LightReader

Chapter 4 - Chapter 3 – Dunia di Balik Tirai

Auren menatap gadis itu—Kalea—dalam diam. Rambutnya berantakan, pakaiannya kusam, dan wajahnya… wajah yang tidak pernah dia lihat di katalog warga. Tidak halus, tidak bersih, tidak teregulasi. Tapi hidup. Terlalu hidup.

"Bagaimana kamu tahu soal mimpiku?" tanyanya akhirnya.

Kalea tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berbalik, melangkah ke lorong gelap di belakangnya. Auren ragu. Tapi sesuatu dalam dirinya—rasa penasaran yang selama ini dipendam sistem—memaksa kakinya ikut melangkah.

Lorong itu bukan bagian dari Marevia. Cahaya redup dari lampu tua berkedip-kedip di dinding logam. Udara pengap. Lantainya kasar, tidak dibersihkan setiap pagi oleh pembersih otomatis. Bagi Auren, rasanya seperti berjalan di tubuh dunia yang sedang sakit.

"Apa tempat ini?" bisiknya.

"Koridor servis bawah tanah. Dulu dipakai sebelum sistem pengendali persepsi diberlakukan," jawab Kalea. "Sekarang mereka anggap tempat ini mati. Tapi ternyata… masih bernapas."

Auren menelan ludah. Ia merasakan detak jantungnya—untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasakannya. Tidak ditenangkan, tidak diproses. Detak yang murni.

Di ujung lorong, sebuah pintu besi terbuka perlahan. Di baliknya, cahaya berbeda menyambut mereka—bukan putih steril seperti Marevia, melainkan oranye kelam, seperti sisa api yang hampir padam.

 

Dan di sana, terbentang pemandangan yang tidak pernah dibayangkan Auren: bangunan reyot, kabel berserakan, anak-anak tanpa seragam, orang-orang berbicara tanpa sensor, tanpa aturan. Suara keras. Tertawa—bukan yang terprogram. Dan tangisan.

"Drexan," ucap Kalea. "Tempat yang tidak ada dalam peta. Tempat orang-orang buangan, mereka yang gagal 'terintegrasi' dengan The Veil."

Auren mematung.

"Apa ini… nyata?"

"Nyata," jawab Kalea. "Tapi bukan yang ingin mereka kamu lihat."

Ia berjalan ke depan, lalu menoleh sebentar.

 

"Selamat datang di dunia yang tidak damai, tapi jujur.

Tempatmu… kalau kau berani tetap membuka mata."

More Chapters