Chapter 42 – Moonlit Sorrows (Kesedihan Diterangi Cahaya Bulan)
Suasana malam menyelimuti Kota Feifei. Cahaya bulan bersinar lembut di langit, membentuk siluet tenang di atap-atap rumah dan lorong-lorong kecil kota yang mulai sepi. Langit tampak bersih tanpa awan, dan hanya suara dedaunan serta angin malam yang menyapa sunyi.
Di salah satu kamar penginapan sederhana di sudut kota, dua sosok duduk dalam diam. Lawzi Zienxi duduk bersila di kasur kayu, sementara Vuyei berdiri di sisi jendela, menatap langit yang dipenuhi bintang. Angin malam menerpa rambutnya perlahan. Matanya tertuju pada bulan yang menggantung tinggi.
"Aku merindukan mereka, Kak..." bisik Vuyei dengan suara yang hampir tak terdengar, namun cukup dalam untuk menusuk hati Zienxi. Setetes air mata jatuh dari pipinya, mengalir perlahan.
Zienxi menoleh dan perlahan bangkit. Ia menghampiri Vuyei, lalu berdiri di samping adiknya itu. Dalam diam, ia menatap bulan yang sama bulan yang mungkin juga pernah disaksikan oleh keluarga mereka sebelum semuanya berubah.
Ia menyentuh bahu Vuyei dengan lembut dan berkata pelan, suaranya tenang namun penuh makna.
“Rindu adalah bukti bahwa mereka pernah hadir begitu dalam dalam hidup kita, Vuyei. Dan meskipun tubuh mereka telah tiada... jejak mereka tak pernah benar-benar hilang.”
Vuyei terdiam. Ia menatap wajah kakaknya yang masih muda, namun kini terlihat jauh lebih dewasa dari usianya.
Zienxi melanjutkan, dengan nada yang menenangkan:
“Langit tak pernah menanyakan mengapa bintang jatuh. Ia hanya menyaksikan, lalu terus bersinar seperti biasa. Kita pun begitu, Yei‘er... Kita tak harus mengerti alasan semua yang terjadi. Tapi kita harus tetap melangkah. Karena jika kita berhenti hanya untuk menangisi masa lalu... maka kita akan kehilangan masa depan yang bisa kita bentuk.”
Vuyei mengusap air matanya pelan, namun tidak berpaling dari bulan.
“Apa kau tidak takut, Kak? Dunia ini terlalu besar... dan kita terlalu kecil sekarang.”
Zienxi tersenyum lembut. Ia menatap adiknya dan berkata:
“Ketakutan bukanlah kelemahan, melainkan pengingat bahwa kita hidup dan punya sesuatu yang ingin dilindungi. Tapi keberanian... keberanian adalah saat kita tetap berjalan meski takut, meski terluka.”
Ia menepuk lembut kepala Vuyei. “Besok, kita akan pergi ke desa timur. Kita temukan tempat yang tenang untuk menata kembali hidup kita. Tapi malam ini... biarkan rindu ini hidup, agar kita tak melupakan siapa kita dan dari mana kita berasal.”
Vuyei menunduk, lalu memeluk kakaknya erat tanpa berkata apa-apa. Tangisnya perlahan mereda, digantikan kehangatan yang mengalir dari pelukan sang kakak.
Di luar jendela, angin malam kembali berembus, membawa harum bunga dari taman kecil di belakang penginapan. Bulan tetap bersinar, seolah ikut menjadi saksi bagi dua jiwa muda yang mencoba tetap berdiri... di atas puing-puing masa lalu mereka.
Embun pagi masih menempel lembut di dedaunan dan atap rumah-rumah di Kota Feifei. Udara pagi terasa segar, menyatu dengan sinar mentari yang perlahan menyapu langit. Kota itu mulai menggeliat dalam kesibukan: para pedagang manusia fana sibuk membuka lapak, dan beberapa kultivator tampak berjalan cepat, mungkin dalam pencarian Dao atau sekadar menjalani tugas harian mereka.
Di sebuah penginapan sederhana yang terletak di sisi kota, dua sosok muda duduk berhadapan, menikmati sarapan hangat. Lawzi Zienxi menyandarkan punggungnya santai ke kursi kayu, sesekali menyesap teh, sementara Vuyei, adiknya, tampak menyuapkan potongan kecil mantou ke mulut dengan wajah ceria.
“Kalau kita tinggal di kota ini sedikit lebih lama, aku bisa jadi penjual mantou yang sukses, kak,” ujar Vuyei sambil tersenyum nakal. “Siapa tahu bisa punya warung sendiri dan terkenal sampai ke sekte-sekte besar.”
Zienxi mengangkat alis. “Kau yakin? Kemarin saja kau hampir membakar dapur saat hanya diminta memanaskan air.”
Vuyei mendengus sambil menyilangkan tangan. “Itu karena airnya ngeyel, Kak. Dia mendidih terlalu cepat.”
Zienxi tertawa pelan. “Jadi sekarang airnya yang salah?”
Vuyei menunjuk dirinya sendiri dengan bangga. “Aku ahli dalam menyalahkan hal yang tak bisa membela diri. Air, tungku, sendok, semua bisa jadi tersangka.”
Mereka berdua tertawa ringan, menikmati momen kebersamaan yang jarang terjadi sejak tragedi menimpa keluarga mereka. Namun di balik canda itu, ada ketenangan yang mereka cari, dan mungkin… sedikit kedamaian.
Ketika matahari telah tepat di atas kepala dan langit tampak biru jernih, Zienxi berdiri dan merentangkan tangan, meregangkan badan. “Sudah waktunya. Kita harus mulai berjalan sebelum sore menjelang.”
Vuyei mengangguk, lalu mengambil tasnya. “Kak, kalau di desa itu nanti tidak ada mantou, aku akan mogok bicara selama… tiga menit.”
“Tiga menit? Wah, dunia pasti akan sepi selama itu,” balas Zienxi sambil tersenyum.
Mereka keluar dari penginapan dan melangkah di antara keramaian jalan kota. Aroma rempah-rempah dari pasar, suara tawa anak-anak yang berlarian, dan alunan nyanyian dari pengamen jalanan menjadi latar yang menyambut langkah mereka. Kota Feifei hidup, dan semangatnya terasa dalam setiap langkah yang mereka ambil.
Vuyei memandangi sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu. “Kak, menurutmu orang-orang di desa nanti ramah-ramah?”
“Kurasa ya. Biasanya desa kecil lebih damai daripada kota besar. Tapi… jangan langsung jual mantou dulu sebelum izin dari tetua desa.”
“Jadi aku harus menyuap mereka dengan mantou dulu ya?” tanya Vuyei serius.
Zienxi menoleh, menyipitkan mata. “Terserah, asal jangan sampai kau racuni mereka.”
“Tidak akan. Aku akan gunakan air yang tidak mendidih terlalu cepat,” balas Vuyei sambil menjulurkan lidah.
Langkah mereka pun terus berlanjut ke arah timur, menembus jalanan kota yang sibuk. Tujuan mereka: sebuah desa kecil yang terletak di pinggiran Kota Feifei, tempat mereka berharap bisa menetap sementara mungkin juga, memulai lembaran baru dalam perjalanan hidup mereka.
Terik matahari siang hari menyengat, menyapu tanah kering dan pepohonan yang mulai merunduk karena musim yang kering. Debu-debu beterbangan mengikuti langkah kaki dua anak muda yang perlahan mendekati pintu masuk sebuah desa kecil. Jalan tanah memanjang menuju deretan rumah-rumah sederhana yang dibangun dari kayu dan batu, atapnya diselimuti jerami kering yang bergoyang pelan ditiup angin lembut.
Vuyei mengedarkan pandangannya ke sekitar, bibirnya terangkat pelan membentuk senyum kecil. “Wah,” gumamnya lirih dengan mata berbinar. “Di sini ternyata cukup ramai ya… dan rumah-rumahnya… sederhana, tapi kelihatan nyaman. Ada ketenangan yang tidak kutemukan di kota.” Ia menoleh ke Zienxi yang masih diam di sampingnya. “Aku suka tempat ini.”
Zienxi hanya mengangguk kecil. Tatapannya menyapu jalanan desa yang ramai oleh aktivitas warga, beberapa perempuan tampak menjemur pakaian, anak-anak berlarian sambil tertawa, dan lelaki paruh baya sedang mengangkut air dari sumur.
Langkah mereka dihentikan oleh suara ramah dari seorang lelaki tua yang mengenakan kain abu-abu lusuh dan memikul keranjang berisi sayuran segar. Ia melangkah mendekat dengan senyum hangat.
“Selamat siang, anak muda,” sapa lelaki itu. “Kalian dari mana? Sedang apa kalian di desa kecil kami ini?”
Zienxi melangkah maju sedikit dan menatap lelaki itu dengan tenang. “Kami datang dari kota Holuang. Kami sedang mencari tempat untuk menetap… tidak lama, mungkin hanya sementara. Jika diperbolehkan, kami ingin tinggal di desa ini.”
Lelaki tua itu mengangguk-angguk perlahan sambil tersenyum lebih lebar. “Dari Holuang, ya? Perjalanan yang jauh dan melelahkan. Desa kami memang jarang kedatangan pendatang, tapi kami selalu menyambut siapa pun yang datang dengan damai. Untuk tinggal di sini, kalian harus mendapat izin dari tetua desa.”
“Apakah kami bisa menemui tetua sekarang?” tanya Zienxi sopan.
“Tentu. Aku akan tunjukkan jalannya,” jawab lelaki itu sambil melambaikan tangan, meminta mereka mengikutinya. “Namaku Sa’ren. Kalian?”
“Zienxi,” jawab pemuda itu pendek.
“Dan aku Vuyei,” sambung gadis di sebelahnya dengan suara lembut dan ramah.
“Nama-nama yang bagus,” komentar Sa’ren dengan tawa kecil. “Ayo, mari kita temui Tetua Ayji. Beliau tinggal di rumah paling selatan, dekat pohon tua besar yang akar-akarnya mencuat dari tanah.”
Mereka berjalan menyusuri lorong kecil yang dipagari oleh tanaman merambat. Udara di bawah rindangnya pepohonan terasa lebih sejuk. Setelah beberapa menit, mereka tiba di sebuah rumah kayu besar yang terlihat paling tua di antara rumah-rumah lain. Sa’ren berhenti dan berseru ke arah dalam rumah.
“Tetua Ayji! Ada tamu ingin menemui Anda!”
Beberapa detik kemudian, suara langkah kaki terdengar, dan seorang lelaki tua berambut perak keluar. Wajahnya penuh keriput namun memancarkan kebijaksanaan. Ia mengenakan jubah sederhana dengan tongkat kayu tua di tangan kanannya. Tatapannya menelisik kedua anak muda yang berdiri dengan sopan di hadapannya.
“Siapa mereka, Sa’ren?” tanyanya dengan suara berat namun lembut.
Sa'ren menunduk hormat. “Mereka dari kota Holuang, Tetua. Mereka ingin tinggal di desa ini untuk sementara waktu.”
Zienxi melangkah maju dan membungkuk hormat, tangan dikatupkan di depan dada. “Perkenalkan, saya Zienxi dan Vuyei. Kami datang dari Holuang. Karena satu dan lain hal, kami butuh tempat untuk tinggal sementara. Jika tetua berkenan… apakah kami diperbolehkan tinggal di desa ini, walau hanya untuk waktu yang singkat?”
Tetua Ayji menatap mereka cukup lama, sebelum bertanya dengan nada penasaran, “Kalian berdua… apakah kalian sepasang kekasih? Atau… suami istri?”
Zienxi segera menggeleng pelan. “Kami kakak beradik, Tetua. Tidak ada hubungan lain selain keluarga.”
“Begitu,” ucap Tetua Ayji sambil mengangguk pelan. “Kalian tampak lelah. Aku bisa melihat ada banyak beban dalam langkah kalian… Namun, desa ini terbuka untuk orang yang datang dengan niat damai. Di ujung desa, dekat sungai, ada sebuah rumah kosong yang ditinggalkan keluarga lama. Kalian boleh tinggal di sana.”