LightReader

Chapter 1 - Game Terakhir Iconplay

Undangan Misterius

Namaku Arka Pratama, gamer biasa yang sering ikut turnamen online kecil-kecilan. Hidupku sederhana: kuliah seadanya, kerja sampingan sebagai joki game, dan malam-malam panjang ditemani monitor dan headset murahan.

Sampai suatu malam, hidupku berubah.

Saat aku sedang stream di akun kecilku, notifikasi aneh muncul di layar. Bukan pop-up biasa. Bukan email spam. Tapi sebuah pesan terenkripsi dengan logo samar berwarna biru neon:

ICONPLAY

Aku membeku. Iconplay adalah platform hiburan digital terbesar di Asia, terkenal dengan turnamen esports berhadiah miliaran. Aku tidak pernah membayangkan mereka akan menghubungiku.

Dengan tangan gemetar, aku membuka pesannya.

[PROJECT X – Invitation Only]

"Selamat, Arka Pratama. Kamu terpilih menjadi salah satu dari 10 pemain yang mendapat akses ke Project X, game terbaru Iconplay yang belum diumumkan ke publik.

Aturan sederhana:

Login hanya bisa dilakukan sekali.

Tidak ada tombol keluar.

Pemenang akan mendapatkan hadiah yang tidak pernah kamu bayangkan.

Pertanyaan terakhir:Do You Accept?

[YES] – [NO]

Aku menatap layar lama. "Tidak ada tombol keluar"? Itu jelas gimmick pemasaran. Tapi entah kenapa, hatiku berdebar aneh membaca kalimat itu.

Rasa penasaran lebih besar dari rasa takut. Aku klik YES.

Monitorku langsung berkedip. Cahaya biru menyala, memenuhi kamar sempitku. Headset di kepalaku bergetar, lalu semuanya menjadi gelap.

Sesaat kemudian, aku membuka mata.Dan aku tidak lagi berada di kamarku.

Aku berdiri di sebuah ruang virtual luas bercahaya neon. Sepuluh kapsul hologram berbaris melingkar, masing-masing berisi siluet seorang pemain lain.

Suara dingin bergema dari atas, suara AI yang nyaris tanpa emosi:

"Selamat datang, para pemain. Ini adalah Game Terakhir Iconplay."

Project X

Aku menoleh ke sekeliling.Ruang itu seperti arena digital raksasa. Lantai berkilau seperti kaca, dinding penuh kode yang bergerak cepat, dan di atasnya melayang logo besar ICONPLAY berwarna neon biru.

Sepuluh kapsul hologram mulai terbuka satu per satu. Dari dalamnya keluar para pemain lain—nyata, lengkap dengan wajah dan ekspresi mereka, bukan avatar kartun seperti game biasa.

Aku bisa melihat jelas: ada pria bertato dengan headset canggih, seorang perempuan berambut pendek dengan mata tajam, bahkan seorang anak remaja yang terlihat gugup.

Aku menelan ludah. Ini… bukan sekadar game biasa.

Tiba-tiba, suara dingin itu terdengar lagi."Aku adalah MODERATOR. Kalian adalah sepuluh pemain terpilih. Tugas kalian sederhana: bertahan hidup melewati setiap level. Hanya satu yang bisa keluar sebagai pemenang."

Seorang pemain langsung protes. "Hei! Apa maksudmu cuma satu? Ini kan cuma event, kan? Kalau kalah ya keluar lobby, kan?"

Moderator terdiam sejenak. Lalu layar besar di langit-langit menampilkan kalimat merah menyala:

"Tidak ada tombol keluar."

Ruangan menjadi hening.

"Setiap pemain yang kalah… akan dihapus."

Aku terkesiap. "Dihapus? Maksudnya… akun?"

Moderator menjawab datar, "Tidak. Kehidupan."

Tubuhku merinding. Aku menoleh pada pemain lain—wajah mereka pucat, bingung, sebagian marah, sebagian panik. Tapi sebelum ada yang sempat kabur, lantai di bawah kami berubah.

Arena virtual berguncang. Bangunan raksasa muncul dari kabut digital, jalan-jalan panjang terbentuk, lampu neon padam satu per satu.

Moderator berbicara lagi:"Selamat datang di Level Pertama: Kota Bayangan. Bertahanlah selama satu malam penuh. Yang gagal… akan dihapus."

Cahaya redup menyelimuti arena. Angin dingin bertiup. Dari kejauhan, aku melihat siluet makhluk aneh—tinggi, kurus, matanya berkilau merah.

Seorang pemain berbisik ketakutan, "Gila… itu… bukan NPC biasa…"

Aku menggenggam erat senjata digital yang tiba-tiba muncul di tanganku—sebuah pedang cahaya.Dan untuk pertama kalinya, aku sadar: ini bukan permainan. Ini adalah perang untuk hidupku.

Aturan yang Aneh

Udara dingin menusuk kulitku meski aku tahu ini seharusnya hanya simulasi. "Kota Bayangan" benar-benar terlihat nyata—gedung-gedung tinggi berlapis kaca, lampu jalan berkedip, dan jalanan kosong yang membuat bulu kuduk berdiri.

Kesepuluh pemain tersebar, sebagian masih bingung, sebagian langsung waspada. Aku berjalan dekat seorang perempuan berambut pendek—namanya Lyra, berdasarkan username yang melayang di atas kepalanya.

"Kamu percaya ini cuma game?" tanyanya cepat, matanya menyapu sekitar.

Aku menggeleng. "Rasanya terlalu nyata."

Sebelum sempat berbicara lebih jauh, terdengar teriakan dari ujung jalan. Seorang pemain pria bertato diserang makhluk tinggi kurus dengan mata merah—bayangan bergerak cepat, mencengkeram tubuhnya.

"Aaaaagh!" teriaknya.

Ia mencoba melawan dengan senjata digital, tapi makhluk itu menancapkan cakar ke dadanya. Tubuh pria itu hancur jadi pecahan cahaya. Kami semua terpaku.

Sampai layar besar melayang di atas kota menampilkan pesan:

"Pemain #07: Eliminated."

Dan anehnya… tak ada tanda dia respawn. Tak ada login ulang. Hanya hilang.

Seorang remaja gemetar. "Itu… itu berarti dia mati beneran?"

Moderator muncul sebagai hologram raksasa, suaranya dingin menusuk:"Peraturan utama Project X: Tidak ada tombol keluar. Eliminasi berarti penghapusan permanen—baik di game maupun dunia nyata."

Semua orang membeku.

Salah satu pemain mencoba keluar. Ia menekan tombol keluar di menunya, berteriak, "Aku nggak mau main lagi!" Tapi menunya kosong. Tidak ada pilihan log out.

Lyra menggertakkan giginya. "Jadi benar… kita terjebak."

Aku memegang pedang cahaya erat-erat, jantungku berdetak kencang. Aku sadar satu hal: kalau ingin bertahan, aku harus main sesuai aturan mereka.

Dan aturan mereka jelas… hanya ada satu pemenang.

Level Pertama: Kota Bayangan

Kabut hitam menelan jalanan kota virtual. Lampu jalan menyala-putus, seperti ada sesuatu yang mengintai di balik setiap bayangan.

Sepuluh pemain kini tersisa sembilan. Dan kami tahu… siapa pun bisa jadi korban berikutnya.

"Ayo kumpul bareng, jangan nyebar!" teriak seorang pria berjaket hoodie, username-nya ZeroX.

Tapi tidak semua mau mendengar. Ada yang nekat lari sendiri, berharap bisa bersembunyi.

Aku memilih tetap dekat dengan Lyra. Matanya tajam, tenang, seakan ia sudah terbiasa dengan ketegangan semacam ini. "Ikuti aku," katanya singkat.

Kami masuk ke gedung kosong. Tangga berderit saat kami naik. Dari jendela lantai dua, aku melihat jalanan—dan saat itulah aku sadar sesuatu. Bayangan di bawah bukan cuma makhluk itu… tapi juga siluet pemain yang sudah gugur. Wajah mereka kosong, tubuhnya transparan, seperti hantu yang terjebak di dalam game.

Aku tercekat. "Mereka… masih di sini."

Lyra menatapku sekilas. "Mereka bukan lagi manusia. Mereka bagian dari sistem."

Sebelum sempat bertanya, suara kaca pecah menggema. Salah satu monster masuk lewat jendela. Tubuhnya kurus panjang, tangannya seperti kabel listrik berdenyut merah.

"Lari!"

Aku mengayunkan pedang cahaya, menebas makhluk itu. Percikan digital beterbangan, tapi ia tidak mati—hanya terhuyung mundur. Lyra menembakkan busur energi, mengenai kepalanya. Barulah makhluk itu lenyap jadi cahaya hitam.

Napas kami memburu.

Tiba-tiba, suara Moderator bergema di udara:

"Level 1: Hanya lima pemain yang boleh bertahan."

Kami saling menatap ngeri. Itu berarti… dari sembilan yang tersisa, empat harus mati malam ini.

"Ini gila," gumamku.

Tapi Lyra menatap lurus ke depan, suaranya datar namun penuh tekad. "Bukan gila. Ini permainan Iconplay. Dan kita baru saja memasukinya."

Aku sadar sekarang—ini bukan tentang siapa yang paling jago main game. Ini tentang siapa yang sanggup bertahan hidup.

Dan malam itu baru saja dimulai.

Panik & Paranoia

Udara Kota Bayangan semakin pekat. Kabut menutup jalan, dan suara langkah makhluk-makhluk digital bergema dari segala arah. Kami bersembilan kini tinggal berlima… karena peraturan Moderator baru saja diputar: hanya lima pemain yang boleh bertahan malam ini.

Sisa waktu di layar HUD kami menunjukkan 03:12. Artinya, tiga jam lagi sebelum level ini berakhir.

***

Di sebuah gedung tua, kami berlima—aku, Lyra, ZeroX, seorang remaja bernama Kyo, dan seorang perempuan dengan username Maya—bersembunyi. Napas semua terengah.

ZeroX menatap kami dengan panik. "Kalau cuma lima yang boleh selamat, berarti… salah satu dari kita tetap harus mati, kan?!"

"Bukan salah satu. Empat," jawab Lyra dingin. "Karena kita mulai dengan sembilan."

Kyo langsung memukul meja. "Ini bukan game! Ini jebakan! Kita harus keluar sekarang!"

Aku mencoba menenangkannya. "Tenang. Kalau kita kerja sama, kita bisa—"

"Kerja sama?!" Kyo menatapku marah. "Kamu nggak ngerti, ya? Di sini cuma boleh ada lima yang selamat. Itu berarti kita musuh!"

Suasana menegang. Semua saling tatap, paranoia mulai tumbuh.

***

Tiba-tiba, terdengar jeritan di luar. Kami menoleh ke jendela. Seorang pemain lain—yang tadi memilih kabur sendirian—diterjang makhluk bayangan. Tubuhnya hancur jadi serpihan digital.

Notifikasi muncul di layar kami:

"Player #03: Eliminated."

Wajah Kyo semakin pucat. "Astaga… jadi benar… mereka beneran mati."

"Bukan cuma mati," gumam Lyra. "Mereka benar-benar hilang."

Aku menatapnya tajam. "Kamu bicara seolah sudah tahu soal ini dari awal."

Lyra hanya menatap balik tanpa menjawab.

***

Malam semakin panjang. Ketika waktu menunjukkan 01:00, pemain lain yang tersisa di luar gedung mulai berjatuhan satu per satu. Kami bisa melihat notifikasi eliminasi muncul di HUD:

"Player #05: Eliminated.""Player #08: Eliminated."

Kini, hanya tersisa lima pemain—kami berlima.

Moderator muncul dalam bentuk hologram raksasa di langit, suaranya datar tanpa emosi:

"Level Pertama selesai. Lima pemain bertahan. Selamat… untuk saat ini."

Kota Bayangan hancur jadi pecahan cahaya. Tubuh kami terlempar ke dalam pusaran digital, jatuh ke kegelapan.

Aku menutup mata, tubuhku bergetar.Aku sadar… ini bukan lagi sekadar game. Ini adalah perang hidup dan mati.

Dan Iconplay adalah dalangnya. 

Aliansi Rahasia

Tubuhku mendarat keras di sebuah platform digital. Saat membuka mata, aku sadar arena sudah berubah. Kami tidak lagi berada di Kota Bayangan, melainkan di ruang putih raksasa seperti lobi virtual.

Lima pemain tersisa berdiri terpencar. Wajah mereka tegang, mata penuh kecurigaan. Tidak ada yang bicara.

Suara Moderator bergema dari langit:

"Selamat. Kalian telah melewati level pertama. Lima pemain tersisa. Bersiaplah untuk level berikutnya."

Lalu suara itu berhenti. Senyap menelan ruang putih.

Aku melirik ke samping. Lyra berdiri tidak jauh, tangannya terkepal, tatapannya lurus ke depan. Aku mendekat perlahan.

"Lyra," bisikku. "Kita harus kerja sama. Kalau kita main sendirian, kita mati. Kamu tahu itu."

Ia menoleh, matanya tajam. "Kerja sama? Moderator bilang cuma satu yang boleh menang. Jadi kenapa aku harus percaya kamu?"

Aku menelan ludah. "Karena aku nggak peduli soal menang. Aku cuma mau keluar hidup-hidup. Dan aku rasa… kamu juga."

Lyra terdiam. Pandangannya melunak sedikit. Lalu ia mendekat, suaranya hampir berbisik. "Kamu benar. Ada sesuatu yang salah dengan game ini. Terlalu nyata. Aku curiga Iconplay nyimpen sesuatu di balik 'Project X' ini."

Aku menatapnya curiga. "Kamu seolah udah tahu lebih banyak dari kami."

Ia tersenyum tipis, dingin. "Mungkin. Dan itu alasan kenapa kamu butuh aku."

Sebelum aku sempat bertanya lagi, ZeroX melangkah mendekat. "Hei! Apa kalian berdua lagi bikin rencana diam-diam?"

Aku buru-buru menepis. "Enggak. Kita cuma mikirin cara bertahan."

ZeroX mendengus, tapi wajahnya jelas curiga. "Hati-hati. Di game ini, siapa pun bisa jadi pengkhianat."

Lyra menatapku singkat, lalu berbisik cepat tanpa suara—aku membaca gerakan bibirnya: "Jangan percaya siapapun."

Aku mengangguk kecil.Dan untuk pertama kalinya, sebuah aliansi rahasia lahir di antara kami.

Level Kedua: Labirin Iconplay

Cahaya putih di lobi virtual mendadak retak seperti kaca. Lantai di bawah kaki kami pecah, dan tubuh kami terjatuh ke dalam pusaran digital.

Ketika aku membuka mata, aku sudah berdiri di tengah sebuah labirin raksasa. Dinding tinggi bercahaya neon biru, lorong bercabang tak terhitung jumlahnya. Suasana mencekam, setiap langkah memantulkan gema aneh.

Suara Moderator menggema dari atas:

"Level 2: Labirin Iconplay.Tujuan: temukan pintu keluar sebelum waktu habis.Konsekuensi: yang tertinggal… dieliminasi."

Timer muncul di HUD kami: 01:00:00

Satu jam.

***

Kami berlima mulai berlari. ZeroX langsung mengambil arah sendiri. "Aku nggak butuh kalian!" teriaknya.

Aku, Lyra, Maya, dan Kyo memilih tetap bersama. Lorong-lorong berliku, tanda panah bercahaya menyesatkan, dan suara langkah lain bergema entah dari mana.

"Ini jebakan psikologis," gumam Lyra. "Labirin ini bisa berubah bentuk."

Tiba-tiba, dinding di samping kami bergerak, menutup jalan. Kami terpisah—aku bersama Lyra, sementara Maya dan Kyo terjebak di lorong lain.

Teriakan menggema. "Tolong! Ada sesuatu di sini!" suara Maya.

Aku dan Lyra berlari ke arahnya, tapi dinding terus bergeser. Saat kami akhirnya sampai, kami hanya melihat Maya berdiri di tengah lorong—tubuhnya bergetar, matanya kosong.

Bayangan hitam melayang di atas kepalanya, seperti program rusak berbentuk manusia. Cakar digital menancap di punggungnya.

"Maya!!" teriakku.

Tubuhnya hancur jadi pecahan cahaya. Notifikasi muncul:

"Player #09: Eliminated."

Kyo berteriak histeris. "Tidak! Tidak!!"

Aku menariknya. "Kita harus jalan terus atau kita semua mati!"

Waktu terus berdetik. 00:32:17.

***

Di tikungan berikutnya, kami bertemu ZeroX. Wajahnya pucat, penuh keringat. "Ada pintu keluar di depan! Ayo cepat!"

Kami berlari. Benar, sebuah pintu bercahaya terlihat di ujung lorong. Tapi tiba-tiba, Moderator berbicara lagi:

"Hanya tiga yang boleh keluar."

Kami semua terhenti. Empat orang, satu pintu, tiga kursi cahaya di baliknya.

ZeroX mengangkat senjatanya. "Kalau begitu, salah satu dari kita harus jatuh di sini."

Aku menggenggam pedang cahaya erat-erat, Lyra berdiri di sampingku, Kyo gemetar di belakang. Situasi berubah jadi duel mematikan.

Timer terus berjalan. 00:05:59 

Bocoran Sistem

Detik-detik terakhir di labirin itu seperti neraka. ZeroX menodongkan senjatanya ke arah Kyo. "Kalau harus pilih, bocah ini yang keluar duluan!"

Kyo gemetar, "Aku nggak mau mati! Aku cuma gamer biasa!"

Aku melangkah maju, pedang cahaya di tangan. "Berhenti! Kalau kita saling bunuh, Moderator cuma menang besar. Itu yang mereka mau!"

ZeroX menyeringai. "Persetan. Aku akan keluar bagaimanapun caranya."

Tiba-tiba, Lyra mengeluarkan sesuatu—bukan senjata, tapi semacam tablet digital yang muncul dari HUD-nya. Ia menekan cepat kode-kode aneh, matanya fokus.

"Apa yang kamu lakukan?" tanyaku panik.

Lyra tidak menjawab, jari-jarinya terus menari. Layar tablet menampilkan baris log sistem:

ACCESS: PROJECT X – INTERNAL LOG

'Subject survival rate: 12%''Neural Link stability: unstable''Iconplay Immersive Reality Experiment funded by—[REDACTED]'

Mataku membelalak. "Ini… eksperimen?!"

Lyra mendesis, "Aku tahu ada yang tidak beres. Game ini bukan sekadar hiburan. Iconplay menjadikan kita… kelinci percobaan."

Sebelum kami sempat mencerna, Moderator muncul sebagai hologram raksasa, suaranya lebih keras dari sebelumnya.

"Unauthorized access detected. Player #02—Lyra—will be terminated."

Tablet Lyra bergetar, hampir pecah. Aku spontan berdiri di depannya. "Tidak! Kau tidak bisa—"

Tiba-tiba, dinding labirin bergetar keras. Pintu keluar di ujung lorong terbuka. Cahaya menyilaukan memenuhi jalan.

ZeroX berlari lebih dulu, menendang Kyo ke samping. "Aku selamat duluan!" teriaknya.

Aku menarik Lyra, berlari sekuat tenaga. Tepat sebelum timer habis, kami bertiga—aku, Lyra, dan Kyo—melompat masuk ke cahaya.

00:00:00

Notifikasi muncul di layar:

"Level 2 Complete. 3 Players Remaining."

Aku terengah-engah, menoleh ke Lyra. Tablet digitalnya masih bergetar, menampilkan potongan log terakhir:

"Project X tujuan akhir: Seleksi. Hanya satu manusia yang boleh kembali ke dunia nyata."

Aku merasa darahku membeku.Mereka bukan sekadar membuat game… mereka sedang mencari "pemenang" untuk sesuatu yang jauh lebih gelap.

Pengkhianatan

Tubuhku terhempas ke sebuah platform gelap. Arena baru muncul perlahan: sebuah panggung melayang di tengah kegelapan digital, hanya diterangi oleh garis-garis cahaya merah.

Tiga pemain tersisa: aku, Lyra, dan ZeroX.Kyo… tidak ikut bersama kami. Entah bagaimana, ia terseret sebelum sempat melewati cahaya pintu keluar. HUD kami menampilkan pesan singkat:

"Player #04: Eliminated."

Aku menutup mata sejenak. Rasa bersalah menusuk dadaku.

Lyra mengangkat tablet digitalnya, masih retak tapi berfungsi. "Arka, dengar. Aku sempat unduh sebagian log. Project X ini… bukan soal turnamen, tapi eksperimen seleksi manusia. Mereka mau mencari satu orang yang bisa bertahan hidup di sistem ini. Yang lain—dikorbankan."

Aku tertegun. "Kenapa? Untuk apa Iconplay melakukan ini?"

Sebelum Lyra menjawab, suara Moderator menggema keras:

"Level 3 dimulai: Survival Duel.Dua pemain bertahan. Satu dieliminasi."

Arena berubah. Tiga lingkaran cahaya muncul, masing-masing tempat kami berdiri. Tiba-tiba, garis energi mengikat tubuh kami, memaksa kami tidak bisa bergerak.

Hologram Moderator muncul di depan ZeroX. Tapi berbeda—hologram itu berbicara langsung kepadanya.

"Player #01, kamu bisa selamat. Bekerjalah bersamaku. Habisi mereka, dan kamu akan jadi pemenang Project X."

Aku dan Lyra saling berpandangan terkejut. "Tidak… jangan dengarkan dia!" teriakku.

Tapi aku bisa melihat dari wajah ZeroX—matanya berkilat penuh ambisi. "Selamat jadi pemenang? Jadi hanya aku yang keluar hidup-hidup?"

Moderator menjawab dingin. "Benar."

ZeroX tersenyum miring, lalu menatap kami. "Kalau begitu… maaf, teman-teman."

Tali energi di tubuhnya terlepas. Ia kini bebas bergerak, sementara aku dan Lyra masih terikat. Ia mengangkat senjatanya—sebuah tombak digital—dan melangkah mendekat ke arah kami.

Lyra berbisik di sampingku, suaranya tenang meski terdesak. "Arka… aku bisa retas sistem ini beberapa detik, tapi aku butuh kau menahan dia. Kalau tidak, kita mati."

Aku menatapnya cepat. "Kau yakin bisa?"

Ia mengangguk sekali. "Percayalah padaku."

ZeroX semakin dekat. Senyum sadisnya terlihat jelas. "Ini akhir kalian."

Aku menggertakkan gigi. Kalau memang cuma satu yang boleh menang, aku tidak akan biarkan ZeroX yang jadi orang itu. 

Level Terakhir: Menara Iconplay

ZeroX melangkah semakin dekat, tombak digital di tangannya berkilau merah. "Kalian pikir bisa menang melawanku? Aku sudah pilih jalan yang benar: jadi pemenang tunggal."

Aku menggertakkan gigi, mencoba meronta dari ikatan energi. "Itu bukan kemenangan, itu jebakan!"

Sementara itu, Lyra menunduk, jarinya bergerak cepat di tablet retaknya. Cahaya biru dari layar berpendar liar. "Lima detik, Arka. Tahan dia lima detik."

ZeroX mengayunkan tombaknya tepat ke arahku. Aku memiringkan tubuh, meski masih terikat. Senjata itu hampir menembus dadaku. Aku menahan dengan pedang cahaya yang tiba-tiba aktif, percikan digital berhamburan.

"Sekarang, Lyra!" teriakku.

Tablet Lyra memancarkan kilatan biru. Ikatan energi di tubuhku pecah, dan aku langsung berdiri bebas. Dengan seluruh tenaga, aku menebas tombak ZeroX, membuatnya terpental.

ZeroX terkejut. "Apa?!"

Lyra berdiri di sampingku, wajahnya dingin. "Moderator bukan dewa. Sistem bisa diretas. Dan kami tidak akan jadi boneka Iconplay."

ZeroX meraung marah, menyerang lagi. Pertarungan sengit terjadi di panggung digital. Pedangku beradu dengan tombaknya, percikan cahaya menyilaukan. Lyra membantu dengan panah energi, membuat ZeroX terdesak.

Akhirnya, tebasanku menghancurkan senjatanya. ZeroX jatuh berlutut. HUD kami langsung menampilkan:

"Player #01: Eliminated."

Tubuh ZeroX hancur jadi pecahan digital, lenyap tanpa jejak.

Arena mendadak berubah. Tanah retak, panggung runtuh, dan kami terjatuh ke kegelapan. Saat sadar, kami sudah berada di sebuah kota virtual lain—megah, menjulang, penuh menara neon.

Di tengah kota berdiri gedung raksasa dengan logo ICONPLAY. Menara itu membelah langit seperti penguasa tunggal.

Moderator muncul di atas menara, suaranya menggema:

"Selamat datang di Level Terakhir: Menara Iconplay.Dua pemain tersisa.Satu harus menjadi pemenang."

Aku dan Lyra berdiri bersebelahan, menatap menara itu. Angin digital berdesir, membawa rasa dingin yang menusuk tulang.

Aku menoleh padanya. "Jadi… akhirnya cuma kita berdua."

Lyra menghela napas panjang. Matanya memandang lurus ke menara. "Ya. Dan di sanalah kita akan menemukan kebenaran sebenarnya."

Rahasia Terungkap

Kami melangkah ke arah Menara Iconplay. Pintu raksasa di dasar gedung terbuka dengan sendirinya, menyambut kami masuk ke dalam. Lorongnya panjang, dipenuhi cahaya neon biru dan merah yang berkilauan, seperti urat nadi digital.

Tangga holografik muncul, mengarah ke puncak menara. Setiap langkah terasa berat, seolah udara di sini menekan tubuh kami.

Di tengah perjalanan, Lyra tiba-tiba berhenti. Wajahnya muram, seperti menahan sesuatu.

"Arka," katanya lirih. "Sebelum kita sampai puncak, ada sesuatu yang harus kamu tahu."

Aku menoleh. "Apa itu?"

Ia menarik napas panjang. "Aku bukan pemain acak yang dipilih Iconplay. Aku datang ke sini dengan sengaja. Nama asliku bukan Lyra… tapi Liora Prasetya."

Aku terbelalak. "Prasetya?!"

Ia mengangguk. "Ya. Ayahku adalah pendiri Iconplay. Dia yang menciptakan Project X ini. Awalnya, katanya hanya eksperimen hiburan—game imersif yang paling realistis di dunia. Tapi aku menemukan dokumen rahasia. Mereka menjadikan game ini alat seleksi manusia, mencari 'yang terkuat' dengan cara mengorbankan pemain lain. Ayahku menyebutnya… evolusi."

Darahku serasa berhenti mengalir. "Jadi selama ini kamu tahu?"

Matanya berkaca-kaca. "Aku masuk ke sini bukan untuk menang. Aku masuk… untuk menghentikan ayahku. Tapi aku tidak bisa melakukannya sendirian."

Suara dingin Moderator tiba-tiba menggema, menelan percakapan kami:

"Rahasia terungkap. Dua pemain tersisa. Saatnya menentukan siapa yang layak menjadi pemenang."

Lantai di bawah kami berguncang. Tangga lenyap, digantikan arena duel di puncak menara. Angin digital berputar kencang, langit dipenuhi kilatan listrik biru.

Lyra menatapku, mata penuh dilema. "Arka… kalau salah satu dari kita harus menang, aku ingin kamu yang keluar hidup-hidup. Tapi janji… hancurkan sistem ini dari luar."

Aku menggenggam pedang cahaya, tubuh gemetar. "Tidak… kita akan cari jalan keluar bersama. Aku tidak akan membunuhmu."

Moderator tertawa dingin."Tidak ada jalan keluar bersama. Hanya satu pemenang. Biarkan Game Terakhir Iconplay dimulai."

Game Terakhir

Arena puncak menara terbentuk. Lantai kaca berkilau, langit di atas dipenuhi kilatan listrik digital. Angin berputar kencang, membuat semuanya terasa seperti panggung pertempuran terakhir.

Aku dan Lyra berdiri berhadapan, pedang cahaya di tangan. Moderator melayang di atas kami, suaranya dingin menusuk:

"Hanya satu yang boleh keluar. Yang kalah akan dihapus. Mulailah."

Tanganku bergetar. Aku menatap Lyra. "Aku tidak akan melawanmu."

Lyra menggenggam senjatanya erat-erat, wajahnya penuh konflik. "Kalau kita berdua menolak, sistem ini akan menghapus kita berdua."

Aku menelan ludah. "Lebih baik kita hancurkan sistem ini, daripada jadi bagian dari permainan mereka."

Dia menatapku lama, lalu mengangguk kecil. "Kalau begitu… kita lawan Moderator."

***

Kami menyerang bersamaan. Pedang dan panah energi menghantam hologram raksasa itu. Moderator menertawakan kami."Kalian pikir bisa menghentikan Iconplay? Sistem ini sempurna."

Tapi Lyra membuka tablet retaknya, menancapkan kode terakhir yang ia curi. "Arka! Tahan dia beberapa detik!"

Aku berlari, menebas kilatan listrik yang dilemparkan Moderator. Tubuhku nyaris hancur oleh ledakan digital, tapi aku bertahan. "Cepat, Lyra!"

Jari Lyra menari di layar. "Kode override… aktif!"

Arena bergetar keras. Hologram Moderator pecah retak, cahaya biru meledak. Suara dinginnya berubah jadi teriakan melengking:"Tidak… ini belum berakhir! Project X… tidak akan mati!"

Cahaya putih menyelimuti kami.

***

Aku membuka mata.Aku terbaring di kamarku sendiri, headset masih menempel. Layar monitorku gelap. Nafasku tersengal, tubuhku basah oleh keringat.

Aku hidup. Aku berhasil keluar.

Tapi saat kulihat daftar pemain di layar HUD terakhir, hanya ada satu nama:

Winner: Arka Pratama.

Aku terdiam. "Lyra…"

Tidak ada tanda-tanda dia berhasil keluar. Tablet, kode, wajahnya—semua lenyap bersama sistem.

Namun sebelum layar mati total, sebuah pesan terakhir muncul.

"Hancurkan Iconplay. Jangan biarkan ayahku melanjutkan ini. —Lyra"

Aku tertegun. Hatiku perih. Aku tahu, perang ini belum selesai. Aku mungkin selamat dari Game Terakhir Iconplay…Tapi untuk menghentikan Iconplay selamanya, aku harus melanjutkan pertarungan di dunia nyata.

TAMAT

More Chapters