Karya: Fajri Maulana Zibon
Penerbit: ZIBON UPDATE Production
Di mata orang lain, rumah kami tampak biasa saja — tidak mewah, tapi juga tidak kekurangan. Dindingnya kokoh, atapnya rapat, dan dari luar terlihat seperti tempat yang tenang. Namun di dalamnya, suasananya sering terasa seperti udara pagi yang dingin: tak terlihat, tapi menusuk pelan.
Aku, Semar, tumbuh dengan keyakinan bahwa keluarga adalah tempat paling aman di dunia. Tapi semakin aku dewasa, keyakinan itu mulai goyah. Ada hal-hal yang sulit dijelaskan: senyum yang dipaksakan, perhatian yang terasa setengah, dan pembicaraan yang berhenti di tengah jalan karena gengsi.
Sosok yang paling kuat di rumah itu adalah Kak Rani — kakak perempuan pertamaku. Dari dulu, dia selalu terlihat sempurna di mata semua orang. Pandai bicara, sopan di depan tamu, dan selalu jadi panutan keluarga besar. Orang-orang sering bilang, "Kak Rani itu contoh anak berbakti, panutan adik-adiknya." Dan aku, entah mengapa, selalu merasa kecil setiap kali mendengarnya.
Bukan karena iri, tapi karena aku tahu, di balik semua pujian itu, ada sesuatu yang tidak pernah mereka lihat.
Kak Rani bukan sosok yang jahat, tapi ia hidup seolah semua orang harus memahaminya tanpa ia perlu memahami balik.
Ia mudah tersinggung kalau tak dipuji, dan terlalu sibuk menjaga citra di mata luar, hingga lupa bahwa di rumah, ada adik laki-laki yang sedang berjuang keras mencari arah hidupnya sendiri.
Beberapa tahun lalu, saat aku baru mulai berjuang mencari pekerjaan, aku ingat betul betapa beratnya hari-hari itu. Bangun pagi dengan semangat, membawa lamaran ke sana-sini, menahan panas, menahan harapan. Kadang aku pulang dengan senyum kecil, kadang dengan langkah berat dan mata kosong. Tapi dari semua itu, yang paling aku ingat bukan perjuangannya — melainkan rasa sepi karena tak ada yang benar-benar peduli.
Kak Rani jarang bertanya, apalagi memberi dorongan.
Kalau pun ia bicara, nadanya seperti guru yang sedang menilai murid: datar, bijak, tapi tanpa sentuhan hati.
Namun, anehnya, ketika aku mulai gagal dan terpuruk, justru di situ ia datang — bukan untuk memeluk, tapi untuk menunjukkan bahwa dirinya masih lebih baik.
Seolah kegagalanku adalah panggung kecil untuk menampilkan kepeduliannya di hadapan orang lain.
Kadang aku berpikir, mungkin ia tak sadar melakukannya.
Mungkin di hatinya memang ingin membantu, tapi caranya tak pernah sampai. Ia memberi uang jajan setiap bertemu, seakan itu bisa menambal luka dari masa lalu. Padahal, yang aku butuhkan bukan uang — aku butuh pancingan, bukan ikan.
Aku ingin ia percaya bahwa aku bisa berdiri sendiri, bukan terus dianggap kasihan.
Aku tahu, Kak Rani kini punya keluarga, anak, dan tanggung jawab lain.
Aku tidak menyalahkannya karena sibuk, tapi aku hanya berharap — di antara semua perannya itu, ia masih ingat bahwa di satu titik dalam hidupku, aku juga pernah berjuang keras untuk menjadi laki-laki yang bisa dibanggakan.
Sayangnya, dunia sering menilai dari hasil, bukan dari proses.
Orang-orang hanya melihat aku sekarang: diam, tenang, dan tampak tanpa arah. Mereka tidak tahu bahwa di balik ketenangan ini, ada badai yang sudah lama reda karena kelelahan. Mereka bilang aku malas, tidak punya pendirian, tidak punya keinginan. Tapi mereka tidak tahu betapa keras aku dulu menahan rasa gagal agar tidak menular pada orang rumah.
Kini, setiap kali pulang dan duduk di ruang tamu yang mulai berdebu, aku hanya tersenyum.
Bukan karena semuanya sudah baik-baik saja, tapi karena aku sudah tidak ingin membuktikan apa pun.
Ada hal yang lebih berharga dari pengakuan — yaitu kedamaian hati saat kita berhenti menuntut pengertian dari orang yang tidak mau berusaha mengerti.
Rumah itu tetap berdiri kokoh, tapi kehangatannya tidak selalu bisa kurasakan.
Dan aku belajar, bahwa tidak semua rumah berarti tempat untuk pulang — kadang, rumah hanyalah alamat di mana kenangan baik dan buruk bertemu tanpa pernah berdamai.