Langit fajar mulai cerah ketika Zienxi dan Vuyei meninggalkan rumah kecil mereka yang tenang di desa bagian timur Kota Feifei. Udara pagi terasa sejuk dan basah oleh embun yang masih menempel pada dedaunan. Di kejauhan, hutan yang menaungi gua tempat mereka berkultivasi tampak tenang dan diselimuti kabut tipis yang menari di antara pepohonan tinggi.
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak sempit yang berkelok di antara pepohonan, suara dedaunan yang berbisik ditiup angin lembut menemani langkah mereka. Vuyei, seperti biasa, bernyanyi kecil, dan berharap bisa menemukan tanaman herbal yang pernah diajarkan oleh Tetua Miwa. Sedangkan Zienxi tampak tenang, tatapannya lurus ke depan, pikirannya tertuju pada meditasi hari ini.
Saat mereka tiba di mulut gua, Vuyei menghentikan langkahnya.
“Kak, aku ingin mencari sesuatu dulu sebentar. Mungkin bunga atau herbal… cuma sebentar saja,” katanya sambil tersenyum kecil, menatap kakaknya penuh harap.
Zienxi menoleh dan mengangguk tanpa banyak bicara.
“Hati-hati. Jangan pergi terlalu jauh.”
“Baiklah,” jawab Vuyei dengan ringan, lalu melambaikan tangan sebelum berlari kecil ke arah bukit dekat sungai.
Zienxi pun masuk ke dalam gua. Di dalamnya, cahaya pagi menyelinap dari celah batu, menciptakan cahaya redup yang menenangkan. Ia duduk di atas batu datar, menarik napas dalam-dalam, dan mulai masuk ke dalam posisi lotus. Energi spiritual di sekitarnya terasa lembut dan mengalir perlahan saat ia mulai berkultivasi, jiwanya tenggelam dalam keheningan dan kedamaian.
Sementara itu, Vuyei menelusuri hutan kecil yang rimbun, dedaunan hijau muda menyambutnya di kiri-kanan. Ia melihat sebuah bunga kecil berwarna ungu cerah tumbuh di antara bebatuan.
“Wah, cantik sekali... Ini cocok kalau ditanam di depan rumah,” katanya sambil jongkok dan mencabut bunga itu dengan hati-hati.
Ia melanjutkan perjalanan, dan begitu sampai di tepi sungai, matanya membelalak kagum.
“Indah sekali… seperti tempat di dalam dongeng,” gumamnya. Ia pun mencelupkan tangannya ke air, bermain-main sejenak dan tertawa kecil. Suara air yang mengalir menenangkan hati, membuatnya lupa waktu.
Sambil berjalan, ia mulai mencari tanaman herbal yang dikenalnya. Tangannya menyibak semak-semak, matanya jeli meneliti batang dan daun.
Namun tiba-tiba, semak di depannya bergerak. Sebuah suara geraman dalam dan berat menggema dari balik pepohonan. Dari balik bayang-bayang, seekor harimau besar dengan bulu keemasan dan mata merah menyala melangkah keluar perlahan. Tubuhnya besar dan kuat, cakar besarnya menginjak tanah dengan berat.
Vuyei membeku di tempat. Wajahnya pucat. Ia mundur beberapa langkah, napasnya tersengal.
“T-Tunggu… aku… aku tidak berniat untuk mengganggu… aku hanya ingin mencari tanaman herbal…” katanya terbata-bata, mencoba tersenyum walau tubuhnya gemetar.
“Hehe… kita bisa bicara baik-baik, kan?”
Harimau itu menggeram, langkahnya semakin mendekat, tatapannya tajam menusuk.
“ASTAGAAAA!!! KAK ZIENXIIIII!!!” teriak Vuyei tiba-tiba. Ia langsung berbalik dan berlari sekuat tenaga, ranting dan daun mencambuk tubuhnya saat ia berlari di antara semak-semak.
“Kakaaaak!! Tolong! Tolooong!! Ada harimauuu!!”
Di dalam gua, mata Zienxi perlahan terbuka. Ia mendengar suara teriakan panik adiknya, yang menggema samar dari kejauhan. Wajahnya langsung serius, tubuhnya bergerak cepat. Ia bangkit dari duduknya dan berlari keluar gua dengan kecepatan tinggi, aura spiritual mulai menyelimuti tubuhnya.
Begitu dia mencapai tepi bukit, pemandangan yang terlihat membuat darahnya mendidih. Di kejauhan, Vuyei tampak berlari ketakutan, harimau besar mengejarnya dengan kecepatan yang mengancam.
Zienxi mengangkat tangan kanannya, sebuah simbol bercahaya muncul di telapak tangannya. Mantra spiritual pun keluar dari mulutnya.
Serangan Pedang Roh
Seketika, sebilah pedang cahaya melesat dari udara, terbang cepat seperti kilat menyambar tubuh harimau itu. Dalam sekejap, pedang itu menembus dadanya, membelah tubuhnya menjadi dua. Harimau itu mengaum kesakitan sebelum tubuhnya terjerembab ke tanah, mati seketika.
Vuyei berhenti berlari, terengah-engah. Dia melihat bangkai harimau itu, lalu melihat kakaknya yang berdiri tenang.
“Huuuh… dasar harimau jelek!” katanya dengan wajah cemberut sambil menendang kecil tanah di dekat tubuh binatang itu.
“Berani-beraninya kau mengejar ku, hah?! Dasar tidak tahu diri!”
Ia pun tersenyum lebar pada kakaknya, menyembunyikan rasa takut yang masih tersisa.
“Hehe… terima kasih, Kak… Kau datang seperti pahlawan.”
Zienxi menatapnya sebentar, lalu menggelengkan kepala dan berbalik pergi tanpa berkata banyak.
“Eh, tunggu!” seru Vuyei.
“Kak, apa kau tidak mau daging harimau ini? Jika dimasak… sepertinya enak, deh!”
Zienxi hanya menjawab tanpa menoleh.
“Jika kau mau, ambil saja sendiri.”
“Iya iyaaa… dasar huhh!!” gumam Vuyei sambil memasang ekspresi cemberut. Ia pun mengeluarkan Kantung Roh miliknya dan menyimpan potongan daging harimau dengan cepat.
“Hmph… padahal aku yang hampir jadi daging, tapi masih harus bawa daging pula…”
Setelah menyelesaikan urusannya, ia segera menyusul kakaknya kembali ke gua. Langkah mereka perlahan menghilang di balik hutan, kembali menuju jalan sunyi untuk berkultivasi… dengan satu pelajaran penting yang tak akan Vuyei lupakan: jangan bermain terlalu jauh di alam liar.
Sore hari mulai menyelimuti langit dunia kultivasi, cahaya jingga keemasan menembus celah-celah batu gua dan menyapu lembut wajah dua sosok muda yang tengah tenggelam dalam keheningan Lawzi Zienxi dan adiknya, Vuyei.
Di dalam gua yang tenang itu, suara dunia seperti lenyap ditelan aliran energi spiritual. Partikel-partikel cahaya yang tak kasat mata terus berputar lembut, mengalir ke tubuh dua bersaudara tersebut. Aura mereka perlahan stabil, menggambarkan pertumbuhan yang konsisten namun tenang. Vuyei duduk dengan posisi teratur, tangan bertumpu di atas lututnya, napasnya lambat dan dalam. Di sampingnya, Zienxi tak bergeming, tubuhnya seakan menjadi satu dengan alam.
Namun di tempat lain jauh dari gua dan jauh dari kedamaian yang melingkupi saudara-saudaranya seorang pemuda duduk bersila di atas batu hitam datar, di antara hamparan hutan berbatu dan udara yang tipis. Jubah merah gelap dengan corak hitam di pinggirannya menyelimuti tubuhnya, jubah itu tampak biasa saja, lusuh bahkan, namun sorot matanya tajam dan menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar tekad.
Lawzi Wafei.
Murid dari Crimson Moon Sect, sebuah sekte yang mengajarkan ketahanan tubuh. Wafei telah menjadi murid sekte itu selama bertahun-tahun, namun kemajuannya sangat lambat. Kini ia baru mencapai Vein Opening Stage tahap awal. Meski begitu, ekspresi di wajahnya tidak mencerminkan keputusasaan. Ia duduk santai, satu kaki terlipat, satu lagi menjulur ke depan. Di tangannya ada sebuah ranting kering yang ia mainkan seperti tongkat sihir kecil.
Ia membuka mata perlahan, menatap ke atas ke langit jingga yang mulai berganti warna. Pandangannya kosong, tetapi pikirannya tidak.
“Zienxi, Vuyei...” gumamnya pelan, suaranya serak namun tajam. “Apa kalian... masih hidup?”
Ia menghela napas, lalu berbaring setengah di atas batu besar itu, menatap ke langit dari sudut rendah. Daun-daun kering beterbangan ditiup angin sore.
“Aku tidak terlalu berharap. Dunia ini terlalu kejam untuk membiarkan anak-anak bertahan hidup tanpa perlindungan. Tapi... kalian bukan anak-anak biasa, kan?” Ia tersenyum miring, menyeringai kecil sambil menyipitkan mata. “Terutama kau, Zienxi. Kau selalu tenang seperti kakek tua, terlalu serius, terlalu bijak untuk anak seumuranmu.”
Ia memutar tubuhnya dan duduk kembali, memeluk lututnya.
“Dan Vuyei, si kecil aneh itu... Kau bahkan lebih banyak bicara daripada seekor burung di musim kawin,” ucapnya sambil menggeleng pelan. “Tapi... kalian keluargaku.”
Tiba-tiba senyum di wajahnya memudar. Matanya menajam, menatap langit yang kini mulai membiru gelap.
“Jika kalian sudah mati... aku bersumpah akan menggali mayat orang yang bertanggung jawab dari dasar dunia ini. Aku akan mencari dalangnya, siapa pun dia... apakah manusia, siluman, atau bahkan roh penguasa langit.” Suaranya berubah menjadi gumaman dingin. “Karena... tidak seorang pun yang bisa menyentuh keluargaku... dan pergi tanpa konsekuensi.”
Ia menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. Tangannya meraih jubahnya dan mengeluarkan secarik kertas tua foto tua keluarga mereka. Ia memandangi wajah-wajah dalam gambar itu. Wajah yang takkan pernah sama lagi.
"Zienxi... Kalau kau masih hidup, aku tahu kau pasti tumbuh menjadi seseorang yang hebat. Tapi jangan terlalu keras pada dirimu. Dunia ini tidak perlu pahlawan. Dunia ini butuh seseorang yang tahu caranya bertahan hidup.”
Ia menggenggam kertas itu erat, lalu menyimpannya kembali.
Kemudian dia berdiri, mengangkat satu tangannya ke udara.
“Aku akan mencarimu. Aku akan mencari kalian. Dan saat kita bertemu kembali...” Ia tersenyum licik, namun matanya menyimpan kesedihan yang dalam, “...kau akan mentraktirku makan ayam bakar dan sup pedas seperti dulu. Dan jangan bilang tidak punya uang, aku tahu kau menyimpan koin di sepatu kirimu, Zienxi.”
Langit makin gelap. Angin membawa suara langkah lembut di kejauhan.
Wafei menyipitkan mata, lalu menatap ke arah suara itu.
“...Dan kalau kau mengirim seseorang untuk menguntitku lagi, Tuan Tetua Merah... aku akan mewarnai jubahmu dengan darah kambing dan menyalahkan anjingmu.”
Sambil berkata begitu, ia berjalan pergi dengan santai, meninggalkan tempat latihan itu seolah ia tak peduli, namun dalam hatinya, satu nama terus berputar seperti mantra, Zienxi.