Dunia telah sepenuhnya berubah. Sejak manusia berhasil menemukan sebuah racun yang membuat hampir seluruh negara di berbagai belahan dunia berlomba-lomba mengembangkannya, tatanan dunia seakan berubah. Racun itu, tanpa orang sadari, menyapu sesuatu yang lekat dengan manusia secara perlahan. Sesuatu yang bahkan berjasa besar dalam penciptaan racun itu sendiri. Racun yang diagung-agungkan umat manusia itu menyingkirkan penciptanya tanpa rasa bersalah.
Kini, dunia seakan telah kehilangan makna. Semua goresan tinta yang tersisa kini dianggap sebagai peninggalan kejayaan peradaban masa lalu tanpa tahu apa artinya. Satu hal yang tersisa dari peradaban itu hanyalah sebuah pena, yang terselip di antara tumpukan kardus berdebu di sudut gudang tua. Cahaya hanya masuk seperempat hari melalui jendela kecil yang retaknya menyerupai gurat nadi tua di langit-langit gudang. Aroma jejak debu dan tinta lama dari buku usang menyatu membungkus udara, membisikkan keheningan yang tak pernah usai.
Diam bukan pertanda gugur. Tak ada lagi tangan yang menggenggamnya bukan berarti ingatannya hilang begitu saja. Dia teringat suatu memori, dimana dia menari di atas sepucuk surat cinta seorang remaja yang pemalu. Dia masih bisa mencium aroma teh hangat di meja kecil tempat seorang ibu menuliskan resep cintanya untuk putri kesayangannya. Masih terngiang denting jam malam penuh sandiwara, di saat dia dipakai untuk menandatangani surat pengunduran diri seorang pegawai. Dia juga menjadi saksi bisu gugurnya seorang penulis tua yang menulis naskah yang tak pernah selesai: "Dunia Tanpa Suara".
Mereka semua telah lama hilang. Dunia telah membungkam dirinya sendiri, menyimpan suara-suara itu di gulungan waktu yang terlupakan. Tak ada emosi yang tersalurkan, hanya sebuah kesunyian yang lebih dari sekadar diam. Segala sesuatu hanya lewat bagai hembusan angin yang tak sempat dicatat. Tak ada dongeng yang diwariskan, tak ada nama yang dikenang. Sejarah pun hanya bayangan samar, yang menguap setiap manusia gugur. Di tempat sempit itu, sang pena hanya bisa menunggu. Bukan sekadar digunakan, tetapi juga untuk diingat.
Namun, sepertinya tak butuh waktu lama. Di suatu siang yang terik, suasana tak berubah di gudang itu. Pintu gudang yang sudah lama tak disentuh itu mendecit perlahan. Suaranya nyaring, menembus diam panjang selama bertahun-tahun. Terdengar langkah kaki pelan dari ujung pintu. Suara anak laki-laki, dengan raut wajah penasaran, terlihat kebingungan dengan semua tumpukan kardus di gudang itu. Anak itu sepertinya ditugaskan untuk membersihkan gudang. Tangannya masuk ke kardus tempat pena itu tertimbun bersama buku-buku rusak, pita mesin tik yang sudah kering, dan barang-barang kuno lainnya.
Dan...
Tangan anak-laki-laki itu menyentuh logam kecil yang terkapar dalam. Untuk pertama kalinya sejak dunia kehilangan makna, pena itu digenggam kembali. Jemarinya dingin dan kaku, seakan pena itu benda asing baginya. Matanya tak menunjukkan keajaiban, hanya kebingungan sambil menggaruk kepalanya.
"Ini... buat apa?" gumamnya.
Anak itu mencoba untuk memutar pena itu, berharap bisa memancarkan sinar seperti senter elektrik, tetapi tidak ada reaksi apa-apa. Anak itu kemudian menjatuhkan pena itu, berharap bisa berdiri sendiri seperti mainan boneka daruma di rumahnya, tetapi pena itu hanya terbujur kaku di lantai. Melihat tindakan yang dilakukan anak itu, sang pena geram dan ingin berteriak.
"Tulis! Coret! Goreskan aku di mana saja! Aku akan bicara padamu!"
Namun, pena tetapkah pena. Dia tidak bisa bicara secara langsung. Anak itu kemudian menekan ujung pena, membuat mata si pena keluar.
"Ya! Begitu! Coret di mana saja!" gumam si pena dengan nada berapi-api. Anak itu menggoreskannya pada kardus di sebelahnya. Namun, kebahagiaan sang pena harus sirna begitu saja. Ketika pena digoreskan pada kardus, tidak ada bekas yang tersisa. Sang pena tidak menyadari bahwa tintanya sudah lama habis.
"Apakah alat ini untuk melubangi kardus?" tanya anak itu keheranan. Anak itu kemudian menekan pena hingga membuat kardus itu berlubang.
"Bahkan alat pemotong kuno milik kakek masih lebih baik. Untuk apa kakek menyimpan benda kecil ini?" gumamnya, bersungut pelan sambil mengerutkan dahi. Dengan satu gerakan ringan, dia melemparkan pena itu ke karung sampah yang telah dia siapkan.
Suara benturan pelan, tetapi terasa tajam. Suasana kembali seperti sebelumnya. Gelap, dingin, dan sunyi bercampur jadi satu. Pena itu kembali terbaring diam di dasar karung sampah, melihat barang tak berguna lainnya yang satu per satu berjatuhan. Tidak ada perasaan marah di benaknya, hanya perasaan sedih yang kembali mekar. Bukan karena tak berguna, melainkan tak dikenali. Satu-satunya jalan hanya terus menunggu, karena perjalanan sang pena tak usai begitu saja.
Anak kecil tadi membawa karung sampah itu ke tempat pembuangan di depan halaman rumahnya. Kini, sang pena hanya perlu menunggu beberapa jam hingga truk sampah mengangkut karung tempat dia berada. Sudah lama sejak sang pena merasakan dunia luar, yang kini jauh berbeda dengan dunia di masa lalu. Dia hanya perlu mencari orang yang tepat untuk memperbaikinya, meskipun dia tahu kemungkinannya sangat kecil.
Suara mesin samar-samar terdengar. Semakin lama, suaranya semakin jelas. Seketika karung sampah terangkat dan membuat pena beserta barang rongsokan lain ikut berjatuhan. Truk sampah itu menderu pelan dan mulai bergerak mengikuti rute yang telah diprogram. Truk itu bergerak otomatis tanpa ada seorang pun yang mengoperasikannya. Dari celah sempit di antara gundukan sampah, pena itu bisa melihat suasana dunia luar. Kota itu sudah sepenuhnya berubah menjadi "museum diam", diam kehilangan arti.
Di sepanjang jalan, papan nama toko tidak lagi mengenal tulisan. Semuanya digantikan dengan gambar simbol dan suara kedipan mesin. Rambu lalu lintas kini diganti dengan simbol-simbol asing yang dilengkapi suara otomatis, tanpa ada satu pun tulisan disana. Banyak orang lalu lalang tanpa mengucap satu kata pun. Mereka semua menggunakan sebuah perangkat yang dipasang di sekitar telinga mereka untuk berkomunikasi dan menangkap informasi di jalanan, seakan telah diprogram seperti mesin truk sampah ini. Kota ini seakan kehilangan kemampuan bercerita, hanya memberi perintah mekanis.
Truk terus bergerak tanpa henti, membuat pena terguncang. Tak ada tangan yang menggapai, tak ada mata yang mencari. Sang pena mencoba bergetar, seakan ingin menuliskan sesuatu. Terkadang, ketika truk berguncang, pena itu berharap tinta terakhirnya menetes dan menulis sesuatu di dinding truk, satu kata saja: "Ingat". Namun, dia sadar tidak akan ada yang bisa membacanya. Bahkan, jika bisa, tak ada yang mengerti artinya.
Tak lama, truk akhirnya berhenti. Suara mekanik bergema, disusul terbukanya tutup belakang truk yang menjatuhkan semua benda di dalamnya, termasuk sang pena, ke bukit sampah yang sunyi. Kini, sang pena berada di zona pembuangan akhir. Tak ada pemandangan yang sejuk dilihat. Hanya tumpukan rongsokan tua bercampur bau amis dari sisa-sisa sampah basah di sekitarnya. Tak ada yang tahu berapa lama pena itu ada di antara lereng bukit sampah. Sepertinya, sudah hampir mustahil mencari orang yang memungutnya di lokasi ini. Pilihan terakhirnya adalah berdamai dengan kondisi sekarang, merelakan dunia yang tak lagi mengenal tulisan.
Namun, di tengah keputusasaannya, seseorang melihat sang pena dari kejauhan. Seorang pria dengan seragam petugas sampah yang lusuh mendekat dengan raut wajah yang menunjukkan kelelahan. Dia mengambil dan memutar logam pena itu di antara jari-jarinya.
"Masih bagus bentuknya," gumamnya pelan, "ini bisa jadi hadiah kecil untuk Dia."
Pria itu terkesan dengan bentuk indah silinder pena itu dan berniat untuk memberikannya kepada seseorang yang menunggu di rumah. Dan, begitulah. Pena itu dibawa pulang olehnya.