LightReader

Chapter 21 - BAB 21 – Kehamilan yang Tak Terduga

Hari-hari berlalu dengan cepat.Perut Rania kini mulai terlihat jelas. Trimester kedua seharusnya jadi masa paling stabil dalam kehamilan—lebih sedikit mual, lebih banyak energi.

Dan benar saja, Rania kembali sibuk. Dalam satu minggu, ia terbang ke Surabaya untuk presentasi regional, lalu ke Bandung untuk pelatihan. Tapi di sela-sela semua itu, ia tetap pulang ke rumah. Ke Dimas. Ke tempat yang kini benar-benar ia sebut rumah.

Dimas pun belajar banyak. Mulai dari memijat kaki Rania, belajar masak MPASI (meskipun bayinya belum lahir), sampai ikut kelas yoga hamil online meski tubuhnya kaku seperti kayu.

Mereka tertawa lebih banyak. Berdebat lebih sedikit. Dan mencintai lebih dalam.

Hingga pada suatu pagi… semuanya mulai terasa berbeda.

Rania terbangun dengan rasa nyeri di bagian bawah perut.Awalnya ia pikir itu kram biasa, tapi nyerinya berulang—tajam, menusuk. Ia berjalan pelan ke kamar mandi… dan saat membuka celana dalam, ia melihat bercak darah.

Tangannya gemetar. Ia memanggil Dimas dengan suara parau.

"Mas…"

Dimas, yang sedang menyiapkan sarapan, langsung berlari. Melihat wajah pucat Rania dan noda di tangannya, ia langsung tahu: ini bukan sesuatu yang bisa diabaikan.

Di rumah sakit, dokter melakukan pemeriksaan USG cepat.

"Pendarahan ringan. Tapi kondisi kandungan agak lemah," kata dokter. "Kita perlu istirahat total untuk sementara waktu. Tidak boleh naik-turun tangga, tidak boleh stres, dan… mohon hentikan perjalanan kerja luar kota, Bu Rania."

Rania menunduk. Rahangnya menegang. Ia tahu, tawaran promosi kedua ke kantor pusat di Jakarta Selatan tinggal menunggu waktu. Tapi sekarang… prioritasnya berubah.

Dalam perjalanan pulang, Dimas memegang tangan Rania erat.Tak ada suara di antara mereka, hanya napas berat dan kekhawatiran yang mengambang di udara.

"Mas," kata Rania pelan. "Aku takut."

Dimas menoleh cepat. "Jangan, Ran. Aku di sini. Kita lewati ini bareng."

"Tapi aku… aku ngerasa gagal. Aku ngotot ngejar mimpi, aku pikir aku bisa seimbangin semuanya. Ternyata aku... lupa kalau tubuhku punya batas."

Dimas menggeleng. "Kamu nggak gagal, Ran. Kamu luar biasa. Dan sekarang pun, kamu tetap luar biasa—karena kamu mau istirahat buat jagain bayi kita."

Rania mulai menangis. "Aku ngerasa... kayak semuanya runtuh lagi."

Dimas menghentikan mobil di pinggir jalan, lalu memeluk Rania erat-erat di dalam mobil.

"Dengerin aku. Kalau kita harus mundur selangkah buat jaga satu sama lain, itu bukan kalah. Itu bijak. Aku lebih milih kamu dan anak kita sehat, daripada lihat kamu naik panggung promosi tapi tumbang."

Hari-hari berikutnya dihabiskan Rania di rumah.Ia belajar berhenti. Belajar istirahat. Belajar menerima bahwa mengalah bukan berarti menyerah.

Dimas, seperti biasa, jadi pelindung terbaik. Ia menyulap ruang kerja menjadi "ruang santai ibu hamil", lengkap dengan bantal, aromaterapi, dan bahkan speaker mini buat playlist klasik favorit Rania.

Kadang Dimas bekerja di sisi ranjang, sambil menggenggam tangan Rania ketika kontraksi palsu datang.

"Mas," tanya Rania suatu malam. "Kalau nanti aku nggak bisa kerja kayak dulu lagi… kamu kecewa nggak?"

Dimas mencium keningnya. "Aku nggak pernah mencintai kamu karena jabatanmu. Aku mencintai kamu… karena kamu Rania. Dan kamu selalu cukup."

Kehamilan mereka mungkin tidak sempurna.Tapi cinta mereka… akhirnya mengerti satu hal:Bahwa bertahan bukan soal seberapa besar langkah yang diambil.Tapi seberapa kuat mereka saling menopang saat yang satu harus berhenti sejenak.

More Chapters