Bab 10: Nama yang Tidak Bisa Dihapus
Bu Wati.Nama itu tertulis dengan jelas dan tebal di buku catatan merah.
Begitu Ayla selesai menuliskannya, halaman itu menyerap tinta merah seperti menyerap darah. Tiba-tiba, kelas berguncang pelan, lampu berkedip-kedip, dan semua siswa membeku di tempat mereka duduk.
Hanya satu suara yang terdengar:"Akhirnya… dia ditulis."
Guru yang Tahu Terlalu Banyak
Tak lama, Bu Wati masuk ke kelas. Wajahnya seperti biasa: tenang, dingin, dan rapi.
Tapi saat matanya bertemu dengan milik Ayla, sesuatu berubah.
"Kamu... sudah menuliskannya, ya?"
Semua siswa saling menatap bingung.
"Ibu tahu," kata Ayla pelan. "Ibu adalah penjaga bangku itu, bukan korban."
Bu Wati tertawa pelan. "Penjaga? Oh, Ayla. Aku adalah pencipta."
"Bangku itu dulu hanya kursi kosong biasa… sampai aku letakkan satu jiwa pertama di sana.""Siska hanya korban terakhir—bukan yang pertama."
Roh yang Dibangkitkan
Tiba-tiba, jendela kelas terbuka sendiri. Angin dingin berembus masuk.Papan tulis tergores sendiri dengan tulisan:
"WAKTUMU TELAH HABIS, WATI."
Dan dari bangku belakang, Siska muncul. Kali ini wujudnya utuh, meski tetap pucat. Ia berjalan perlahan ke depan kelas, tanpa menginjak lantai—melayang.
Seluruh kelas mulai panik. Beberapa siswa berteriak. Yang lain berdoa.
Bu Wati berdiri diam.
"Kau pikir, hanya karena namaku ditulis, aku bisa digantikan? Aku bagian dari bangku itu!""Selama sekolah ini masih berdiri, aku tak akan pernah mati!"
Tapi Siska menatapnya lurus.
"Sekarang aku tahu... bukan aku yang lemah. Tapi kamu yang takut."
Siska mengangkat tangannya, dan buku merah di meja Ayla terbakar sendiri.Halaman terakhir berubah menjadi abu, dan dari dalamnya, cahaya merah keluar, menyelimuti Bu Wati.
Bangku yang Akhirnya Terisi
Seketika, tubuh Bu Wati tersedot ke arah bangku belakang. Ia meronta, berteriak, tapi tidak ada yang bisa menolongnya.
"Aaaaa—!!"
Bangku itu kini tak lagi kosong.
Dan untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun… bangku itu terkunci. Tidak bisa ditarik. Tidak bisa digeser. Tidak bisa lagi diduduki siapa pun.
Ayla menangis dalam diam. Laras, yang sebelumnya duduk di sana, kini berdiri bebas. Pandangannya kembali jernih.
Epilog Kecil
Minggu berikutnya, sekolah mengumumkan bahwa Bu Wati menghilang tanpa jejak.
Bangku belakang kini diberi garis polisi. Tapi semua siswa tahu:
Itu bukan hanya bangku. Itu adalah makam dari dosa yang sudah terlalu lama disembunyikan.
Ayla masih menyimpan pita merah Siska. Tapi kini, tak ada lagi suara bisikan.Tak ada lagi darah.
Namun, sebelum buku catatan itu benar-benar habis, Ayla sempat membaca satu kalimat terakhir yang tertulis samar:
"Selama sekolah masih punya bangku kosong... cerita ini belum selesai."