Bab 7: Negeri yang Tak Punya Bayangan Masa Lalu
Begitu Nayla keluar dari bandara Kansai, angin dingin langsung menyambutnya. Kota itu asing. Tak ada suara Ibu yang menyuruh, tak ada tangisan adik, tak ada bau masakan rumah yang terburu-buru.
Semua terasa… hening. Tapi juga ringan.
Ia menginap sementara di asrama mahasiswa, kamar sempit namun rapi. Tak ada foto keluarga. Tak ada suara bentakan. Hanya dirinya—dan ruang baru yang masih kosong, menunggu diisi.
Saat duduk di ranjang kecil itu, Nayla menyadari sesuatu:
"Ini pertama kalinya aku bangun pagi… dan tidak takut."
Namun hidup baru bukan berarti tanpa luka.
Hari-hari awal penuh tantangan: bahasa yang membingungkan, budaya yang berbeda, makanan yang asing, dan… sepi.
Teman sekamarnya, Aiko—gadis Jepang yang ramah tapi pendiam—memberinya banyak bantuan kecil: mengenalkan lingkungan kampus, menjelaskan cara naik kereta, bahkan mengajaknya ke taman sakura terdekat.
Namun setiap malam, saat lampu kamar dimatikan, rasa bersalah kembali menyusup.
"Apa Adik baik-baik saja?""Apa Ibu tidur cukup?""Apa Ayah benar-benar tidak menyesal mengizinkanku pergi?"
Nayla menulis semuanya di buku hariannya. Sebuah kebiasaan baru yang ia mulai sejak hari pertama di Jepang.
Dan di halaman ke-7 buku itu, ia menulis:
"Dulu, aku pikir aku hidup untuk membayar harapan orang lain. Tapi di sini, tak ada yang tahu aku anak pertama. Tak ada yang menyuruhku kuat. Tak ada yang melihatku sebagai apa pun… kecuali manusia."
"Ternyata… itu cukup menyembuhkan."
Suatu hari, Aiko memberinya sebuah amplop kecil.
"Ini... buatmu," ucap Aiko dengan senyum tipis. "Dari kantor beasiswa. Katanya penting."
Dengan hati-hati, Nayla membukanya.
Isinya: undangan menjadi pembicara dalam forum mahasiswa internasional, mewakili Indonesia.
Tangannya gemetar lagi. Tapi kali ini... bukan karena takut. Melainkan karena bangga.