LightReader

Chapter 9 - BAB 9 – Luka Lama Dimas

Tiga hari setelah pertengkaran itu, suasana di apartemen mereka masih terasa dingin.

Tidak ada adu mulut. Tapi juga tidak ada canda.Dimas tetap pulang malam, sementara Rania memilih menghabiskan waktunya di kantor lebih lama dari biasanya.Mereka makan di meja yang sama, menonton TV yang sama, tidur di ranjang yang sama… tapi hati mereka seperti berdiri berseberangan, saling menunggu siapa yang lebih dulu menyerah.

Sampai suatu malam, semuanya pecah bukan karena marah. Tapi karena kejujuran yang akhirnya tak bisa ditahan.

Hujan turun deras di luar jendela apartemen. Rania baru saja menyimpan ponsel dan hendak tidur, ketika ia mendengar suara pintu kamar mandi terbanting pelan.

Dimas berdiri di ambang pintu, wajahnya basah entah karena air atau air mata.

"Mas?" Rania bangkit, panik. "Kamu kenapa?"

Dimas tidak menjawab. Ia berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. Bahunya gemetar. Nafasnya tidak stabil.

Rania mendekat, perlahan menyentuh pundaknya. "Mas... bilang ke aku. Apa yang kamu simpan selama ini?"

Dimas mengusap wajahnya, menunduk.

"Aku... mimpi buruk," katanya pelan. "Mimpi waktu kecil. Waktu Ayah ninggalin kami."

Rania terdiam. Ia tahu Ayah Dimas meninggal karena serangan jantung saat Dimas SMP. Tapi ia tidak pernah tahu cerita lengkapnya karena Dimas tidak pernah mau bicara tentang itu.

"Ayahku selingkuh, Ran. Dia punya perempuan lain. Ibu tahu, tapi diam. Selama bertahun-tahun, beliau bertahan, pura-pura baik-baik aja demi aku dan Naya."

Rania menggenggam tangan Dimas erat.

"Waktu Ayah meninggal, aku justru lega. Tapi di saat yang sama... aku ngerasa bersalah. Aku benci pernikahan. Aku benci bayangan hidup dua orang yang pura-pura bahagia di depan anak-anaknya."

Dimas menarik napas panjang, suaranya parau.

"Itulah kenapa aku nggak pernah serius dalam hubungan. Karena dalam pikiranku... semua cinta akan berakhir jadi pura-pura."

Rania meneteskan air mata. Ia tidak menyangka di balik senyum Dimas yang selalu membuat orang lain nyaman, ada luka yang tak pernah disembuhkan.

"Mas," bisiknya. "Kamu nggak sendiri lagi. Sekarang kamu punya aku. Kalau kamu takut, bilang. Kalau kamu marah, aku dengerin. Tapi jangan dorong aku jauh-jauh cuma karena kamu takut disakiti."

Dimas menatap Rania, matanya merah.

"Gimana kalau aku nyakitin kamu juga nanti?"

"Gimana kalau aku yang jatuh cinta lebih dulu?" tanya Rania balik.

"Gimana kalau aku... nggak cukup baik buat kamu?"

Rania mendekat, menempelkan dahinya ke dada Dimas. "Aku nggak butuh sempurna, Mas. Aku cuma butuh kamu jujur. Dan sekarang... kamu udah lakukan itu."

Mereka diam dalam pelukan. Tak ada kata lagi yang perlu dijelaskan.

Keesokan paginya, Rania bangun lebih dulu. Ia melihat Dimas masih terlelap di sebelahnya, dengan napas yang tenang seolah beban yang selama ini ia pikul akhirnya turun dari bahunya.

Ia bangkit pelan, mengambil post-it kecil, dan menempelkannya di cermin kamar mandi.

"Terima kasih udah jujur. Hari ini kita mulai dari awal, ya? – Istrimu"

Dan saat Dimas menemukannya, ia tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa layak untuk dicintai.

More Chapters