita."

Dimas menatapnya, lama. Lalu berkata pelan, "Jadi kamu marah karena kamu mulai jatuh cinta?"

Rania terdiam. Matanya mulai berkaca.

"Aku marah karena kamu mulai menjauh. Karena aku butuh kejelasan, tapi kamu terus sembunyi."

Dimas mengusap wajahnya. Ia tampak lelah, tapi bukan karena fisik. Ada sesuatu yang ditahan lama.

"Ran... aku takut."

"Takut apa?"

"Takut merusak semuanya. Kita sahabatan lebih dari dua dekade. Kita tahu versi terburuk satu sama lain. Dan sekarang, kalau kita sama-sama jatuh cinta, lalu gagal... apa yang tersisa?"

Rania menggigit bibir. Air matanya jatuh pelan.

"Mungkin... yang tersisa adalah keberanian buat jujur. Karena yang lebih menyakitkan dari gagal... adalah pura-pura nggak pernah sayang."

Malam itu, untuk pertama kalinya, mereka tidur dalam diam.Punggung berhadapan, tak ada kata. Tapi hati keduanya sama-sama gaduh.

Dan ketika pagi datang, hujan turun tanpa suara.Seperti perasaan mereka yang mulai tumpah, tanpa tahu harus bagaimana merapikannya.

More Chapters