Tak terasa, tiga hari telah berlalu sejak Lawzi Zienxi dan adiknya, Vuyei, mulai berkultivasi di dalam gua kecil dekat bukit. Sinar matahari siang mulai menyorot masuk melalui celah di atas gua, menyinari wajah keduanya yang duduk bersila dalam posisi lotus. Aura tenang dan damai menyelimuti tempat itu.
Zienxi perlahan membuka matanya, menarik napas panjang sebelum memandang adiknya yang juga mulai menggeliat ringan, membuka matanya dan meregangkan tubuh mungilnya.
“Sepertinya… kita harus cari Pil Aktivasi Nadi,” ucap Zienxi pelan, suaranya dalam dan datar seperti biasa. “Mungkin ada di pelelangan kota. Kita tak akan bisa menembus ranah berikutnya tanpa bantuan itu.”
Vuyei mengangguk kecil, lalu menepuk-nepuk lututnya. “Setuju, Kak. Badanku udah pegal duduk terus. Kulitku juga udah kayak akar pohon… kering semua.”
Zienxi hanya menatapnya sebentar sebelum berdiri dan membenarkan jubahnya. Mereka pun meninggalkan gua, melangkah perlahan menuju kota.
Sesampainya di pusat Kota Feifei, suasana terasa hidup dan ramai. Bangunan-bangunan tua dari batu dan kayu berdiri kokoh di sisi-sisi jalan, dengan atap-atap melengkung khas arsitektur zaman dahulu. Beberapa toko obat, pandai besi, hingga warung teh berjejer di kanan-kiri jalan. Pedagang kaki lima sibuk menjajakan barang dagangan mereka: dari kain langka hingga potongan tulang binatang buas yang katanya berisi energi spiritual.
Vuyei berjalan di sisi kiri Zienxi, sesekali menoleh ke arah para penjaja yang berteriak menawarkan barang. Tapi tiba-tiba, tangan mungilnya menggenggam erat pergelangan tangan kakaknya.
Zienxi menghentikan langkah dan melirik adiknya dengan kening sedikit menyipit. “Kenapa kamu pegang-pegang tangan kakak?”
Vuyei menyengir lebar, matanya menyipit penuh kepolosan. “Hehe, aku takut Kak… takut ada orang jahat yang rebut aku dari Kakak. Jadi aku pegang aja, biar semua orang tahu aku milik Kakak.”
Zienxi hanya memandangnya tanpa ekspresi. “Kamu pikir kamu barang yang bisa direbut begitu saja?”
“Tentu aja bisa!” Vuyei membalas cepat. “Lihat aku, Kak. Imut, lucu, pintar, dan sangat menggemaskan! Siapa yang nggak mau rebut aku? Bisa-bisa nanti ada pangeran dari kerajaan ngajak aku kawin lho.”
Zienxi menarik tangannya perlahan dari genggaman Vuyei. “Kamu terlalu banyak nonton pertunjukan keliling.”
“Tapi aku serius!” Vuyei terus meracau. “Bayangin Kak, aku diculik, lalu dikurung di istana penuh harta, terus ditawarin jadi permaisuri muda! Tapi hatiku tetap untuk Kakak! Jadi aku kabur tengah malam sambil bawa pil dan harta, terus kembali ke sisi Kakak!”
“Kalau kamu kabur bawa harta, itu pencuri namanya,” sahut Zienxi datar sambil berjalan lagi.
Vuyei mengikuti sambil terkekeh. “Kak Zienxi~ jahat, nggak romantis banget~”
“Aku kakakmu.”
“Itu bukan alasan untuk dingin gitu. Kamu harusnya bilang, ‘Aku akan lindungi kamu sampai akhir hayat’ seperti itu…”
“...”
“Ayo coba, Kak. Ulang, bilang kayak tadi.”
Zienxi berhenti lagi dan menatap Vuyei. “Aku akan lindungi kamu sampai akhir hayat... asal kamu diam sekarang.”
“Waaa… Kakak Zienxi romantis juga ternyata,” Vuyei menggoda dengan senyum penuh kemenangan.
Mereka pun terus berjalan ke arah paviliun pelelangan, menyusuri jalan yang dipenuhi warna-warni tenda dan aroma khas rempah-rempah dari pedagang keliling. Di kejauhan, bangunan tinggi dengan atap merah dan simbol emas berbentuk daun tujuh sisi terlihat berdiri megah di ujung jalan.
Langkah kaki mereka berdua menyusuri jalan berbatu kota kecil itu, diiringi suara riuh pasar yang mulai mereda menjelang senja. Bangunan dengan atap melengkung tampak berjajar rapi, dan aroma herbal dari toko-toko kecil sesekali menyelinap ke hidung mereka. Vuyei masih saja menggenggam erat tangan kakaknya, tak menunjukkan tanda-tanda ingin melepaskan.
Zienxi melirik sekilas ke arah tangan mereka yang menyatu, namun tak berkata apa pun. Ia sudah terbiasa dengan kebiasaan adiknya itu. Memberitahu Vuyei pun hanya akan sia-sia; gadis itu takkan mendengarkan.
“Masih belum mau lepas?” tanya Zienxi tenang, seolah menegur angin.
“Kalau kau tak keberatan, kenapa harus lepas?” Vuyei menjawab, nada suaranya ringan tapi lembut, seperti embusan daun jatuh.
Zienxi tak menanggapi, hanya menghela napas pendek dan membiarkan adiknya tetap seperti itu.
Tak lama kemudian, mereka tiba di depan bangunan besar dengan atap berlapis dan lambang giok berbentuk palu kecil tergantung di atas pintu gerbangnya. Sebuah papan bertuliskan "Paviliun Xu" menggantung rapi di sana.
Saat keduanya hendak melangkah masuk, seorang pria tua berseragam coklat lusuh menghentikan mereka. Tatapannya tajam tapi tidak mengancam. Ia bukan kultivator, itu terlihat jelas dari tubuhnya yang tidak menyimpan energi spiritual.
“Hei, kalian ingin masuk?” tanyanya sambil mengangkat alis. “Pelelangan belum dimulai, anak-anak.”
Zienxi menghentikan langkah, menatap lurus ke arah tetua itu dengan wajah datar khasnya.
“Lalu… kapan pelelangan akan dimulai?” tanyanya singkat.
“Sebulan lagi,” jawab si pria sambil membenahi jubahnya. “Baru sebulan lagi kami akan membuka pintu pelelangan. Masih banyak barang yang harus dikumpulkan.”
Zienxi sempat mengerutkan keningnya. “Apakah dalam pelelangan itu akan ada pil?”
“Pil?” pria itu mengangkat kepala, lalu mengangguk pelan. “Tentu saja. Beberapa pil langka, harta spiritual, bahkan senjata semuanya akan dilelang. Kalau kalian ingin membelinya, siapkan batu logam atau bawa barang berharga untuk ditukar.”
Vuyei yang masih menggenggam tangan kakaknya menoleh dan bertanya pelan, “Kak… apakah kita akan menunggu sebulan lagi di kota ini?”
Saat ia berbicara, mata pria tua itu secara tak sengaja memperhatikan Vuyei. Tangannya seputih giok, rambutnya panjang tergerai sebagian dan diikat rapi, wajahnya polos namun menenangkan. Tatapan lembut dan senyumnya menambahkan aura suci dalam dirinya. Ia menggenggam tangan Zienxi tanpa ragu, dan pria itu mendadak bergumam pelan dalam hati.
Pasangan muda…? Mereka terlihat sangat cocok…
Zienxi tak menggubris tatapan pria tua itu dan menjawab singkat, “Baiklah, terima kasih atas informasinya. Kami akan kembali sebulan lagi.”
Pria itu mengangguk sopan. “Silakan, anak muda. Kalau kalian kembali sebulan lagi, mungkin kalian akan mendapat keberuntungan.”
Setelah mereka berjalan menjauh dari paviliun, Vuyei masih menatap ke depan tanpa berkata apa pun. Zienxi akhirnya membuka suara.
“Kita akan kembali lagi dalam sebulan. Semoga saja Pil Aktivasi Nadi benar-benar tersedia di pelelangan itu.”
Vuyei mengangguk pelan. “Kau yakin kita tidak mencari ke tempat lain?”
“Kita bisa cari sambil menunggu. Tapi pelelangan itu… tempat terbaik untuk mendapatkannya dengan harga yang layak.”
Sesaat kemudian, Vuyei menyenggol lengan Zienxi dan tersenyum tipis. “Kau tahu... si tetua tadi sepertinya mengira kita ini sepasang kekasih.”
Zienxi menoleh cepat. “Apa?”
Vuyei tertawa kecil, suaranya ringan. “Kau tidak lihat? Tatapannya ke tangan kita… dan ke wajahku.”
“Yah… mungkin dia perlu pil untuk memperjelas penglihatannya,” jawab Zienxi datar, namun sudut mulutnya sedikit terangkat.
“Jangan-jangan... kau menyukainya, tapi malu mengaku.”
Zienxi menatapnya datar. “Kau mau kucampakkan di kota ini?”
Vuyei menjulurkan lidah, masih tertawa pelan. “Kau tak akan sanggup.”
Cahaya kota Feifei mulai menyala seperti bintang-bintang kecil yang turun ke bumi. Lampu-lampu lentera menggantung di sepanjang jalan, berayun pelan ditiup angin malam. Suasana kota yang biasanya dipenuhi hiruk pikuk siang hari, kini berubah menjadi pemandangan yang begitu tenang namun semarak.
Zienxi berdiri di tepi jalan yang mengarah ke luar kota, mengenakan jubah hitam panjangnya, rambut hitamnya tergerai melewati bahu. Di balik wajahnya yang tenang dan dingin, pikirannya masih dipenuhi dengan aliran energi spiritual yang tadi pagi mereka serap di dalam gua.
"Aku ingin kembali ke desa," ujarnya pelan, matanya menatap lurus ke arah luar kota. "Aku merasa akan lebih fokus berkultivasi di sana. Kita bisa kembali ke gua besok."
Namun sebelum ia melangkah, tangan kecil dan hangat menarik ujung lengan jubahnya.
“Jangan dulu pulang, kak,” suara Vuyei terdengar antusias. “Lihat sekelilingmu! Ini malam yang indah. Ayo kita jalan-jalan. Aku dengar malam hari di kota Feifei itu luar biasa.”
Zienxi menatap adik sepupunya itu dengan tatapan datar. “Aku tidak tertarik.”
“Tapi kita belum pernah melihat ini sebelumnya di Holuang,” rengek Vuyei sambil mencubit lengan Zienxi dengan cepat. “Masa mau jadi kultivator hebat tapi tidak tahu cara menikmati hidup?”
Zienxi meringis, mengelus lengannya yang dicubit, lalu akhirnya tersenyum kecil. “Baiklah... Tapi hanya sebentar.”
“Yay!” seru Vuyei senang, lalu dengan girang menggandeng tangan Zienxi dan menyeretnya ke arah pusat kota.
Mereka tiba di sebuah taman luas di tengah kota, tempat yang disebut warga Feifei sebagai Lapangan Luhai, semacam balai kota terbuka. Di sana telah berkumpul banyak orang, manusia fana dan beberapa kultivator dari berbagai klan. Anak-anak kecil berlarian mengejar bayangan lentera, pasangan muda-mudi duduk berdua di bangku taman, sementara para orang tua duduk bersandar menikmati pertunjukan di tengah lapangan.
Di panggung sederhana yang diterangi lentera merah dan kuning keemasan, beberapa gadis muda sedang menari dengan anggun. Gerakan mereka luwes, seperti air mengalir, dan pakaian mereka berkilau saat terkena cahaya. Di sampingnya, seorang kultivator wanita dengan jubah biru langit menunjukkan sihirnya menciptakan ilusi kupu-kupu bercahaya yang beterbangan di atas penonton.
Vuyei berdecak kagum. “Waaah... indah sekali. Seperti mimpi. Lihat, kak! Kupu-kupu itu bercahaya!”
Zienxi hanya berdiri tegak, tangan di balik punggung, memandangi semua itu dengan ekspresi datar.
Vuyei menoleh padanya dan mengerucutkan bibirnya. “Kak… tersenyumlah sedikit. Ini menyenangkan, loh. Masa tampan-tampan begini mukanya datar terus? Kaya batu giok dingin.”