LightReader

Chapter 18 - BAB 18 – Rahasia yang Terungkap

Hari Minggu datang tanpa rencana.Rania memutuskan untuk bersih-bersih apartemen saat Dimas pergi memotret acara komunitas anak-anak. Suasana sedang tenang, bayinya belum membuat banyak drama, dan ia butuh distraksi setelah pertemuan tak nyaman dengan Gilang kemarin.

Saat sedang menyapu bagian lemari bawah ruang kerja Dimas, ia menemukan sebuah kotak kayu kecil berdebu tertutup kain batik. Tidak ada kunci. Tidak juga label.

Rania tidak pernah melihat kotak ini sebelumnya.

Perasaannya bercampur. Antara penasaran… dan takut membuka sesuatu yang mungkin tidak seharusnya ia lihat.

Tapi rasa penasaran menang.

Perlahan, ia membuka penutup kotak.

Isinya hanya beberapa benda:

Foto kecil Dimas saat masih SMP

Sebuah surat lusuh dalam amplop krem

Sebuah liontin kecil berbentuk daun yang sudah agak karatan

Rania membuka surat itu pelan. Tulisan tangan rapih, sedikit miring ke kiri. Di bagian atas tertera:

Untuk Mas Dimas, kalau kamu sudah cukup dewasa untuk memahami cinta.

Rania duduk. Dadanya mulai sesak bahkan sebelum membaca isi surat.

Surat dari Ibu Dimas:

Mas,

Kalau kamu membaca ini, artinya kamu sudah cukup dewasa untuk jatuh cinta.Tapi cinta tidak datang sendiri. Ia datang dengan luka, dengan pengorbanan, dan dengan keberanian untuk bertahan meski takut.

Ibu tahu kamu kecewa dengan Ayah. Ibu juga. Tapi Ibu ingin kamu tahu, bahwa Ayah mencintai kamu… meski caranya salah.

Pernikahan kami retak bukan karena cinta itu hilang, tapi karena kami berhenti bicara.Kami berhenti memilih satu sama lain setiap hari.

Mas… nanti kalau kamu jatuh cinta, jangan hanya jaga orang yang kamu sayangi saat dia bahagia. Tapi temani dia saat dia hancur.

Jangan takut untuk menjadi ayah, karena kamu pernah melihat cara yang salah. Jadilah versi terbaikmu.

Dan saat kamu bertemu perempuan yang bisa membuat kamu diam hanya karena takut menyakitinya...Tetap bicara. Tetap jujur. Karena cinta, Mas… lebih sering mati karena diam daripada karena pertengkaran.

– Ibu

Rania meneteskan air mata.Lama ia terdiam di sana.

Kini ia mengerti kenapa Dimas begitu sering menarik diri saat konflik datang. Kenapa Dimas lebih nyaman membungkus cinta dalam tindakan, bukan kata. Kenapa Dimas lebih takut kehilangan daripada menyakiti.

Karena ia dibesarkan dalam rumah yang penuh cinta... tapi tanpa komunikasi.

Dan sekarang, Dimas sedang berjuang memutus rantai itu. Untuknya. Untuk mereka.

Malamnya, Dimas pulang. Ia membawa roti bakar favorit Rania, lengkap dengan susu almond dan senyum hangat.

Tapi yang menyambutnya adalah pelukan.Tiba-tiba. Kuat. Lama.

"Ran?" Dimas bingung.

"Aku ketemu surat dari Ibu kamu," bisik Rania.

Dimas terdiam. Selama ini, surat itu ia simpan karena tak tahu kapan waktu yang tepat untuk membacanya sendiri. Tapi Rania yang lebih dulu menemukannya.

"Mas," lanjut Rania, menatapnya dengan mata lembap. "Kamu nggak perlu jadi sempurna buat aku. Aku tahu kamu terluka. Tapi aku ada, dan kita akan sembuh bareng. Kamu nggak sendiri lagi."

Dimas memeluknya kembali. Lebih erat dari biasanya.Dan malam itu, mereka tidur dalam keheningan… tapi bukan karena ada yang tak terucap.

Justru karena semua sudah tersampaikan, lewat rasa yang tidak lagi ditahan.

More Chapters