LightReader

Chapter 67 - Chapter 67 – Arura Blood Valley

Zienxi menoleh padanya dan hanya membalas dengan anggukan pelan. Vuyei menyandarkan kepalanya di bahu kakaknya, dan kali ini, ia tidak menangis. Ia hanya duduk diam, mendengarkan cerita Zienxi seakan itu adalah hal terindah yang pernah ia dengar setelah sekian lama.

Langit Feifei malam itu dipenuhi bintang. Dan di bawah cahayanya, kisah seorang kultivator muda yang kembali dari pengasingan menjadi dongeng baru yang akan mereka kenang selamanya.

Matahari pagi mulai bersinar lembut di desa dan kota Feifei, memantulkan cahaya keemasan pada atap-atap rumah dan dedaunan yang masih basah oleh embun. Suasana pagi terasa damai dan menenangkan, angin tipis menyapu halaman rumah tempat Zienxi dan Vuyei kini menetap.

Pagi itu, Vuyei bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa hatinya begitu ringan, tak seperti beberapa bulan terakhir. Setelah sekian lama menahan rindu, kini kakaknya telah kembali. Dan tak ada hal lain yang lebih membuatnya bahagia selain melihat Zienxi berada di sampingnya.

Zienxi menyadari adiknya bangun lebih cepat hari ini. Ia hanya memandang Vuyei dengan senyum tipis, seolah mengerti isi hati gadis itu. Mereka berdua duduk berdampingan di depan rumah, menikmati secangkir teh hangat yang mengepul dalam keheningan pagi.

Beberapa warga desa mulai beraktivitas. Suara langkah kaki dan canda tawa perlahan memenuhi udara pagi. Seorang pria paruh baya lewat di depan rumah mereka, melambaikan tangan.

"Zienxi! Kapan kau kembali, nak? Adikmu itu sangat merindukanmu, tahu?" katanya dengan tawa ringan.

Zienxi tersenyum sopan dan menjawab, "Kemarin aku kembali, Paman."

Vuyei hanya tersenyum malu dan menunduk, pipinya sedikit memerah.

Setelah pria itu berlalu, Vuyei menatap kakaknya dan berkata pelan, "Kak, kita sekarang sudah mencapai Meridian Awakening... Apa kita tidak mencoba masuk ke sekte? Untuk belajar sesuatu yang lebih dalam?"

Zienxi memandangi adiknya sebentar, lalu mengalihkan pandangannya ke langit biru yang cerah.

"Mungkin nanti kita akan memasuki sekte, Vuyei," katanya pelan. "Tapi... apakah kau mau jika kita masuk ke sekte yang berbeda?"

Vuyei tertegun. Ia memandang Zienxi dengan sorot mata bingung. "Kenapa harus berbeda? Aku tidak mau berpisah lagi," jawabnya cepat, dengan nada cemas.

Zienxi mengangkat bahu ringan. "Aku hanya bertanya. Mungkin kalau kita masuk ke sekte yang berbeda, kita akan mendapatkan pelajaran dan pengalaman yang lebih luas. Tapi itu hanya pemikiran."

Vuyei diam, menunduk, merenung sejenak.

Zienxi melihat ekspresi adiknya dan tersenyum tipis. "Tidak perlu dipikirkan sekarang."

"Baiklah," jawab Vuyei pelan. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya.

Hari demi hari pun berlalu. Kini sudah memasuki bulan ketujuh sejak mereka tinggal di desa timur kota Feifei. Waktu berlalu dengan cepat dalam keheningan dan pelatihan yang rutin.

Pagi itu, seperti biasa, mereka menuju ke sungai dekat bukit dan gua tempat favorit mereka berlatih. Udara masih sejuk, dan suara air sungai menambah ketenangan di antara semak belukar dan batuan berlumut.

Zienxi berdiri tegap di atas batu datar. Di hadapannya, Vuyei bersiap dengan napas berat. Mereka telah melakukan pemanasan, dan sekarang waktunya bertarung.

Pertarungan dimulai dengan saling serang menggunakan pedang. Bunyi benturan pedang menggema di antara pepohonan.

"Cepat juga gerakanmu pagi ini," komentar Zienxi sambil menangkis tebasan adiknya.

"Aku tidak mau dikalahkan terus," sahut Vuyei, mencoba menyerang sisi kiri Zienxi, namun ditepis dengan mudah.

Zienxi menendang ringan perut adiknya. Vuyei mundur beberapa langkah, meringis.

"Akh! Kak! Itu terlalu keras!"

"Kalau terlalu lembut, kau tidak akan kuat saat menghadapi musuh."

Vuyei mengangguk meski wajahnya sedikit kesal. Ia maju lagi, kali ini meninju dada Zienxi. Namun, serangannya ditepis dengan telapak tangan sang kakak.

"Fokus pada pusat gravitasimu. Jangan asal pukul."

"Aku tahu! Tapi aku juga ingin mencoba kekuatan fisik!"

"Kau belum cukup kuat, Vuyei. Tapi teruslah mencoba."

Mereka bertukar pukulan dan tebasan lagi. Zienxi mulai menggunakan mantra tingkat dasar, menguji kemampuan adiknya dalam merespons sihir dan gerakan.

"Mantra ‘Lanesa Wind Slice’!" seru Zienxi.

Angin tajam mengarah ke Vuyei. Gadis itu melompat menghindar, lalu membalas dengan mantra api dasar.

"Daun Menyebar!"

Ledakan kecil mengenai bahu Zienxi, membuat pakaiannya sedikit robek.

"Heh. Bagus. Akhirnya kau bisa mengenai aku."

Vuyei tersenyum bangga, meskipun keringat mengalir di pelipisnya. Ia tetap bertahan, meski tubuhnya mulai terasa nyeri.

"Kau tetap unggul dalam semua hal, Kak... kecuali candaan."

Zienxi tertawa kecil. "Aku tidak mau terlalu lucu. Nanti musuh jadi lengah."

"Itu bukan alasan! Kau memang kaku kalau soal bercanda."

"Kau pikir bisa mengalahkanku dengan candaan?"

"Kalau bisa, aku sudah jadi Tetua Candaan."

Pertarungan berakhir setelah satu jam. Mereka berdua duduk di atas batu, menatap aliran sungai yang tenang.

Zienxi meraih botol air dan menyerahkannya ke Vuyei. "Kau berkembang pesat. Tapi masih banyak yang harus kau pelajari."

"Aku tahu, tapi aku tidak akan menyerah. Selama kakak ada di sini, aku akan terus mencoba."

Zienxi menatap adiknya dengan tatapan tenang namun penuh kasih. Ia mengangguk pelan.

Setelah latihan sengit pagi itu di tepi sungai, Zienxi memandang ke arah timur, ke barisan bukit jauh yang seakan menyembunyikan rahasia lama. “Vuyei,” katanya sambil menarik napas dalam, “Bagaimana kalau kita pergi ke tempat yang lebih menantang? Aku tahu satu lembah yang mungkin cocok untuk kita.” Vuyei mengangguk penuh semangat meskipun tubuhnya masih terasa pegal. “Asal bukan tempat yang terlalu berbahaya, aku ikut. Tapi... aku rasa kau memang akan membawaku ke tempat berbahaya, ya?”

Lembah yang mereka datangi itu seperti dunia lain. Kabut tipis menggantung di udara, membawa aroma tanah lembap dan jejak darah binatang yang samar. Cahaya matahari pagi tersaring melalui celah tebing merah keunguan, membuat segala sesuatu terlihat merah jambu seperti senja yang tertahan. Akar-akar roh tua menjalar dari dinding batu, berdenyut pelan seolah hidup, dan kristal darah spiritual menyembul dari tanah seperti bunga liar yang siap dipetik.

Zienxi berdiri di tepi tebing, menatap lembah itu dengan tenang. Matanya yang tajam menyapu seluruh area, membaca bahaya dan peluang yang tersembunyi di balik semak-semak berduri dan bayangan batu. Di belakangnya, Vuyei mendarat ringan, sedikit terengah karena kecepatan mereka.

“Tempat apa ini, Kak?” tanya Vuyei sambil menatap ke sekeliling. Matanya melebar melihat bagaimana kristal-kristal bersinar samar di antara rumput liar dan tanah retak. Aura spiritual yang memenuhi udara membuat tubuhnya bergetar, seolah setiap sel merespons tekanan tak kasat mata.

Zienxi melangkah perlahan ke depan dan menjawab dengan nada datar namun tegas, “Tempat ini disebut Lembah Darah Arura. Di sini, banyak binatang spiritual berkeliaran rata-rata setara dengan kultivator Meridian Awakening. Tapi ada juga yang lebih kuat dari itu, tersembunyi jauh di dalam gua-gua atau danau tersembunyi.”

Vuyei menelan ludahnya perlahan, lalu berkata pelan, “Kau yakin tempat ini aman untuk kita?”

“Aman itu bukan kata yang cocok untuk tempat ini,” jawab Zienxi sambil tersenyum kecil. “Tapi kita tidak datang untuk mencari tempat aman, bukan? Kita datang untuk melatih diri. Dan hanya di tempat berbahaya seperti ini, kau bisa tahu seberapa jauh batasmu.”

“Kalau begitu… kita harus selalu waspada,” bisik Vuyei. Ia menyentuh gagang pedangnya dan menatap sekeliling lebih cermat. “Tapi… kenapa kau memilih tempat seperti ini, kak? Bukankah kita bisa tetap berlatih di tepi sungai seperti biasanya?”

Zienxi menoleh padanya, matanya sedikit menyipit. “Karena kau sudah tumbuh, Vuyei. Sekarang kita berdua berada di tahap Meridian Awakening. Kau tidak bisa selamanya bertarung dengan musuh yang lemah. Dunia di luar sana jauh lebih kejam dari tepi sungai dan gua kecil itu. Aku ingin kau tahu, apa artinya mempertaruhkan nyawa dan bagaimana tetap berdiri bahkan saat tubuhmu terluka dan hatimu takut.”

“Kalau begitu…” ucap Vuyei sambil menarik napas dalam, “apa yang harus kita lakukan sekarang?”

“Kita akan menjelajah lembah ini. Kita pisah, tapi tetap dalam jangkauan spiritual masing-masing. Jika kau merasa terdesak, kirimkan sinyal padaku. Tapi usahakan bertahan dan selesaikan pertarunganmu sendiri. Jangan terlalu mengandalkanku.”

Vuyei mengangguk perlahan. “Baik, Kak. Tapi… aku takut jika tak bisa mengendalikan diriku atau kehilangan arah…”

“Justru itu gunanya pelatihan ini,” jawab Zienxi sambil meletakkan tangannya di bahu adiknya. “Rasa takut itu penting, Vuyei. Jangan melawan ketakutanmu… rasakan itu, lalu jadikan itu bahan bakar untuk bergerak.”

Vuyei menatap mata kakaknya dalam-dalam. Tatapan itu seperti danau tenang yang menyembunyikan pusaran dalamnya. Ia menarik napas panjang lalu mengangguk tegas. “Baiklah. Aku akan lakukan yang terbaik. Tapi setelah ini… kita pulang dan minum teh lagi, ya?”

Zienxi tertawa kecil, suara tawanya dalam dan ringan. “Tentu. Tapi hanya kalau kau kembali tanpa luka serius.”

Mereka berdua pun saling mengangguk, lalu berpisah arah, melesat ke dua sisi lembah yang berbeda. Langkah mereka ringan namun sigap, seperti bayangan yang menyatu dengan alam. Daun-daun bergetar saat mereka lewat, dan binatang-binatang kecil melarikan diri dari tekanan spiritual yang mulai memenuhi tempat itu.

Langit di atas lembah tampak merah keperakan, seolah mendeteksi kedatangan dua kultivator muda yang haus pengalaman. Dan di kejauhan, suara gemuruh lembut terdengar, bukan dari tanah, tapi dari binatang spiritual yang telah menyadari kehadiran tamu-tamu baru mereka.

More Chapters