LightReader

Chapter 3 - Saat Dunia Terlihat Tidak Adil

Karya: Fajri Maulana Zibon

‎Penerbit: ZIBON UPDATE Production

‎Pagi itu matahari terasa lebih panas dari biasanya. Semar menatap bayangan tubuhnya di aspal jalan, memegang map lusuh berisi fotokopi ijazah, surat lamaran, dan harapan yang entah sudah berapa kali ditolak. Ia berjalan menyusuri trotoar kota, menembus keramaian, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa hari ini akan berbeda dari kemarin.

‎Namun, dunia tidak selalu berpihak pada mereka yang berjuang diam-diam.

‎Sementara banyak orang mendapat kesempatan karena koneksi, Semar harus menempuh jalan panjang hanya untuk sekadar didengar. Setiap kali gagal wawancara, ia pulang dengan langkah gontai — bukan karena lelah jasmani, tapi karena lelah menenangkan pikirannya sendiri.

‎Di perjalanan pulang, ia sering melihat orang-orang tersenyum lebar dari balik kemudi mobil. Ada rasa iri yang perlahan muncul, tapi cepat ia tepis dengan napas panjang. "Mungkin bukan rezekiku hari ini," bisiknya, mencoba menghibur diri dengan kesabaran yang mulai menipis.

‎Ketika tiba di rumah, yang menyambutnya bukan pelukan, melainkan kalimat yang terdengar seperti pisau halus.

‎"Belum dapat juga?" tanya Kak Rani dengan nada ringan tapi tajam di telinga.

‎Semar hanya tersenyum kecil, menjawab pendek, "Belum, Kak. Tapi nanti juga dapat."

‎Ia tahu, menjelaskan lebih banyak hanya akan menimbulkan debat. Dan ia sudah terlalu lelah untuk menjelaskan pada orang yang hanya ingin terlihat benar, bukan ingin benar-benar mengerti.

‎Malamnya, saat semua tertidur, Semar duduk di depan jendela. Lampu jalan menyala redup, menyorot selembar buku catatan yang mulai penuh dengan coretan.

‎Ia menulis bukan untuk mencari perhatian, melainkan untuk bertahan.

‎Ia menulis agar pikirannya tidak meledak oleh rasa kecewa yang ia simpan sendirian.

‎"Dunia ini tidak adil, tapi aku tidak boleh berhenti baik," tulisnya di salah satu halaman.

‎Karena bagi Semar, berhenti berbuat baik berarti menyerahkan kendali hidupnya kepada luka.

‎Ia sadar, keadilan kadang tidak datang di waktu yang kita inginkan. Tapi selama kita masih punya kesabaran dan keyakinan, maka waktu akan membawa jawaban yang lebih bijak daripada manusia mana pun.

‎Hari demi hari berlalu.

‎Ada lamaran yang diterima tapi tak dihubungi lagi, ada janji pekerjaan yang berakhir dengan alasan klasik: "Maaf, posisi sudah terisi."

‎Namun di tengah semua itu, Semar tetap berjalan. Ia mulai memahami bahwa perjuangan bukan soal cepat atau lambat, tapi soal bertahan di saat yang lain memilih menyerah.

‎Sampai suatu sore, ketika hujan turun pelan, ia duduk di warung kecil sambil meneguk kopi hangat. Di seberangnya, seorang bapak tua dengan pakaian sederhana berkata,

‎"Anak muda, hidup ini memang tidak adil. Tapi justru di situlah adilnya hidup — karena semua orang akan mendapat gilirannya sendiri."

‎Ucapan itu sederhana, tapi menghantam hati Semar seperti petir di tengah sunyi.

‎Malam itu ia pulang dengan pandangan berbeda — bukan lagi tentang siapa yang salah, tapi tentang bagaimana ia bisa tetap melangkah tanpa kehilangan dirinya.

‎Dunia memang tidak adil, tapi ia tidak sekejam yang kita pikirkan.

‎Kadang, dunia hanya sedang menguji seberapa lama kita bisa sabar sebelum akhirnya diberi sesuatu yang benar-benar layak.

‎Dan di titik itu, Semar mengerti:

‎Keadilan mungkin terlambat, tapi tidak pernah hilang — selama kita masih percaya bahwa perjuangan yang jujur tidak akan sia-sia.

More Chapters