LightReader

Chapter 8 - Ombak yang Menelan

Lamaran di taman itu menjadi momen paling indah dalam hidup Sari. Di bawah hujan ringan yang seolah memberkati mereka, Andi berlutut dengan cincin sederhana di tangannya. "Sari, kau angkat aku dari gelandangan jadi pria sejati. Mau kah kau jadi istriku?" Sari menangis bahagia, memeluknya erat. "Ya, Andi. Selamanya."

Tapi kebahagiaan itu singkat. Saat mereka pulang ke rumah Sari, Andi melihat mobil hitam yang sama seperti yang dilihatnya di kejauhan—mobil Pak Budi. Ia tak mengatakan apa-apa pada Sari, tak ingin merusak malam itu. Mereka merayakan dengan makan malam sederhana, berbagi mimpi tentang masa depan: rumah kecil di pinggiran kota, anak-anak yang lucu, dan kafe yang akan mereka bangun kembali.

Keesokan harinya, Andi pergi ke kafe untuk memeriksa kerusakan. Ia menemukan pintu sudah diperbaiki oleh tukang yang ia sewa, tapi ada pesan baru di bawah pintu: "Selamat atas lamaranmu. Tapi ini baru permulaan. Kau akan kehilangan segalanya, seperti ayahmu dulu." Andi meremas kertas itu, amarahnya memuncak. Ia menelepon Sari. "Mbak, Pak Budi masih belum berhenti. Aku tak bisa biarkan ini terus."

Sari datang segera, membawa Reza yang telah membantu mereka sebelumnya. "Reza, kau bisa bantu lagi? Kita perlu bukti lebih kuat untuk hentikan dia."

Reza mengangguk. "Aku sudah mulai selidiki. Pak Budi punya rekening gelap di luar negeri. Kalau kita ungkap, ia bisa dipenjara."

Mereka bertiga bekerja sama, menghabiskan hari-hari berikutnya mengumpulkan informasi. Sari merasa bersalah—ia tak ingin Andi kembali ke masa lalu gelandangan karena dendam ini. "Andi, aku takut kau terluka lagi. Dulu kau hidup di jalanan karena skandal ayahmu, aku tak mau itu terulang."

Andi memeluknya. "Mbak, sekarang aku punya kau. Kita kuat bersama. Aku bukan gelandangan lagi—aku calon suamimu, pria yang siap perang untuk cinta kita."

Tapi Pak Budi tak diam. Ia mengirim orang suruhannya untuk mengganggu bisnis Andi. Suatu malam, saat Andi sedang menutup kafe, ia diserang oleh dua pria bertopeng. Mereka memukulinya, meninggalkan pesan: "Tinggalkan Sari, atau kau mati." Andi pulang dengan luka-luka, membuat Sari panik. "Andi! Siapa yang lakuin ini?"

Andi menggeleng, tak ingin mengakui. "Cuma perampok biasa, Mbak. Aku baik-baik saja."

Tapi Sari tahu itu bohong. Ia menghubungi polisi, dan mereka mulai investigasi. Reza datang dengan berita buruk: "Pak Budi sudah kabur ke luar negeri. Tapi ia tinggalkan instruksi untuk orang-orangnya di sini. Kita harus hati-hati."

Konflik mencapai puncak saat ayah Andi, Pak Hendro, datang ke rumah Sari. Ia terlihat tua dan lelah. "Anakku, aku dengar apa yang terjadi. Aku tak mau kau menderita lagi. Mungkin kita harus mundur dari Sari, demi keselamatan."

Andi marah. "Ayah, Sari adalah hidupku! Aku tak akan tinggalkan dia, seperti aku tak tinggalkan Ayah dulu saat skandal."

Pak Hendro menangis. "Aku cuma tak mau kehilangan anakku lagi."

Sari mendekati Pak Hendro. "Pak, saya cinta Andi. Kami akan hadapi ini bersama. Anda punya kami."

Malam itu, Andi dan Sari berbicara jujur di balkon rumah. "Andi, apa kita bisa menang? Ombak ini seolah menelan segalanya."

Andi menatapnya. "Kita bisa, Mbak. Cinta kita lebih kuat dari ombak apa pun."

Tapi di luar, Pak Budi—yang ternyata belum benar-benar pergi—mengawasi dari bayang-bayang, merencanakan serangan terakhir. Apakah cinta mereka bisa bertahan, atau ombak dendam akan menelan semuanya?

More Chapters