LightReader

Chapter 43 - Chapter 43 – A Small Haven by the River

Chapter 43 – A Small Haven by the River

Zienxi menunduk dalam-dalam sambil kembali mengatupkan kedua tangan. “Terima kasih, Tetua Ayji. Kami sangat menghargai kebaikan hati Anda.”

Tetua Ayji tersenyum tipis. “Kalian bisa tinggal selama kalian tidak membawa masalah. Desa ini damai… dan aku berharap kedamaian itu tetap terjaga.”

“Ya, kami akan menjaga ketenangan desa ini, Tetua,” jawab Vuyei dengan sopan, wajahnya penuh rasa syukur.

“Sa'ren, tolong antar mereka ke rumah itu. Pastikan mereka tahu batas-batas wilayah desa,” ujar Ayji.

“Baik, Tetua.” Sa’ren membungkuk lalu memberi isyarat kepada mereka. “Ayo, anak-anak. Mari kuantar kalian.”

Dan begitu mereka berbalik meninggalkan rumah tetua, langkah-langkah kecil itu mulai menapaki babak baru dalam pelarian mereka di sebuah desa kecil yang menenangkan, di tepi sungai yang mungkin menyimpan takdir yang belum terungkap.

Jalan setapak yang mereka telusuri dipenuhi bebatuan kecil dan rerumputan liar yang tumbuh liar di sela-sela jalur tanah. Pak tua Sa'ren memimpin di depan dengan langkah lambat namun mantap. Di tangan kanannya, ia memegang bakul yang berisi sayuran. Di sepanjang perjalanan, ia mulai menjelaskan aturan-aturan dasar desa dengan suara berat dan tenang.

“Desa Feifei ini memang kecil, tapi kami menjaga kedamaian dengan sangat serius,” ucapnya sambil menoleh ke arah Zienxi dan Vuyei. “Kami tidak terlalu mempermasalahkan asal-usul seseorang, selama mereka tidak membawa masalah ke tempat ini.”

Zienxi mengangguk dengan sopan. “Kami hanya ingin beristirahat untuk sementara waktu, pak tua. Kami tidak akan menimbulkan keributan.”

“Bagus, bagus. Di desa ini, setiap pagi akan terdengar suara lonceng bambu, itu tanda dimulainya aktivitas desa. Dan setiap malam, saat bintang pertama muncul, kami semua akan menyalakan lentera di depan rumah,” lanjutnya sambil menunjuk beberapa lentera gantung yang tampak tergantung di tiap-tiap rumah yang mereka lewati. “Itu sebagai penghormatan pada leluhur dan tanda bahwa rumah ini terbuka bagi keberkahan.”

Vuyei tersenyum sambil mengangguk. “Menarik juga. Rasanya seperti tinggal dalam cerita dongeng.”

Pak tua Sa'ren terkekeh. “Kalian anak muda suka membandingkan segalanya dengan dongeng. Tapi ingat, dongeng pun bisa berisi bahaya jika tak waspada.”

Tak lama kemudian, mereka tiba di ujung desa, di mana pepohonan tumbuh lebih lebat dan suara gemericik sungai terdengar jernih. Sebuah rumah sederhana dari kayu berdiri dengan tenang di sana. Dindingnya sedikit kusam, namun masih kokoh. Di sekitar halaman tumbuh beberapa semak liar, dan dedaunan kering berserakan tertiup angin.

“Inilah rumahnya,” ujar pak tua Sa'ren sambil menunjuk. “Sudah lama tidak ditempati. Tapi pondasinya masih kuat. Kalian bisa memperbaiki atau membersihkan seperlunya. Sungai di belakang cukup jernih untuk mandi dan mengambil air.”

Zienxi menundukkan kepala dengan hormat. “Terima kasih banyak atas kebaikanmu, pak tua.”

Vuyei pun ikut membungkuk ringan. “Ya, terima kasih. Kami sangat menghargainya.”

Pak tua Sa'ren tersenyum hangat. “Kalau begitu, aku pamit. Jika kalian butuh sesuatu, rumahku ada di dekat balai bambu desa.” Ia mengangguk pelan, lalu berjalan kembali ke arah desa, meninggalkan mereka berdua di depan rumah.

Zienxi dan Vuyei saling pandang sejenak. Rumah itu memang tampak sederhana, tapi di mata mereka, tempat itu memberi nuansa hangat dan tenang. Vuyei tertawa kecil sambil membuka pintu rumah yang sedikit berderit.

“Sepertinya harus bersih-bersih sedikit. Atau… banyak,” katanya sambil menutup hidung saat debu berterbangan.

Zienxi tersenyum simpul. “Kamu bersihkan bagian belakang. Aku akan bereskan ruangan utama.”

Dengan sedikit kekuatan spiritual, Zienxi mengangkat potongan-potongan kayu dan mengubahnya menjadi meja serta dua kursi kecil. Ia merapikan sudut rumah dan bahkan menciptakan dua kasur tipis dari anyaman energi spiritual yang nyaman dipandang. Ia menghias dinding dengan sulur kayu kecil berbentuk spiral.

Di luar, Vuyei membersihkan halaman belakang. Dengan jentikan jari, angin tipis mengalir dari telapak tangannya, menyapu dedaunan kering ke sudut halaman. Ia tertawa saat salah satu daun beterbangan ke wajahnya.

“Aduh! Sepertinya dedaunnya belum mau pergi!” ujarnya sambil tertawa geli. “Kakak Zienxi! Sepertinya mereka lebih tertarik padaku daripada ke tumpukan sampah!”

Zienxi melongok dari jendela. “Mungkin karena kamu mirip makhluk daun.”

“Makhluk daun?” Vuyei memutar bola matanya. “Kalau aku makhluk daun, kamu makhluk… meja! Datar dan dingin!”

Mereka tertawa bersamaan. Suara mereka berpadu dengan suara alam sekitar gemericik sungai, hembusan angin, dan cicit serangga di semak-semak.

Setelah pekerjaan selesai, mereka duduk di halaman belakang. Vuyei menyeduh air dari kendi yang mereka temukan dan menuangkannya ke dalam dua cangkir bambu sederhana. Matahari mulai condong ke barat, dan sinarnya menerpa permukaan sungai, membuat air berkilau seperti kaca cair.

“Aku suka tempat ini,” ujar Vuyei sambil menyeruput air hangat. “Tenang. Damai. Tak ada yang mengejar-ngejar kita.”

Zienxi menatap langit sore yang mulai memerah. “Ya. Tapi ketenangan ini tidak akan bertahan selamanya. Kita hanya berhenti sebentar.”

Vuyei mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi setidaknya, mari kita nikmati kedamaian ini selagi masih bisa. Walau hanya sebentar.”

Zienxi mengangguk, dan untuk sesaat, dunia terasa seolah berhenti bergerak. Hanya tawa mereka dan suara alam yang menjadi saksi kehadiran dua jiwa yang sedang beristirahat di tengah perjalanan panjang mereka.

Keesokan paginya, kabut tipis masih menggantung di udara saat Zienxi dan Vuyei bersiap meninggalkan rumah sederhana mereka. Suasana desa masih sunyi, hanya suara burung-burung pagi dan langkah ringan mereka yang terdengar.

"Ayo, sebelum desa mulai ramai," kata Zienxi, menggantungkan kantung air di pinggangnya.

Vuyei mengangguk sambil menguap kecil. "Jalan pagi itu baik untuk kulit, ya kan? Tapi kalau ketemu ular, aku serahkan ke kakak."

Zienxi tertawa pelan. "Kalau ular itu cerdas, dia malah kabur dari kamu, bukan sebaliknya."

Perjalanan mereka menelusuri hutan yang tidak terlalu lebat, tapi cukup untuk menyembunyikan sinar matahari. Suara dedaunan yang berdesir dan aroma tanah basah membuat suasana terasa damai.

Tak lama kemudian, Vuyei menunjuk ke arah semak-semak. "Zienxi, lihat itu! Ada gua."

Mereka mendekat dengan hati-hati, memastikan tidak ada binatang buas yang bersarang di dalamnya. Gua itu kecil, tapi cukup dalam, dan di dalamnya terdapat sebuah batu besar yang terlihat kokoh dan bersih. Cahaya yang masuk dari celah atas menciptakan suasana yang sunyi dan sakral.

"Tempat ini... tenang," ujar Zienxi, matanya menyapu seluruh gua.

"Dan tidak ada laba-laba raksasa. Setidaknya belum," seloroh Vuyei sambil tertawa kecil.

Mereka duduk bersila, mengambil posisi lotus yang nyaman di atas batu dan tanah datar. Saat keduanya menutup mata, energi spiritual di sekitar gua seolah menyambut mereka, meresap perlahan ke dalam tubuh.

Namun, meski aliran energi mulai terasa, Zienxi membuka sedikit matanya dan melirik ke arah Vuyei. Ia tahu, untuk bisa menembus ke Meridian Awakening Stage, mereka tidak hanya butuh tempat dan ketenangan, tetapi juga Pil Aktivasi Nadi.

“Pil itu… kunci untuk membangunkan jalur meridian utama kita,” pikir Zienxi dalam diam. “Tanpanya, energi ini hanya mengalir di permukaan, belum mampu menggugah inti kesadaran tubuh spiritual.”

Sementara itu, Vuyei juga menyadari hal yang sama. Ia membuka mata dan memandang ke arah langit-langit gua. "Kita butuh pil itu, ya?" bisiknya tanpa menoleh.

Zienxi mengangguk pelan. "Ya. Tapi tidak sekarang. Kita pelajari dulu pernapasan dan kendalikan aliran ini. Saat tubuh siap, baru kita cari Pil Aktivasi Nadi."

Vuyei memejamkan mata lagi, lalu tersenyum kecil. "Setidaknya gua ini bagus untuk sembunyi kalau aku malas kerja di rumah."

"Kalau kamu malas kerja, nanti aku suruh kamu bersihkan halaman pakai gigi."

"Aku bersihin pakai mulut sih bisa, tinggal tiup daun-daunnya. Tapi itu daun kering atau daun kutukan? Hati-hati, kak, nanti rumah kita berubah jadi hutan."

Mereka berdua tertawa kecil, namun segera kembali diam, menenangkan diri, dan fokus pada energi yang kini mulai berputar pelan di dalam tubuh mereka. Cahaya lembut pagi merambat masuk dari mulut gua, seolah memberkati perjalanan mereka yang baru dimulai di dunia kultivasi.

Sementara Zienxi dan Vuyei masih berada di dalam gua, menyatu dalam keheningan alam dan energi spiritual yang perlahan mengalir ke dalam tubuh mereka, suasana desa pun mulai berubah.

Matahari sore menggantung rendah di langit barat, sinarnya yang keemasan membelai atap-atap jerami dan tanah lapang desa yang sederhana. Bayangan pohon memanjang, dan udara menjadi sedikit lebih sejuk. Angin membawa aroma kayu bakar dan rerumputan, menenangkan jiwa-jiwa yang lelah setelah hari yang panjang.

Di desa itu, para warga, baik tua maupun muda, mulai keluar dari rumah masing-masing, membawa lentera-lentera yang sudah dirangkai dari bambu dan kertas tipis berwarna pastel. Beberapa lentera berbentuk bulat, ada pula yang memanjang seperti silinder, dengan pola-pola awan dan bunga plum digambar di permukaannya.

“Letakkan satu di dekat pagar, jangan lupa diikat, angin malam biasanya suka nakal,” kata seorang ibu sambil tersenyum pada anaknya.

“Iya, Ibu!” sahut si anak kecil sambil berlari, lentera kecil tergoyang di tangannya.

Tiap rumah menyalakan lentera di depan pintu, membuat jalur desa perlahan dipenuhi cahaya temaram yang hangat. Beberapa warga saling menyapa, dan tawa ringan terdengar di antara suara burung-burung yang kembali ke sarang. Suasana damai ini bukan hanya bagian dari rutinitas, melainkan juga tradisi lama konon untuk menghormati para leluhur dan tanda bahwa rumah ini terbuka bagi keberkahan.

More Chapters