LightReader

Chapter 22 - BAB 22 – Krisis dan Harapan

Trimester ketiga dimulai dengan harapan—dan kegugupan.Setiap pagi, Rania mulai menghitung tendangan kecil di perutnya.Setiap malam, Dimas membacakan cerita pendek sebelum tidur, walau si bayi belum bisa mengerti apa pun.

Tapi itu semua bagian dari upaya mereka:Menciptakan rasa aman.Membuktikan pada diri sendiri bahwa mereka siap jadi orang tua.

Namun pada minggu ke-31, semuanya berubah.

Pagi itu, Rania bangun dengan napas terengah-engah. Perutnya terasa menegang berkali-kali, seperti kram, tapi kali ini... lebih lama. Lebih dalam. Ia menggigil, keringat dingin membasahi leher.

Dimas, yang baru saja keluar dari kamar mandi, melihat wajah Rania yang pucat.

"Ran? Kamu kenapa?!"

"Aku—aku gak tahu. Kayak... keras banget perutku, Mas. Sakit... banget."

Tanpa menunggu, Dimas langsung mengangkat tubuh Rania dan membawanya ke rumah sakit. Seluruh perjalanan ia tak henti berdoa dalam hati.

"Ya Tuhan… jangan ambil mereka dariku."

Sesampainya di rumah sakit, Rania segera ditangani. Dokter jaga memeriksa tekanan darahnya, lalu langsung menginstruksikan rawat inap.

"Kemungkinan besar kontraksi prematur. Kita harus observasi ketat. Kalau tidak terkontrol… kita harus siap-siap kemungkinan persalinan lebih awal."

Dimas duduk di ruang tunggu dengan tangan mengepal. Ia ingin terlihat kuat di depan Rania, tapi dalam dirinya… kacau.

Saat akhirnya masuk ke ruang perawatan dan melihat Rania dengan selang infus, wajah lelah, dan mata yang tetap mencoba tersenyum… hatinya runtuh.

"Mas…" bisik Rania.

"Iya, Sayang?"

"Kalau… kalau nanti aku harus operasi, kamu siap?"

Dimas mengecup tangannya. "Aku siap apapun. Asal kamu dan bayi kita selamat. Aku gak butuh rencana, Ran. Aku cuma butuh kalian... tetap di dunia ini bersamaku."

Selama empat hari, Rania berjuang menahan kontraksi yang datang dan pergi. Dokter memberikan penguat paru-paru untuk janin, sambil menunggu perkembangan lebih lanjut.

Dimas tinggal di rumah sakit. Ia tak pulang, tak mandi dengan layak, bahkan tidak mengangkat telepon dari klien yang mengancam akan memutus kontrak.

Karena kali ini, Dimas tahu:

Tidak ada pekerjaan yang lebih penting dari menjadi suami dan calon ayah.

Malam kelima, kondisi Rania mulai stabil.Kontraksi berkurang, dan denyut jantung bayi dalam kandungan kembali normal. Dokter memutuskan untuk terus observasi, tapi mengizinkan Dimas membawa Rania jalan sebentar di koridor.

Mereka berjalan pelan, Rania memakai kursi roda. Dimas mendorong di belakang, tangannya hangat di bahu istrinya.

"Mas," kata Rania lirih. "Aku tahu kamu takut."

Dimas tertawa hambar. "Banget."

"Tapi kamu gak pernah lepasin tanganku. Padahal aku tahu, kamu juga panik setengah mati."

Dimas berhenti mendorong, lalu berjalan ke depan, berlutut di hadapan Rania.

"Aku bukan suami terbaik. Tapi aku janji… aku akan terus belajar. Hari ini, besok, sampai anak kita bisa manggil kita Papa Mama."

Rania menggenggam wajahnya. "Kita gak butuh jadi sempurna. Kita cuma butuh terus bareng."

Malam itu, mereka tidur di kamar rawat dengan satu keyakinan baru:

Bahwa rumah bukan sekadar tempat.Rumah adalah dua tangan yang saling menggenggam saat badai datang.Dan cinta… adalah ketika seseorang tetap tinggal, bahkan saat segalanya terasa rapuh.

More Chapters