LightReader

Chapter 9 - Rahasia yang Terungkap

Hujan deras mengguyur Jakarta malam itu, seolah langit ikut menangis bersama Sari. Ia duduk di balkon rumahnya, memeluk lututnya erat-erat, air mata bercampur dengan tetes hujan yang menyentuh wajahnya. Pikirannya kacau—Andi baru saja pulang dengan luka baru dari serangan misterius, dan ancaman Pak Budi seperti bayangan yang tak pernah pergi. "Andi, aku takut," bisiknya pada angin. "Apa kita bisa selamat dari ombak ini? Aku cinta kau, tapi aku tak mau kehilangan kau seperti aku kehilangan impianku dulu."

Andi muncul dari dalam rumah, wajahnya penuh bekas pukulan, matanya merah karena lelah dan amarah. Ia duduk di samping Sari, tangannya gemetar saat memegang tangan wanita itu. "Mbak, aku juga takut. Tapi aku tak bisa bayangin hidup tanpa kau. Kau yang angkat aku dari gelandangan, kau yang beri aku harapan. Aku akan perang sampai akhir untuk kita."

Sari menangis lebih keras, memeluk Andi erat. "Andi, aku ingat saat pertama kali aku lihat kau di emperan toko, basah kuyup dan lapar. Kau bilang kau kehilangan segalanya karena skandal ayahmu. Aku jatuh cinta karena kau kuat, tapi sekarang... aku takut kau hancur lagi. Aku cinta kau lebih dari apa pun."

Andi menangis juga, air matanya jatuh ke bahu Sari. "Aku cinta kau, Mbak. Kau cahayaku di kegelapan. Kita akan menang, aku janji."

Tapi ketenangan itu pecah saat Reza datang dengan napas tersengal. Ia membawa map tebal, wajahnya pucat. "Sari, Andi, aku temukan sesuatu. Ini bukan cuma dendam bisnis. Pak Budi... ia cari anaknya yang hilang. Anak yang lahir dari istri pertamanya, yang diculik saat bayi."

Sari dan Andi terdiam, jantung mereka berdegup kencang. "Apa maksudmu?" tanya Sari, suaranya bergetar.

Reza membuka map, menunjukkan foto lama. "Lihat ini. Pak Budi punya putra yang hilang 25 tahun lalu. Nama aslinya Andi—sama seperti kau. Dan ciri-cirinya... mirip sekali. Aku cek DNA dari sampel rahasia, dan... Andi, kau adalah anak Pak Budi."

Ruangan seolah berputar. Andi berdiri, wajahnya penuh keterkejutan dan kemarahan. "Apa? Itu mustahil! Ayahku adalah Pak Hendro, yang aku kenal sejak kecil!"

Reza menggeleng. "Pak Hendro adopsi kau saat kau kecil. Ia temukan kau di jalanan setelah kecelakaan yang bunuh ibumu. Pak Budi cari kau selama ini, tapi ia pikir kau mati. Dendamnya bukan karena bisnis—ia ingin kau kembali, tapi ia salah cara. Ia kirim ancaman karena ia takut kau tolak dia."

Sari menangis histeris, memegang tangan Andi. "Andi... ini berarti Pak Budi adalah ayah kandungmu? Kau... kau bukan gelandangan biasa, kau putra konglomerat yang hilang?"

Andi jatuh berlutut, air matanya mengalir deras. "Aku... aku tak percaya. Selama ini, aku benci dia, tapi ia ayahku? Mengapa ia tak cari aku dengan benar? Mengapa ia hancurkan hidupku?"

Reza memeluk bahu Andi. "Ia salah, tapi ia menderita. Sekarang, ia tahu kau hidup. Ia ingin ketemu kau, tapi ia takut."

Sari memeluk Andi lebih erat, hatinya hancur melihat pria yang ia cintai terluka begitu dalam. "Andi, apa pun yang terjadi, aku di sini. Kita hadapi ini bersama. Cinta kita tak berubah."

Tapi di luar, Pak Budi berdiri di bawah hujan, mendengarkan semuanya dari bayangan. Air matanya jatuh—bukan karena dendam, tapi karena penyesalan. Ia maju, suaranya gemetar: "Anakku... Andi, maafkan ayah."

Andi menatapnya, emosi campur aduk: kemarahan, kebingungan, dan harapan. Apakah ini akhir dari badai, atau awal dari gelombang emosi yang lebih besar?

More Chapters