Chapter 45 – Warmth Between Bites (Hangat di Antara Suapan)
Zienxi menoleh pelan. “Batu giok tidak bisa bicara.”
“Ya, tapi kalau bisa, pasti dia bilang ‘aku lelah dingin terus’,” sahut Vuyei cepat.
Zienxi mendesah pelan, tapi kemudian tertawa kecil. “Kau memang banyak akal.”
“Dan kau memang banyak dinginnya,” balas Vuyei dengan ekspresi pura-pura kesal, lalu mencubit lengan kakaknya lagi kali ini lebih keras.
“Aduh! Itu sakit, tahu!” keluh Zienxi, akhirnya tersenyum lebih lebar.
“Nah, gitu dong!” seru Vuyei riang. “Senang melihatmu tersenyum. Lebih ganteng sepuluh kali lipat!”
Zienxi mengangkat alis. “Jadi biasanya aku jelek?”
“Bukan jelek, cuma... seperti patung yang belum dipahat hatinya,” ucap Vuyei sambil menahan tawa.
Zienxi mengangguk seolah setuju. “Kau memang licik, Vuyei. Tapi aku akui, ini cukup menyenangkan.”
Vuyei tertawa puas. “Baiklah, sekarang waktunya tahap dua... ayo cari makanan! Aku lapar!”
Zienxi hanya mengangguk, matanya menyapu sekeliling. “Makanan? Jangan bilang kau mau makan semua kedai yang ada di kota ini.”
“Kalau bisa sih... iya,” sahut Vuyei santai.
“Aku seharusnya pulang sendiri tadi...” gumam Zienxi, tapi ia tetap berjalan mengikuti adiknya.
Di tengah riuhnya kota, Vuyei masih setia menggenggam tangan kakaknya. Meski langkah mereka menyusuri pusat kota dipenuhi kesibukan dan suara-suara riang para pedagang yang menjajakan dagangan, Vuyei lebih sibuk mencari-cari satu hal: kedai makan.
"Eh, kak! Lihat itu!" serunya sambil menunjuk sebuah kedai sederhana di sudut jalan. Terlihat ramai dengan pelanggan, aroma daging panggang dan roti kukus yang melayang di udara membuat perut Vuyei bergemuruh tanpa malu.
Zienxi menoleh sejenak, lalu mengangguk pelan. "Kalau kau mau, kita ke sana."
"Aku lapar sekali, seperti serigala yang baru keluar dari gua tiga tahun," ucap Vuyei sambil menarik kakaknya masuk ke kedai.
Begitu mereka duduk, seorang pria setengah baya, bertubuh gempal dengan senyum ramah, menghampiri mereka. "Selamat datang, kalian berdua! Mau makan dan minum apa hari ini?"
Vuyei dengan cepat menjawab, “Dua porsi mantou yang empuk, daging panggang... hmm, kalau bisa yang agak pedas ya, lalu tehnya teh bunga, yang harum tapi tidak terlalu pahit. Oh, dan beri kami tempat duduk yang paling nyaman!”
Pemilik kedai terkekeh. “Kalian duduk di tempat paling empuk yang kami punya, nona muda. Mohon tunggu sebentar.”
Setelah pria itu berlalu, Vuyei menyenderkan dagunya di atas tangannya, menatap kakaknya dengan lembut.
"Kak..." ucapnya perlahan, "apa wajah kakak memang sudah beku sejak lahir?"
Zienxi hanya menatap lurus ke depan, ekspresinya dingin seperti biasa.
"Serius, kak, coba deh senyum dikit. Kayak... gini!" Vuyei menyeringai lebar dengan gigi terlihat, lalu menirukan gaya bicara orang kota, “’Selamat datang di kedai kami! Wajah saya cerah karena hidup saya cerah!’ Gitu loh!”
Zienxi tetap diam.
"Ya ampun, kak, jangan-jangan wajah kakak itu satu paket dengan es dari puncak gunung tertinggi di benua ini," canda Vuyei lagi sambil tertawa kecil. "Bahkan gunung berapi pun bisa luluh kalau lihat aku senyum. Tapi kakak? Batu pun minder liat ekspresi kakak."
Zienxi akhirnya melirik adiknya, "Aku tidak peduli dengan senyum."
“Yaaah, gimana ada yang mau menyukai kakak kalau wajahnya kayak patung?” gumam Vuyei sambil memonyongkan bibir.
“Aku tidak butuh disukai,” sahut Zienxi dengan nada datar.
Vuyei pura-pura tersentak, meletakkan tangan di dadanya, “Wah, ini... ini tragedi. Seorang pemuda tampan, dingin, dan kuat... tapi jiwanya penuh kebekuan! Harus diselamatkan!”
Zienxi hanya menghela napas perlahan. “Berisik.”
Belum sempat Vuyei membalas, pemilik kedai datang membawa nampan besar berisi makanan. Mantou kukus yang mengepul, daging panggang yang harum menggoda, dan dua cangkir teh bunga yang masih mengepulkan uap.
"Wah!" sorak Vuyei senang, matanya bersinar. "Makanan surgaaa!"
Ia langsung mengambil sepotong mantou, mencelupkannya sedikit ke saus pedas, lalu menyuapkannya ke mulut. Sambil mengunyah, dia melirik kakaknya yang masih belum bergerak.
“Kak, ayo makan... kok diem aja?” gumamnya dengan mulut penuh.
"Aku belum lapar," jawab Zienxi pelan.
Vuyei menatapnya, lalu dengan cepat mengambil sendok kayu kecil, menyendokkan potongan daging, dan menyodorkannya ke mulut kakaknya.
“Kak, aaaa... suap pertama dari adik tercinta,” ujarnya manja.
Zienxi menoleh dengan kening mengkerut. “Tidak perlu. Aku bisa sendiri.”
“Tapi aku ingin nyuapin! Kak, anggap ini bagian dari terapi emosional. Siapa tahu wajah kakak bisa jadi lebih lembut habis makan,” kata Vuyei sambil tertawa kecil.
Setelah beberapa detik saling tatap, akhirnya Zienxi menyerah, membuka mulutnya sedikit. Vuyei dengan riang menyuapkan makanan itu dan tersenyum lebar.
“Lihat tuh! Kakak makan dari tangan Vuyei, dunia pasti akan tercatatkan ini sebagai hari bersejarah,” katanya dramatis sambil memegang dadanya.
Zienxi mengunyah perlahan dan berkata datar, “Kau terlalu dramatis.”
“Tapi kakak suka, kan?” godanya sambil mengedipkan mata.
Zienxi hanya mengalihkan pandangan ke luar jendela, tapi di matanya ada sedikit kilau halus mungkin kehangatan yang sulit ia akui, muncul dari dalam, tersembunyi di balik lapisan ketenangannya yang biasa.
Vuyei melahap makanannya dengan cepat. Suara sendoknya beradu dengan mangkuk, mulutnya penuh tapi tetap bisa tertawa kecil sambil sesekali menatap Zienxi yang masih makan dengan perlahan, tenang seperti biasa.
“Kenapa makannya lambat banget sih, Kak? Nanti makanannya dingin lho,” katanya sambil menyeruput kuah terakhir dari mangkuknya.
Zienxi mengangkat wajahnya, menatap adiknya yang kini mengelus perut kekenyangannya dengan ekspresi puas. “Karena aku gak sedang dikejar burung api yang kelaparan,” jawabnya datar.
“Hei! Itu penghinaan terselubung ya?” Vuyei menyipitkan matanya sambil nyengir. Ia lalu mengambil sesendok nasi dari mangkuk kakaknya dan mencoba menyuapinya. “Ayo dong, biar cepet habis!”
Zienxi dengan lembut menepis tangan adiknya. “Sudah, aku bisa sendiri.”
“Pelit,” gumam Vuyei sambil manyun.
Setelah selesai, mereka berdua keluar dari rumah makan itu. Angin malam membelai lembut wajah mereka, dan cahaya bulan membentuk siluet samar di jalanan batu kota Feifei. Vuyei menggandeng tangan kakaknya tanpa ragu.
“Kita pulang,” ucap Zienxi singkat.
“Eeeh? Jangan dulu dong! Masih belum tengah malam, masa langsung pulang sih?” rengek Vuyei, menggoyang-goyangkan tangan kakaknya seperti anak kecil yang minta permen.
Zienxi menatap adiknya beberapa detik, lalu menghela napas dan mendengus pelan, “Kau seperti anak kecil yang baru pertama kali diajak ke pasar malam.”
“Memang aku anak kecil, Kak,” jawab Vuyei dengan nada menang. “Tapi aku anak kecil yang menggemaskan, jadi gak boleh ditolak!”
Mereka berjalan menyusuri jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu lentera menerangi sisi jalan, dan beberapa suara obrolan samar terdengar dari rumah-rumah yang masih menyala.
“Apakah kau tidak bosan menggandeng tanganku?” tanya Zienxi tiba-tiba, tanpa menoleh.
Vuyei melirik ke atas, tersenyum penuh kemenangan. “Aku nggak bosan… karena tangan kakakku ini dingin banget. Serasa pegang batu giok!”
Zienxi menoleh pelan, menatapnya. “Terima kasih, aku merasa seperti artefak kuno sekarang.”
“Haha! Tapi artefaknya tampan dan dingin, cocok dijadikan hiasan di ruang tamu!” goda Vuyei sambil tertawa.
Zienxi hanya tersenyum tipis.
Saat mereka melewati salah satu persimpangan yang masih cukup ramai, tiga orang menghampiri mereka. Dua wanita dan satu laki-laki. Salah satu dari wanita itu melambaikan tangan dengan ramah.
“Halo! Maaf mengganggu, tapi kami belum pernah melihat kalian sebelumnya. Kalian dari mana?” tanya wanita berambut pendek dengan senyum cerah.
“Kami dari kota Holuang, wilayah barat,” jawab Vuyei cepat, sambil tersenyum lebar.
Ketiga orang itu tampak terkejut. Pria yang ada di tengah mengangguk pelan. “Wow… dari kota Holuang sampai ke kota Feifei? Itu perjalanan yang cukup jauh. Kalian sedang apa di sini?”
Vuyei menjawab ringan, “Kami hanya ingin tinggal sementara di sini. Mencari suasana baru.”
“Begitu ya?” gumam pria itu sambil melirik Zienxi yang dari tadi hanya diam di samping Vuyei dengan wajah tanpa ekspresi.
Salah satu wanita lainnya, yang rambutnya dikepang dua, mengedipkan mata nakal ke arah Vuyei. “Kalau boleh tahu… siapa lelaki yang berdiri di sebelahmu ini?”
Vuyei menoleh ke kakaknya, lalu kembali menatap mereka dengan senyum jahil. “Oh, dia? Dia suamiku.”
Tiga orang itu membelalak. “Suamimu?! Serius?!” seru wanita yang rambutnya pendek. “Dia… kelihatannya datar banget.”
“Dia memang begitu,” kata Vuyei sambil menepuk tangan Zienxi yang masih ia genggam. “Datar kayak meja teh, tapi hatinya lembut kayak puding.”
Zienxi melirik adiknya tajam. “Aku bisa dengar itu.”
Vuyei tertawa kecil. “Bagus. Aku memang ngomong biar Kakak dengar. Biar tahu betapa aku menghargai sisi lembutmu.”
Pria di antara ketiga orang itu bersiul kecil. “Kalian pasangan yang… unik.”
“Terima kasih,” jawab Zienxi datar.
“Tapi tunggu, seriusan kalian suami istri?” tanya si wanita berkepang.
Vuyei memutar bola matanya. “Yaaa, tidak juga sih. Dia kakakku. Tapi mukanya sering disalahpahami orang sebagai suami karena terlalu dewasa dan… misterius.” Ia menyenggol Zienxi dengan bahu.
“Aku tidak misterius,” potong Zienxi.
“Lihat, kan?” Vuyei berbalik ke tiga orang itu. “Bahkan dia menyangkal fakta yang jelas. Itu misterius level tinggi!”
Tawa kecil pun pecah di antara mereka.