LightReader

Chapter 15 - BAB 15 – Rania Pergi

Langit mendung, dan pagi itu lebih sepi dari biasanya.

Dimas terbangun di ruang tamu, masih dengan baju kemarin dan pikiran kacau. Di meja, foto USG yang ia genggam semalaman sudah lecek, sudutnya terlipat. Tapi matanya tetap tertuju ke gambar itu.

Satu titik hitam kecil dalam lingkaran putih.Anak mereka.

Bahkan hanya dari foto itu, Dimas sudah bisa merasakan betapa banyak yang berubah dalam hidupnya.Dan betapa bodohnya ia… telah abai saat perempuan yang ia sayangi paling membutuhkan dirinya.

Di dalam kamar, Rania berdiri di depan koper kecil. Ia tak membawa banyak hanya beberapa baju, skincare, dan dokumen penting. Tapi hati yang ia bawa… jauh lebih berat dari seluruh isi koper itu.

"Ran, kamu yakin?" tanya Alya di telepon.

"Aku nggak ninggalin, Ly," jawab Rania pelan. "Aku cuma… butuh ruang."

Ruang untuk bernapas.Ruang untuk menghilangkan rasa sakit.Ruang untuk memastikan: apakah Dimas benar-benar mencintainya, atau hanya merasa bertanggung jawab.

Saat Dimas bangkit dari sofa, ia mendapati kamar sudah kosong. Lemari setengah terbuka. Gantungan baju hanya tersisa jas Dimas dan dress pesta Rania yang terakhir dipakai saat acara kantor.

Di atas meja rias, ada secarik kertas.

"Aku ke rumah Mama untuk sementara. Jangan cari aku dulu. Bukan karena aku marah… tapi karena aku butuh tahu, apakah aku pantas diperjuangkan. – Rania"

Dimas terdiam. Tangannya gemetar. Matanya mulai basah.

"Kenapa kamu harus pergi... baru aku sadar betapa aku nggak siap kehilangan kamu?"

Di rumah orang tuanya, Rania disambut hangat oleh Mama dan Papa.

"Mama udah bisa nebak kamu nggak baik-baik aja," ucap Mama sambil mengelus kepala Rania yang tertidur di pangkuannya. "Tapi kamu berani datang. Itu yang bikin Mama bangga."

Rania tidak menjawab. Ia terlalu lelah untuk menjelaskan semuanya.

Malam itu, di kamar lamanya yang penuh dengan foto-foto SMA dan buku catatan lama, Rania menatap foto pernikahannya yang terbingkai rapi di meja.

Wajah Dimas tersenyum di situ. Satu tangan menggenggam erat tangan Rania. Mata mereka saling tatap.

Dan ia bertanya dalam hati:

"Kalau dia benar-benar cinta... apakah dia akan menjemputku?"

Sementara itu, Dimas melakukan hal yang tak biasa ia lakukan.Ia datang ke rumah Ibu. Ia bertemu adik perempuannya. Ia bahkan mendatangi makam ayahnya—tempat yang terakhir ia kunjungi 7 tahun lalu.

Di sana, ia berlutut. Tangannya menyentuh tanah basah.

"Aku mau berubah. Bukan karena rasa bersalah. Tapi karena aku nggak mau anakku nanti tumbuh tanpa tahu rasanya punya sosok ayah yang hadir."

Ia mengusap air matanya. "Aku akan kejar dia. Bahkan kalau dia bilang 'jangan cari aku dulu'… aku tetap cari. Karena dia rumahku."

Malamnya, Rania terbangun karena suara mobil di depan rumah. Ia melongok dari jendela… dan melihat Dimas berdiri di bawah gerimis.

Bukan bawa bunga.Bukan bawa cincin.Tapi membawa bingkisan kecil dan wajah penuh kesungguhan.

Rania turun, membukakan pintu. Tak ada kata sapaan. Hanya tatapan.

"Aku tahu kamu butuh waktu," kata Dimas. "Tapi aku juga tahu... aku nggak bisa lagi hidup tanpa kamu. Dan tanpa anak kita."

Ia menyodorkan bingkisan kecil itu. Rania membukanya.Isinya adalah… kaus bayi putih mungil.

Tulisan di depannya: "Made with love (and a little bit of kopi pahit)."

Rania tertawa di tengah tangisnya.

Dimas mendekat. "Aku belum jadi suami yang sempurna. Tapi kalau kamu mau... izinkan aku belajar. Dari nol. Dari kamu."

Rania menatap matanya. Lalu berbisik, "Aku pulang... kalau kamu berhenti lari dari rasa sayang itu."

Dimas mengangguk. "Aku nggak akan lari lagi."

More Chapters