LightReader

Chapter 23 - BAB 23 – Lahir Sebelum Waktu

Hari itu, langit tampak seperti biasa. Tenang, bahkan sedikit cerah.

Rania sudah mulai stabil. Kontraksi palsu berkurang, dan dokter memutuskan untuk memperbolehkannya pulang ke rumah dalam dua hari jika kondisi tetap membaik.

Dimas membawa camilan favorit Rania—puding roti buatan rumah sakit yang entah kenapa selalu membuat istrinya tersenyum.

"Aku kayak pasien manja ya," kata Rania sambil menyeruput air putih.

"Kamu bukan pasien. Kamu rumahnya anak kita. Jadi harus dijaga."

Rania tertawa kecil, menepuk tangan Dimas. "Kamu makin pintar ngomong."

"Karena aku murid dari ibu guru paling cerewet sedunia," jawab Dimas sambil mengedip.

Mereka mengira, itu akan jadi hari biasa.Sampai malam datang… dan semuanya berubah.

Pukul 01.40 dini hari.

Rania terbangun karena rasa basah yang aneh di bawah tubuhnya. Ia mengira hanya pipis tak sadar—hal yang biasa di trimester akhir.

Tapi saat membuka selimut, matanya membelalak.

Kasur rumah sakit basah. Dan bukan karena air biasa.Air ketuban.

"Mas…" Rania mengguncang tubuh Dimas yang tertidur di sofa kecil. "Mas… aku pecah ketuban."

Dimas langsung bangun, panik tak karuan. "Apa?! Tapi—baru 35 minggu, Ran."

Rania mengangguk, tubuhnya mulai gemetar. "Aku belum siap…"

Perawat datang dan segera memanggil dokter jaga. Dalam hitungan menit, ruangan berubah jadi ruang persiapan. Suara monitor berbunyi, peralatan disiapkan, dan dokter mulai memberikan penjelasan:

"Kita harus segera melakukan tindakan, karena ini premature rupture of membranes. Bayi harus dikeluarkan secepatnya. Kami akan observasi satu jam. Jika tidak ada kemajuan alami, kita operasi."

Di luar ruang bersalin, Dimas berdiri dengan pakaian steril. Tangannya menggigil. Matanya merah.

Ia merasa seperti ingin pecah. Tak bisa berbuat apa-apa.Tapi ketika melihat ke arah ruang bersalin, ketika mendengar suara Rania berteriak menahan kontraksi, semua rasa takut berubah jadi satu hal:tekad.

Tak peduli bagaimana caranya, dia harus jadi pelindung.

Pukul 03.11 pagi, Rania mulai mengejan.Dokter memutuskan untuk tetap berusaha lahir normal karena detak jantung bayi masih stabil dan bukaan sudah cukup cepat.

Dimas di sana.Memegang tangan Rania yang dingin dan penuh keringat.

"Sedikit lagi, Sayang… ayo… kamu bisa.""Jangan tinggalin aku, Mas…""Enggak. Aku di sini. Kita bareng. Sampai akhir."

Tangis. Teriakan. Ketegangan.

Lalu—sebuah suara memecah malam.

Tangisan pertama.

Keras. Nyaring. Penuh kehidupan.

"Selamat, bayi laki-laki. Lahir pukul 03.28. Berat 2,3 kilogram."

Dunia berhenti.Dimas menatap bayi kecil itu dibungkus kain putih.Begitu kecil. Begitu rapuh.

Tapi… nyata.

Saat bidan menggendong si kecil dan menempatkannya di dada Rania, air mata mengalir deras dari kedua orang tua baru itu.

Rania tersenyum dalam tangis. "Halo, Nak…"

Dimas memeluk keduanya dari sisi ranjang. Tangannya menyentuh kepala mungil itu.

"Hai… aku Papa," katanya dengan suara serak. "Maaf, dunia ini belum sempurna. Tapi aku janji, kamu nggak akan pernah sendirian di dalamnya."

Dan malam itu, di ruang bersalin rumah sakit sederhana,lahirlah bukan hanya seorang bayi…tapi juga seorang Ayah.Seorang Ibu.Dan sebuah keluarga.

More Chapters