Karya: Fajri Maulana Zibon
Penerbit: ZIBON UPDATE Production
Ada masa di mana Semar berhenti menjelaskan apa pun kepada siapa pun.
Bukan karena ia menyerah, tapi karena ia sadar — tidak semua orang siap mendengar kebenaran yang sederhana.
Kadang, diam lebih kuat daripada suara; karena dalam diam, kita belajar memilah mana yang pantas didengar dan mana yang cukup diserahkan pada waktu.
Seiring berjalannya waktu, Semar mulai terbiasa dengan keheningan.
Ia tidak lagi sibuk menjawab pandangan miring orang lain, tidak lagi membantah ketika disebut tidak punya semangat, dan tidak lagi kecewa ketika nasihatnya dianggap angin lalu.
Ia hanya tersenyum, karena tahu bahwa hidup tidak perlu dihabiskan untuk membuktikan diri kepada orang yang tidak ingin mengerti.
Diamnya Semar bukan tanda kalah, melainkan bentuk kendali atas dirinya sendiri.
Ia menyadari bahwa setiap kata punya bobot, dan terlalu banyak bicara hanya akan menambah luka.
Maka dari itu, ia belajar berbicara seperlunya, bertindak secukupnya, dan berdoa sebanyak-banyaknya.
Kak Rani sering salah menafsirkan ketenangannya.
Baginya, diam berarti tidak peduli. Tapi bagi Semar, diam adalah cara paling lembut untuk menjaga kedamaian di rumah yang rapuh.
Ia tahu, setiap kali ia menjawab dengan emosi, hanya akan menambah jarak.
Maka kali ini, ia memilih menjaga jarak tanpa membenci.
"Biarlah mereka menilai," pikirnya. "Toh, yang menjalani tetap aku."
Suatu hari, saat keluarga berkumpul di rumah orang tua, Semar duduk di pojok ruangan, memperhatikan semua orang berbincang.
Kak Rani terlihat sibuk melayani tamu, seperti biasa — ramah di depan, tapi kaku ketika berhadapan dengannya.
Namun kali ini, Semar tidak lagi merasa perih. Ia justru merasa tenang, seolah telah melewati musim marah dan kini berdiri di tepi hujan yang mulai reda.
Ia sadar, membuktikan diri bukan tentang mengubah pandangan orang lain, tapi tentang menenangkan hati sendiri.
Kadang, orang akan terus menilai sampai mereka merasakan apa yang kita rasakan.
Dan karena itu jarang terjadi, maka yang bisa kita lakukan hanyalah berjalan dengan kepala tegak — bukan untuk sombong, tapi untuk menghormati diri sendiri.
Malamnya, di kamarnya yang sederhana, Semar menulis lagi.
Ia menulis tentang kesunyian yang kini terasa seperti teman, bukan musuh.
Tentang diam yang dulu menyesakkan, kini menjadi pelindung dari segala komentar dan penilaian yang melelahkan.
Ia menulis kalimat itu dengan hati yang tenang:
"Aku tidak butuh banyak didengar, cukup dimengerti sedikit saja. Dan jika tidak ada yang mengerti, biarlah Tuhan yang tahu semuanya."
Ketika ia menutup buku catatannya malam itu, Semar merasa lebih kuat daripada sebelumnya.
Bukan karena dunia tiba-tiba berubah, tapi karena hatinya sudah tidak lagi ingin melawan segalanya.
Ia akhirnya mengerti bahwa kekuatan sejati bukan ada di suara yang keras, tapi di hati yang tetap lembut meski sering disalahpahami.