LightReader

Chapter 10 - BAB 10 – Tumbuhnya Perasaan

Hari-hari setelah malam kejujuran itu berubah.Tidak lagi dipenuhi sunyi. Tidak lagi dipenuhi gengsi.

Hubungan Rania dan Dimas mulai bergeser secara halus bukan lagi sekadar "teman yang menikah," tapi dua hati yang pelan-pelan menemukan rumah satu sama lain.

Bukan lewat kata cinta, bukan lewat pelukan hangat...Tapi lewat hal-hal kecil yang diam-diam membuat hati bergetar.

Pagi itu, seperti biasa, Rania sibuk di dapur menyiapkan sarapan sebelum berangkat kerja. Tapi kali ini, dia tidak sendirian.

Dimas datang sambil membawa speaker Bluetooth dan memutar lagu-lagu akustik favorit mereka.

"Aku bantu motongin bawang, ya," katanya sambil mengambil pisau.

"Kamu bisa? Terakhir kamu motong tomat aja bentuknya jadi segitiga," sindir Rania.

"Sekarang sudah berubah. Aku sudah resmi jadi suami. Harus naik level."

Rania tertawa sambil menyerahkan satu siung bawang.

Tapi beberapa detik kemudian...

"AWWW!" Dimas menarik tangannya dan menjatuhkan pisau. "Kepotong!"

Rania langsung panik. "Sini, sini! Aduh, kan udah dibilangin hati-hati."

Dimas cengengesan sambil menunjuk luka kecil di jempolnya. "Ternyata... luka karena masak itu lebih sakit dari luka karena mantan."

Rania mendesah, lalu mengambil kotak P3K.

"Sini, aku plesterin," katanya pelan.

Dimas menatap Rania yang sedang membalut jarinya dengan penuh hati-hati.

"Kenapa?" tanya Rania.

"Ran, kamu tahu nggak... kamu itu orang paling cerewet yang pernah aku kenal. Tapi sekarang, aku nggak bisa bayangin sarapan tanpa kamu ributin aku soal bawang."

Rania pura-pura cuek. Tapi wajahnya memerah.

Beberapa hari kemudian, saat hujan turun di sore hari, mereka duduk berdua di balkon apartemen.Dimas membawa dua gelas teh hangat, dan Rania menyelimutkan kaki mereka dengan selimut besar.

"Dulu aku suka hujan karena bisa ngumpet dari pelajaran olahraga," kata Dimas sambil memandangi langit kelabu.

"Kalau aku suka hujan karena waktu kecil, tiap hujan Papa suka nyuapin bubur kacang ijo."

"Sekarang kalau hujan, kita duduk begini aja berdua juga cukup, ya?"

Rania menoleh. Dimas tidak menatapnya. Tapi dari nada suaranya, ia tahu Dimas sedang jujur.

"Mas," bisik Rania. "Kamu pernah mikir... apa jadinya kalau kita nikah sama orang lain?"

Dimas terdiam sejenak. "Aku nggak tahu. Tapi aku rasa... aku nggak akan sering ketawa kayak sekarang."

Rania tersenyum, menatap hujan. Dalam hatinya, ia tahu: perasaan itu bukan lagi ilusi. Ia mulai mencintai Dimas bukan sebagai sahabat, tapi sebagai laki-laki yang setiap pagi menjerang air buat kopinya, dan setiap malam selalu memastikan pintu apartemen terkunci.

Malam itu, sebelum tidur, Dimas tiba-tiba berbicara sambil menatap langit-langit kamar.

"Ran," katanya. "Kalau suatu saat kamu benar-benar jatuh cinta ke aku... kamu bakal bilang?"

Rania menoleh, kaget. Ia tidak menyangka pertanyaan itu muncul malam ini.

Ia tidak menjawab langsung. Hanya tersenyum, lalu berkata,"Kalau saat itu tiba, aku harap kamu sudah siap nerima aku... bukan sebagai teman. Tapi sebagai perempuan yang benar-benar ingin tinggal."

Dimas terdiam. Tapi di balik diamnya, ada sesuatu yang berubah dalam sorot matanya.

Bukan rasa nyaman.Bukan rasa aman.Tapi... cinta yang mulai tumbuh, pelan-pelan, tapi tidak bisa dibendung.

More Chapters