LightReader

Chapter 6 - Luka Anak Pertama

Bab 6: Perpisahan yang Tak Pernah Diajarkan

Hari-hari berikutnya berjalan cepat, tapi bagi Nayla… semuanya terasa pelan. Seperti dunia sengaja memperlambat waktu agar ia sempat memeluk semuanya sebelum pergi.

Tiket, paspor, surat izin sekolah—semua sudah siap. Tapi hati Nayla masih berantakan.

Bukan karena takut dengan negeri asing.

Bukan juga karena ragu dengan pilihannya.

Tapi karena satu hal: ia tak pernah diajarkan cara pergi.

Adiknya, Nindi, baru berusia 9 tahun. Gadis kecil itu selama ini selalu tidur di kamar Nayla setiap malam, meski hanya untuk mendengar kakaknya membacakan cerita sebelum tidur.

Malam ini, Nindi diam-diam duduk di sudut kamar Nayla sambil memeluk boneka beruang.

"Kak Nayla beneran mau pergi?"

"Iya... Kakak mau sekolah di tempat jauh."

"Nanti yang bacain aku cerita siapa? Yang bikin susu cokelat malam-malam siapa?"

Nayla tak bisa menjawab.

Ia hanya memeluk Nindi erat.

"Kakak pergi bukan karena ninggalin kamu. Kakak pergi supaya kamu tahu, perempuan juga boleh punya mimpi. Supaya nanti kamu juga bisa berani kalau punya mimpi besar."

Nindi menangis pelan. Tapi di sela isaknya, ia mengangguk.

"Aku akan nunggu Kakak. Dan aku juga mau punya mimpi kayak Kakak."

Keesokan harinya, sebelum berangkat ke bandara, Nayla berdiri lama di depan rumah. Ia menyentuh temboknya. Menatap jendela kamarnya.

Ibunya berdiri tak jauh dari pintu. Wajahnya masih dingin, tapi matanya sedikit berbeda. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan—entah itu ego, rindu, atau pengakuan yang terlalu terlambat.

"Hati-hati," ucap Ibu lirih."Makan yang teratur."

Nayla hampir menangis. Tapi ia tahan. Kali ini, bukan karena menahan luka—melainkan karena memeluk kekuatan baru.

Ia mencium tangan ibunya. Lalu menatap ayahnya, yang membalas dengan anggukan penuh bangga.

More Chapters