LightReader

Chapter 24 - BAB 24 – Hari-Hari Pertama

Dimas mengira, tantangan terbesar dalam hidupnya adalah memotret bencana di lokasi terpencil.Atau membujuk klien manja agar membayar tepat waktu.

Tapi ternyata, mengganti popok dalam gelap sambil menahan kantuk dan suara tangis bayi, jauh lebih epik.

Hari pertama pulang dari rumah sakit:

Bayi mereka diberi nama: Aruna Mahesa Pradipta."Aruna" dari cahaya pagi."Mahesa" berarti kuat."Pradipta" berarti terang.

Mereka ingin anak ini tumbuh jadi cahaya yang kuat di tengah dunia yang kadang gelap.

Namun, terang itu datang... bersama kantung mata gelap yang tak kenal ampun.

Pukul 02.14 WIBTangis Aruna meledak.

Rania bangkit setengah sadar, mengangkat si kecil. Dimas mengikutinya, membawa air hangat dan botol susu cadangan, walau si bayi lebih memilih ASI.

"Aku baru tidur 45 menit…" rintih Rania sambil menyusui.Dimas memijat bahunya pelan. "Nanti gantian, Sayang. Aku jagain habis subuh."

Aruna kembali tidur. Tapi tidak lama. Pukul 03.47, ia menangis lagi karena popok basah.Dan saat pagi datang, Dimas dan Rania hanya sempat tidur total dua jam.

Minggu pertama:

Rania mulai menyadari bahwa hidup tidak akan pernah kembali seperti dulu. Dulu ia bisa mandi 30 menit sambil maskeran. Sekarang, ia bersyukur bisa menyikat gigi.

Dimas pun demikian. Studio kecilnya di sudut ruang tamu kini berganti jadi tumpukan pampers, botol susu, dan kursi goyang mini.

Tapi... di tengah semua itu, ada sesuatu yang membuat mereka tetap tersenyum.

Aruna.Makhluk kecil itu yang bisa membuat hari buruk jadi bermakna… hanya dengan satu ekspresi menguap kecil.

Minggu kedua:

Saat malam semakin larut, dan mereka kelelahan, pertengkaran kecil mulai muncul.

"Mas, kamu bilang mau gantian jagain. Tapi kamu ketiduran!""Aku juga capek, Ran! Aku jagain dia dari jam 10 sampai 1!"

"Ya, tapi tetap aja..."

Hening.

Tangis Aruna pecah lagi. Tapi kali ini… Dimas yang lebih dulu berdiri. Ia menggendong si kecil, lalu berkata pelan,"Maaf. Aku bukan sengaja tidur. Aku lelah... tapi aku gak akan pernah berhenti berusaha jadi ayah yang baik."

Rania menatapnya. Matanya berkaca-kaca. Ia mendekat, menyandarkan kepala di bahu Dimas.

"Aku juga minta maaf. Kita berdua lagi belajar, ya…"

Dimas mengecup kepala Rania. "Iya. Dan kita belajar bareng."

Minggu ketiga:

Mereka mulai menemukan ritme.

Rania lebih tenang saat menyusui.Dimas lebih cepat bangun saat Aruna menangis.Mereka bahkan sempat menonton film bersama—walau baru 23 menit sebelum Aruna kembali terbangun.

Tapi malam itu, saat Aruna tertidur di dada Dimas, dan Rania duduk di sebelahnya sambil menatap kedua laki-laki yang kini menjadi dunianya, ia berbisik,

"Mas…"

"Iya?"

"Kamu sadar nggak… kita berhasil sejauh ini."

Dimas mengangguk. "Kita nggak sempurna. Tapi kita gak nyerah. Dan itu cukup."

Mereka tidak lagi mengejar versi ideal menjadi orang tua.Tidak ada rumah yang selalu rapi.Tidak ada bayi yang selalu tidur tepat waktu.Tidak ada pasangan yang selalu sabar.

Tapi ada satu hal yang selalu ada:

Cinta yang terus belajar.

More Chapters