Setelah denting gitar terakhir berhenti, guild yang biasanya ribut seketika pecah oleh suara tepuk tangan. Riuh sekali, sampai para prajurit yang nongkrong di meja pojok pun ikutan melirik. Ada petualang mabuk yang sampai menubruk kursinya sendiri saking semangatnya tepuk tangan.
Beberapa orang malah langsung melempar koin ke arah kotak kayu kecil dekat kursi si pemain gitar. “Oi, ambil tuh! Suara kayak gitu nggak boleh gratis!” teriak salah satu lelaki berotot dengan suara serak.
Si penyanyi—cowok berambut hitam acak-acakan dengan kaos minimarket hijau-merah—mengerutkan dahi. Dia refleks melambaikan tangan.“Sudah kubilang gua bukan pengamen!” serunya, wajahnya jelas-jelas jengkel.
Petualang lain malah ngakak. “Ahahaha! Nggak ada salahnya juga kan? Suara lu harus dihargai, bro!” celetuk seorang gadis berambut pirang sambil masih menjentikkan jari mengikuti irama lagu sebelum nya.
Aku terdiam. Tanganku mengepal di lutut. Kata-kata barusan… bukan bahasa dunia ini. Itu bahasa dunia kami. Bahasa Inggris.Aku melirik Kazuki, Iroha, Kaname. Tatapan mereka sama—terkejut, hampir nggak percaya.
Sosok itu akhirnya tersenyum kecil, menunduk singkat. “Terima kasih semua yang sudah mendengarkan! Untuk itu gua bakal—”Dia mulai beranjak dari kursinya, gitar disampirkan di punggung.
Tunggu. Dia mau pergi!?
Aku refleks berdiri, kursiku berderit keras. Beberapa petualang di sekitar malah menoleh karena kaget.
“Anu!” aku spontan bersuara, bahkan agak terlalu keras. Beberapa petualang di meja sebelah sampai melirik ke arahku.
Cowok itu—si pemain gitar barusan—menoleh. Tatapannya santai, alis sedikit terangkat.“Hm? Oh, kalian yang tadi nonton nyanyian gua. Ada apa?”
Seketika tenggorokanku kering. Aku mau nanya dari mana dulu? Seragam minimarketnya? Lagu bahasa Inggrisnya? Atau malah sepatunya yang jelas-jelas model Jepang?Mulutku terbuka, tapi nggak ada kata yang keluar.
Untung dia menolong.
"ooi....apa kau masih ada urusan dengan gua?"
"aah! iya sebenarnya, aku ingin menanyakan sesuatu kepada mu?....etto..."
“Ah iya, gua lupa perkenalan.” Dia menepuk dadanya ringan. “Rian. Rian Adriansya. Panggil gua sesuka hati lo. Kalau kalian?”
Aku langsung menunduk sedikit, memperkenalkan diri dengan agak gugup. “T-Tendou Kazuma… salam kenal.”
yang lain pun ikut mengenalkan diri mereka masing masing
Rian tersenyum singkat, mengangguk. “Sip, sip. Senang ketemu kalian.”Dia kemudian melirik sekeliling guild. Meja-meja penuh, para petualang masih ribut dengan ale di tangan mereka, bahkan ada yang main lempar pisau di pojok ruangan.“Hmm… tempatnya agak penuh ya. Bagian bar juga rame. Kalau mau ngobrol serius, kayaknya nggak cocok di sini, bagaimana jika kita ketempat ku? disana cukup luas kok”
Aku refleks mengangguk cepat. “Dengan senang hati. Iya kan, teman-teman?”Mereka bertiga menatapku sebentar, lalu ikut mengangguk.
Rian tersenyum lebar, lalu menepuk tangannya sekali. “Mantap. kita gaskeun ke temoat gua...”Dia melangkah santai menuju pintu guild, gitar masih di punggungnya.
Aku bisa dengar bisikan beberapa petualang di belakang kami.“Siapa tuh bocah-bocah? Kayak baru pertama ke guild…”“Temenan sama si penyanyi itu, ya?”Aku merasakan jantungku berdegup lebih kencang. Entah kenapa, perasaan bahwa kami akan dapat jawaban besar tentang Kaito terasa semakin nyata.
Setelahnya, kami mengikuti Rian keluar dari guild. Anehnya, dia malah membawa kami menuju gerbang kota.Aku sempat melirik Kazuki, Kaname, dan Iroha. Wajah mereka sama-sama tegang, tapi tidak ada yang protes.
Kami melewati penjaga gerbang, lalu masuk ke hutan tipis di dekat kota. Suara serangga malam terdengar jelas, bercampur dengan bunyi dedaunan bergesek tertiup angin. Entah kenapa, semakin dalam kami melangkah, suasana terasa semakin asing.
Aku langsung waspada. Tanganku refleks ingin meraih pedang di pinggang, begitu juga Kazuki. Kaname bahkan sudah mulai mengerutkan dahi, api tipis bergejolak di sekitarnya.
Rian tiba-tiba berhenti. Dia berdiri di tengah jalur setapak, melipat tangan di dada.Tatapannya berubah serius, tidak lagi seperti pria santai yang tadi menyanyi.
“Aku nggak suka basa-basi,” ucapnya datar. “Jadi, kalian ini orang-orang yang dipanggil ke dunia lain… sama seperti Kaito, kan?”
Jantungku langsung berdegup kencang. Nama itu. Kaito.Bagaimana dia bisa tahu?
Aku menatapnya tajam, langkahku menegang. “Bagaimana kau bisa tahu tentang kami?”Suaraku meninggi tanpa sadar. “Apa kau mendengar ini dari Kaito? Dan kenapa kau tahu soal dia? Bukannya dia… dibuang ke dungeon?”
Kaname langsung menyeringai sinis, api di tangannya berkobar makin besar. Iroha menahan napas, jelas gugup.Ketegangan hampir meledak.
Namun Rian mengangkat tangannya, santai. Senyumnya kembali muncul seakan nggak ada beban.“Oi, oi, satu-satu napa. Santai dulu.” Dia menggaruk kepalanya pelan. “Yah, intinya gua tahu dari Kaito.”
Kami semua membeku.
Rian melanjutkan dengan nada ringan, tapi matanya tetap tajam.“Karena… dungeon tempat dia dibuang itu rumah gua.”
“Rumah? Dungeon? Itu berarti…”Kepalaku berputar mencari logika, tapi sebelum sempat kusatukan…
“Monster!!” Kaname langsung berteriak. Api menyala liar di kedua tangannya, cahayanya menari-nari di wajah penuh amarahnya.“Jangan-jangan kau iblis! Monster yang menyerupai manusia!!”
Suasana langsung memanas. Hawa panas dari api Kaname membuat daun kering di tanah berasap tipis. Kazuki refleks melangkah mundur, tangannya meraih pinggang seakan siap cabut senjata. Iroha terdiam di belakangku, wajahnya pucat, tapi matanya waspada.
“Eh—hah!? Monster!? Gua!?” Rian sampai melotot, tangannya refleks menunjuk dirinya sendiri. “Bentar-bentar, napa jadi gitu!? Kayaknya salah paham nih!”Suaranya terdengar serius, tapi cara bicaranya tetap seenaknya—dan entah kenapa, itu justru bikin atmosfer makin tegang.
Aku buru-buru maju, menahan bahu Kaname. “Cukup, Kaname!”Aku menatap matanya dalam-dalam. “Kalau kita bertarung dengannya sekarang, kita bisa kehilangan informasi soal Kaito.”
Kaname masih menggeram, api di tangannya berkobar sebentar sebelum akhirnya meredup. Dia membuang muka dengan kasar, tapi aku tahu dia tetap berjaga-jaga.
Kesunyian menekan. Hanya suara jangkrik malam yang terdengar.
Lalu, Iroha melangkah maju. Walau suaranya bergetar, dia memberanikan diri bicara.“Kalau begitu… bisa jelaskan, kenapa kau bisa tinggal di dungeon?”Dia menatap lurus ke arah Rian, mata cokelatnya berkilat di cahaya api yang hampir padam.“Dan bagaimana… kau bertemu Kaito?”
Rian menghela napas panjang. Tangannya melipat di dada, lalu ia menggaruk kepalanya, tampak kesal sekaligus pasrah.“…Sumpah, bakal lama kalau gua ceritain di sini.”Dia berhenti sejenak, lalu menatap kami satu-satu.“Dan gua yakin, walau gua cerita panjang lebar, kalian tetap bakal ragu.”
Aku menelan ludah, menunggu.
“Gini aja deh.” Rian menunjuk dirinya sendiri dengan jempol. “Kalau semisalnya gua beneran monster, kalian semua bisa langsung nyerang gua nanti. Satu lawan banyak. Fair kan?”Senyum tipis muncul di wajahnya. “Tapi sebelum itu… kalian harus percaya dulu sama gua.”
Udara lembap menyergap begitu pandangan kami berganti. Goa raksasa menganga di depan, dan tepat di pintu masuknya… puluhan goblin berbaris rapi, menunduk dengan gerakan serempak.Seolah-olah seorang raja baru saja pulang ke istananya.
Aku tercekat.“…Dungeon. Jadi ini… rumahnya?”
“SELAMAT DATANG, TUAN RIAN!”Suara lantang para goblin bergema, membuat bulu kudukku berdiri. Mereka lalu buru-buru bergerak, mengangkat sesuatu dari dalam goa.
“Bawa kursi! Bawa meja! Tamu harus dihormati!” teriak salah satu goblin sambil ngos-ngosan mengangkat kursi kayu.
Kazuki melongo. “Meja!? Kursi!? Dari mana coba…”Kaname masih setengah waspada, api samar muncul di telapak tangannya.
Tak lama, beberapa goblin menurunkan meja panjang yang…“…Itu meja administrasi, kan?” aku akhirnya sadar.Bentuknya modern, dengan laci-laci kecil, bahkan masih ada label kertas yang menempel di sisinya.
Rian menggaruk kepala, kikuk. “Ehehe… iya, itu gua pinjem dari lantai administrasi. Sekalian biar goblin punya kerjaan. Kalau nggak, mereka keluyuran bikin orang panik.”
“Pinjem…?” Iroha hampir kehilangan kata-kata. “Kau ‘pinjem’ meja dan kursi kantor… dari dungeon?”
Sebelum sempat kami mencerna, goblin yang lebih kecil menghitung dengan suara keras.“Satu… dua… tiga… sebelas!”Dia menatap bingung ke arah Rian. “Tuan, jumlah tamunya sebelas, termasuk anda sendiri.”
“Sebelas?” Rian berkedip, lalu wajahnya kaget bukan main. “Lah!? Bukannya tadi cuma empat orang doang sama gua?!”Matanya langsung menyapu ke arah kami, baru sadar kalau ada enam orang lain—Mei, Shin, Aki, Yuu, Riku, Haru—yang ikut terbawa teleportasi.
Kazuma menelan ludah. “…Mereka teman sekelas kami yang juga ikut rapat. Mereka semua percaya padaku.”Teman-temanku yang enam orang itu masih terlihat kaget, tapi diam-diam memegang erat senjata masing-masing, setengah takut setengah penasaran.
Rian menghela napas panjang, lalu menepuk meja yang baru diletakkan goblin.“Oke, oke. Tenang semua. Nih, lihat.”Dia menunjuk goblin yang masih menunduk. “Selama gua nggak nyuruh, mereka nggak bakal nyentuh kalian. Jadi… anggap aja kayak waiter kafe, oke?”
“…Waiter… goblin?” Kaname mendesis, seakan tak percaya.Tapi yang mengejutkan, salah satu goblin benar-benar menaruh teko air dan cangkir tanah liat di meja, lalu menunduk sopan.
“Silakan, tuan. Air segar.”
Keheningan menggantung.Bahkan aku, yang biasanya bisa tenang, hanya bisa menatap absurdnya pemandangan itu.
Rian tersenyum tipis, mengangkat cangkir itu duluan. “Liat kan? Aman kok. Selama mereka nurut sama gua.”