LightReader

Chapter 5 - Ketika Diam Lebih Keras dari Kata-Kata

Karya: Fajri Maulana Zibon

‎Penerbit: ZIBON UPDATE Production

‎Ada masa di mana Semar berhenti menjelaskan apa pun kepada siapa pun.

‎Bukan karena ia menyerah, tapi karena ia sadar — tidak semua orang siap mendengar kebenaran yang sederhana.

‎Kadang, diam lebih kuat daripada suara; karena dalam diam, kita belajar memilah mana yang pantas didengar dan mana yang cukup diserahkan pada waktu.

‎Seiring berjalannya waktu, Semar mulai terbiasa dengan keheningan.

‎Ia tidak lagi sibuk menjawab pandangan miring orang lain, tidak lagi membantah ketika disebut tidak punya semangat, dan tidak lagi kecewa ketika nasihatnya dianggap angin lalu.

‎Ia hanya tersenyum, karena tahu bahwa hidup tidak perlu dihabiskan untuk membuktikan diri kepada orang yang tidak ingin mengerti.

‎Diamnya Semar bukan tanda kalah, melainkan bentuk kendali atas dirinya sendiri.

‎Ia menyadari bahwa setiap kata punya bobot, dan terlalu banyak bicara hanya akan menambah luka.

‎Maka dari itu, ia belajar berbicara seperlunya, bertindak secukupnya, dan berdoa sebanyak-banyaknya.

‎Kak Rani sering salah menafsirkan ketenangannya.

‎Baginya, diam berarti tidak peduli. Tapi bagi Semar, diam adalah cara paling lembut untuk menjaga kedamaian di rumah yang rapuh.

‎Ia tahu, setiap kali ia menjawab dengan emosi, hanya akan menambah jarak.

‎Maka kali ini, ia memilih menjaga jarak tanpa membenci.

‎"Biarlah mereka menilai," pikirnya. "Toh, yang menjalani tetap aku."

‎Suatu hari, saat keluarga berkumpul di rumah orang tua, Semar duduk di pojok ruangan, memperhatikan semua orang berbincang.

‎Kak Rani terlihat sibuk melayani tamu, seperti biasa — ramah di depan, tapi kaku ketika berhadapan dengannya.

‎Namun kali ini, Semar tidak lagi merasa perih. Ia justru merasa tenang, seolah telah melewati musim marah dan kini berdiri di tepi hujan yang mulai reda.

‎Ia sadar, membuktikan diri bukan tentang mengubah pandangan orang lain, tapi tentang menenangkan hati sendiri.

‎Kadang, orang akan terus menilai sampai mereka merasakan apa yang kita rasakan.

‎Dan karena itu jarang terjadi, maka yang bisa kita lakukan hanyalah berjalan dengan kepala tegak — bukan untuk sombong, tapi untuk menghormati diri sendiri.

‎Malamnya, di kamarnya yang sederhana, Semar menulis lagi.

‎Ia menulis tentang kesunyian yang kini terasa seperti teman, bukan musuh.

‎Tentang diam yang dulu menyesakkan, kini menjadi pelindung dari segala komentar dan penilaian yang melelahkan.

‎Ia menulis kalimat itu dengan hati yang tenang:

‎"Aku tidak butuh banyak didengar, cukup dimengerti sedikit saja. Dan jika tidak ada yang mengerti, biarlah Tuhan yang tahu semuanya."

‎Ketika ia menutup buku catatannya malam itu, Semar merasa lebih kuat daripada sebelumnya.

‎Bukan karena dunia tiba-tiba berubah, tapi karena hatinya sudah tidak lagi ingin melawan segalanya.

‎Ia akhirnya mengerti bahwa kekuatan sejati bukan ada di suara yang keras, tapi di hati yang tetap lembut meski sering disalahpahami.

More Chapters